Rabu, 22 Desember 2010

Ekonomi 2010: Bagus, Biasa atau Buruk?

Tahun 2010 akan segera berakhir. Bagaimana kinerja ekonomi tahun ini? Tidak terlalu salah bila sebagian kalangan menilai kinerja ekonomi 2010 bagus. Faktanya pertumbuhan ekonomi hingga kuartal ketiga telah mencapai 5,9 persen. Diperkirakan hingga akhir tahun ekonomi akan tumbuh di atas 6 persen, lebih tinggi dari target yang hanya 5,8 persen.

Bagi yang menganggap pencapaian indikator finansial sebagai tolok ukur, bahkan akan menganggap kinerja ekonomi luar biasa. Bagaimana tidak, Bursa Efek Indonesia tahun 2010 tercatat sebagai bursa dengan pencapaian terbaik di dunia versi majalah Times. Terjadi lonjakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari 2,575 pada awal tahun menjadi 3.651 pada Desember tahun ini.

Sedangkan bagi yang meyakini peningkatan cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah sebagai ukuran, ekonomi Indonesia tentu akan dinilai berprestasi besar. Tahun 2010, cadangan devisa meningkat dari hanya 51 miliar dollar AS di awal tahun menjadi lebih dari 90 miliar dolar AS pada akhir tahun. Gelombang hot money telah mengakibatkan lonjakan cadangan devisa dan juga mendorong menguatnya nilai tukar rupiah sebesar 19 persen, tertinggi diantara negara-negara Asia.

Namun, bila penilaian dilakukan lebih berhati-hati dan menyadari bahwa ukuran-ukuran di atas bukanlah indikator sesungguhnya atas kinerja ekonomi, mungkin berbeda. Bila penilaian tetap memprioritaskan pada kinerja sektor riil, terutama sektor yang menyerap tenaga kerja besar, maka kinerja ekonomi tahun 2010 hanya biasa-biasa saja.

Sebagaimana lima tahun sebelumnya, pada tahun 2010 pertumbuhan tiga sektor utama yakni pertanian, pertambangan dan pengolahan, yang menjadi lapangan usaha utama penduduk dan menyerap 52% lapangan kerja, hanya tumbuh 3,5 persen, lebih tinggi dari tahun lalu tetapi tetap jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Sektor pengolahan yang tumbuh 4 persen pun, sumbangan terbesarnya dari industri otomotif. Industri andalan lain seperti tekstil tumbuh mendekati nol, sedangkan kayu, baja, masih tumbuh negatif.

Kinerja sektor riil yang lambat sehingga tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup, tentu akan semakin menghambat penyelesaian masalah pengangguran yang cukup serius. Jumlah orang setengah menganggur sebanyak 32,8 juta. Sementara data menunjukkan selama enam tahun kepemimpinan SBY, dari 12,2 juta lapangan kerja yang tercipta, 41 persen diantaranya adalah usaha jasa kemasyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi politik, jasa reparasi, kebersihan, binatu, dll).

Kinerja sektor industri yang relatif lambat tentu juga akan semakin menyulitkan upaya pengentasan kemiskinan. Memang angka kemiskinan turun dari 14,2 persen tahun lalu menjadi 13,3 persen tahun ini. Tetapi berkurangnya jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 1,5 juta orang, tidak sebanding dengan anggaran pengentasan kemiskinan yang membengkak dari Rp 66 triliun (2009) menjadi Rp 94 triliun (2010).

Fakta diatas menunjukkan salah satu dari sekian kelemahan dalam manajemen fiskal pemerintah termasuk kinerja di sisi penerimaan maupun belanja negara. Hingga November 2010, penerimaan pajak mencapai 77,7 persen lebih rendah dari realisasi penerimaan pada periode yang sama tahun lalu. Kinerja yang lebih buruk tercatat pada kinerja belanja dimana total belanja modal hingga bulan November sebesar 38 persen. Realisasi yang lamban dari pengeluaran pemerintah inilah yang menyebabkan absennya stimulus ekonomi dan lambannya penciptaan lapangan kerja.

Ternyata kinerja ekonomi 2010 sulit untuk dikatakan bagus. Bahkan tidak tepat untuk dinilai biasa-biasa saja karena ternyata sangat banyak sisi yang menunjukkan kinerja buruk.


Dimuat pada Harian 'Suara Karya' Edisi 21 Desember 2010





Senin, 20 Desember 2010

Absennya Strategi dalam Kerjasama Ekonomi

Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat agresif dalam melakukan kerjasama ekonomi. Bahkan, cenderung semakin fokus pada kerjasama ekonomi yang bersifat ‘kerjasama selimut’ baik lewat FTA maupun EPA. Kedua model kerjasama ekonomi ini mencakup isu ekonomi yang sangat luas. Tidak hanya masalah perdagangan bebas tetapi juga meliputi masalah penting seperti investasi dan kebijakan ekonomi lainnya. Padahal, isu investasi dan kebijakan ekonomi selama ini sulit untuk masuk dalam kerangka WTO. Sayangnya, semakin berani Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi, semakin banyak pujian yang diterima oleh Indonesia. Padahal kerjasama tersebut ternyata dibuat Indonesia tanpa pertimbangan dan persiapan matang.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam FTA dan EPA, yang umumnya dilakukan antara negara maju dan berkembang, posisi tawar negara berkembang hampir selalu lebih lemah karena dalam EPA hampir tidak mempertimbangkan isu perbedaan masalah struktural dan tingkat kemajuan ekonomi. Karena itu, negara berkembang harus sangat cermat dan hati-hati sebelum membuat kesepakatan. Agresifitas Indonesia dalam kerjasama EPA yang tidak didahului dengan kesiapan strategi dan kebijakan industri yang jelas, sangat mengkhawatirkan. Tidak ada satu negara industri maju pun yang memulai liberalisasi ekonomi tanpa diawali dengan penyiapan strategi dan kebijakan industri karena strategi industri inilah yang akan menjadi penentu keberhasilan suatu negara dalam menarik manfaat dari setiap kerjasama ekonomi yang dibuat.

Memang dalam setiap kerjasama ekonomi, seperti juga IJEPA, akan memberikan potensi manfaat dan biaya bagi Indonesia dan Jepang. Namun, manfaat riil hanya bisa diperoleh bila kerjasama ekonomi didasarkan pada rencana strategi yang matang dan jelas. Bila tidak, manfaat yang diterima Indonesia menjadi akan sangat minimal dibanding dengan keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh negara mitra. Bahkan sangat mungkin Indonesia hanya menanggung biayanya tanpa menikmati manfaatnya.

Cetak biru pembangunan industrilah yang pada akhirnya akan menjadi kunci keberhasilan dalam melakukan kerjasama ekonomi. Strategi ekonomi yang mencakup informasi rencana dan strategi bersama antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha akan menjadi strategi preventif dan mitigasi untuk mendukung sektor usaha yang berpotensi mendapatkan manfaat besar (optimizing the benefit) dan menyelamatkan sektor usaha yang berpotensi menghadapi dampak negatif besar (minimizing the cost). Kesepakatan kerjasama ekonomi yang tidak didasarkan pada arah dan strategi pembangunan ekonomi pada akhirnya hanya akan menjadikan langkah liberalisasi ekonomi hanya untuk liberalisasi itu sendiri, bukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia telah menjalani kerjasama ekonomi yang panjang selama lebih dari tiga puluh tahun. Meskipun penting, namun arti Indonesia bagi Jepang telah mengalami pergeseran. Di sisi perdagangan, selain tetap menjadi pasar yang sangat besar bagi Jepang, Indonesia juga masih menjadi negara mitra penting sebagai pemasok utama energi, bahan baku dan bahan mentah bagi industri di Jepang. Namun, dari sisi investasi arti penting Indonesia bagi Jepang telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Saat ini posisi Indonesia telah berada pada urutan bawah setelah digantikan oleh Thailand, India, Korea, Singapura dan Hongkong.

Kerjasama Indonesia Jepang dalam EPA, semestinya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kerjasama Indonesia. Namun, evalusi terhadap IJEPA yang telah berjalan hampir tiga tahun, ternyata kerjasama tersebut telah memberikan manfaat riil bagi Jepang tetapi tidak memberikan manfaat yang sepadan bagi Indonesia. Bahkan berbagai kesepakatan, seperti kesepakatan investasi dan perdagangan berbagai SDA energi, telah menempatkan Indonesia pada posisi sulit dan sangat berpotensi untuk dirugikan.

Bila tidak dilakukan koreksi pada kebijakan EPA, ekonomi Indonesia justru akan mengalami kemunduran. Dengan menurunnya daya saing produk manufaktur, maka produk ekspor Indonesia yang memiliki daya saing tinggi akhirnya hanya tinggal sumber daya alam mentah. Bila Indonesia tidak mau melakukan moratorium atau menghentikan sejenak penandatanganan kerjasama ekonomi baru dengan negara-negara maju, dan tidak mau segera membuat strategi dan kebijakan industri, maka Indonesia harus bersiap-siap untuk sekadar menjadi negara penyedia kebutuhan energi, bahan mentah dan bahan baku bagi Jepang dan juga negara-negara mitra lainnya dalam berbagai kerjasama EPA.

Pilihan untuk sekadar mengekspor bahan baku akan mengakibatkan Indonesia tidak memiliki peluang yang luas untuk menciptakan nilai tambah. Dengan mengekspor bahan baku dan bahan mentah, maka industri manufaktur Indonesia tidak akan dapat berkembang. Sebagai konsekuensinya, Indonesia bukan hanya tidak mampu menciptakan nilai tambah tinggi, tetapi juga tidak mampu untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat pendapatan yang semakin besar. Tambahan lagi, pada saat Indonesia mengekspor bahan bahan baku dan mentah, maka Indonesia juga sedang mengekspor peluang untuk menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah. Hal ini sangat berbeda dengan China yang mampu menangkap aliran investasi dari Jepang, juga berhasil memanfaatkan investasi tersebut sebagai modal untuk membangun industri pengolahannya. Dengan strategi ini berbagai kekayaan bahan mentah yang dimiliki dapat diolah dan memberikan nilai tambah yang besar dan kesempatan kerja yang luas bagi China. Juga mampu mewujudkan diri sebagai hub bagi industri manufaktur dunia. Liberalisasi dan kerjasama ekonomi yang dipersiapkan dengan matang, telah memberi manfaat tidak hanya bagi negara maju tetapi juga negara berkembang yang menjadi mitranya.

Selasa, 14 Desember 2010

Belajar Privatisasi Ke Negeri China

Beberapa edisi lalu, penulis telah mengulas karut-marut penawaran perdana saham PT Krakatau Steel. Dengan berbagai permasalahan pada IPO PT Krakatau Steel, seharusnya pemerintah meninjau ulang kebijakan privatisasi BUMN tersebut. Namun, sebaliknya justru tidak menyurutkan niat pemerintah untuk segera memprivatisasi BUMN strategis lainnya, seperti Garuda Indonesia dan melanjutkan penjualan saham Bank BRI, Bank Mandiri, dll.

Telah sering penulis sampaikan bahwa semestinya Indonesia dapat belajar dari strategi privatisasi BUMN yang dilakukan China. Privatisasi BUMN sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana dan strategi pembangunan ekonomi. Faktor inilah yang menjadikan peran BUMN dalam pembangunan ekonomi China sangat besar.

Bersyukur, minggu lalu penulis menghadiri acara dialog untuk berbagi pengalaman tentang pengelolaan BUMN di Indonesia dan China. Meskipun singkat, paparan Profesor Xiao Geng dari Universitas Columbia Amerika Serikat, semakin meyakinan penulis bahwa privatisasi BUMN yang dilakukan di China merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi pembangunan ekonomi nasionalnya.

Memang ada kesamaan antara BUMN Indonesia dan China seperti disampaikan Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam pembukaan dialog. Seperti di China, BUMN di Indonesia sebelum dilakukan privatisasi jumlahnya realtif banyak. Namun, ada perbedaan strategi yang sangat mendasar antara privatisasi di China dan di Indonesia. Tulisan berikut ini akan megulas secara ringkas tentang dua perbedaan yang paling penting dari privatisasi di kedua negara tersebut.

Berdasarkan Strategi Industri

Satu hal penting yang dapat dipelajari dari privatisasi BUMN di China adalah keberadaan strategi dan kebijakan industri (industrial policy and strategy) yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan privatisasi. Berdasaran strategi dan kebijakan industri tersebut China memetakan proses privatisasi BUMN dan peran BUMN dalam pengembangan industri.

Untuk membangun industri domestiknya, China memilih untuk mengolah bahan mentah dan tidak mengekspor komoditas primernya seperti batubara dan timah. Dengan adanya kebijakan tersebut, batubara China tidak diekspor, tetapi diutamakan untuk digunakan sebagai sumber pembangkit energi listrik di negara tersebut. Bahkan China secara agresif mengimpor batubara dari negara-negara, demikian pula dengan komoditas bahan mentah lainnya. Komoditas timah misalnya ditetapkan untuk diolah di dalam negeri untuk mendukung industri elektronika dan industri lainnya.

Jadi, meskipun BUMN yang mengelola batu bara telah diprivatisasi, kebutuhan batubara dalam negeri tetap terpenuhi karena pemerintah telah menentukan prioritas batubara untuk keperluan domestik. Kondisi ini jauh berbeda dengan Indonesia dimana batubara justru diprioritaskan menjadi salah satu primadona ekspor.

Untuk dapat melaksanakan cetak biru kebijakan dan strategi industrinya tersebut pemerintah China telah menentukan arah pengelolaan dan peran BUMN dalam pembangunan industrinya. China memilih peran pemerintah yang tetap dominan di semua BUMN strategisnya. Pemerintah bahkan tetap memiliki hak istimewa sehingga berhak menentukan arah kebijakan BUMN yang belum maupun telah diprivatisasi, sekecil apapun jumlah saham yang dimiliki.

Dengan adanya blue print industri yang jelas, privatisasi BUMN di China hanya merupakan salah satu strategi pembiayaan BUMN, selain pembiayaan lewat kredit atau dengan menjual obligasi. Sementara arah dan strategi BUMN tetap patuh pada strategi industri nasionalnya.

Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia. Privatisasi BUMN tidak dikaitkan dengan strategi pembangunan industri ekonomi sehingga tidak heran meskipun pemerintah menetapkan pembangunan infrastruktur dan transportasi dijadikan prioritas untuk mendukung daya saing ekonomi, tetapi BUMN yang mengelola baja, mengelola pelabuhan, memproduksi moda transportasi seperti PT KAI dan PT Dok Kapal, justru diprivatisasi.

Dari pengalaman China, benarlah keyakinan penulis bahwa kebijakan privatisasi BUMN seharusnya menjadi bagian dari strategi pembangunan yang terintegrasi. Dalam kesempatan dialog, Prof Xiao mengatakan bahwa privatisasi BUMN merupakan bagian tidak terpisahkan dari NDP (National Development Planning) atau rencana pembangunan nasional China.

Bukan Sektor Strategis

Dengan demikian, pertimbangan untuk memprivatisasi atau mempertahankan status suatu BUMN, didasarkan pada strategi pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Sebelum melakukan privatisasi, pemerintah China telah melakukan kategorisasi terhadap ribuan BUMN yang ada ke dalam kelompok BUMN strategis dan non strategis berdasarkan strategi pembangunan ekonomi yang akan dilakukan.

Belajar dari China, privatisasi dilakukan dengan memprioritaskan pada BUMN yang merugi dan tidak strategis. Namun, untuk BUMN yang memiliki tugas menyediakan pelayanan kepada masyarakat, tetapi mengalami kerugian, maka harus terus diberikan subsidi hingga mampu berdiri sendiri dan kompetitif. Prof Xiao mencontohkan BUMN transportasi di China yang meskipun saat itu masih merugi, tetap terus diberikan subsidi karena penyediaan transportasi publik yang murah dan baik telah menjadi strategi penting dalam pembangunan.

Strategi lainnya adalah dengan mempertahankan penguasaan negara terhadap BUMN strategis. Peranan BUMN di berbagai sektor strategis inilah yang berhasil mendorong pesatnya pembangunan ekonomi China . Monopoli pemerintah atas BUMN di sektor-sektor strategis seperti energi, telekomunikasi dan infrastruktur telah memungkinkan pemerintah China untuk melakukan sentralisasi serta koordinasi yang kuat dalam pembangunan sektor-sektor strategis tersebut. Dengan penguasaan terhadap BUMN strategis, pemerintah berhasil menyediakan jaringan infrastruktur yang kuat sebagai salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi. Seharusnya, upaya mendapatkan dana segar dengan privatisasi BUMN strategis dan menguntungkan adalah upaya terakhir setelah peluang lainnya tertutup.

Dengan dikuasainya BUMN strategis oleh pemerintah dan dengan adanya strategi dan kebijakan industri yang jelas, dalam waktu dua puluh tahun terakhir China berhasil membangun infrastruktur nasionalnya dengan percepatan yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah sektor transportasi yang menjadi salah satu pendukung kuatnya daya saing industri China, mampu membangun jalur kereta api dengan tingkat pertumbuhan 28%, dari 59.700 km tahun 1995 menjadi 77.100 km tahun 2006. Berbanding terbalik dengan pengalaman Indonesia yang mengalami penyusutan panjang rel kereta api jika dibanding dengan jaman kolonial Belanda. Selain itu, jalan bebas hambatan juga mengalami pertumbuhan 200%, meningkat menjadi 3,46 juta km pada periode yang sama.

Penguasaan BUMN strategis oleh pemerintah juga memudahkan pemerintah untuk mengontrol harga produk dan jasa yang dihasilkan dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam kesempatan dialog sempat disinggung bahwa karena BUMN masih menguasai dan mengontrol sektor-sektor strategis, maka di China harga energi, air, sumber daya alam lain dapat dipertahankan pada tingkat yang rendah.

Kondisi ini tentu tidak hanya menguntungkan rakyat biasa, tetapi juga perusahaan-perusahaan swasta yang bisa berkontribusi besar dalam menciptakan lompatan pembangunan ekonomi di China karena adanya peta jalan strategi dan kebijakan industri. Hal ini berbeda dengan Indonesia dimana pengelolaan dan penyediaan infrastruktur dasar cenderung diserahkan kepada swasta seperti pengelolaan air bersih dan jalan tol, sehingga mengakibatkan harga cenderung tidak dapat dikontrol oleh pemerintah.

Banyak hal yang bisa dipelajari dari lompatan pertumbuhan ekonomi China, tanpa lupa melihat sisi negatif agar dapat kita hindari. Mungkin kita bisa mengutip ungkapan “tuntutlah ilmu sampai ke negeri China” yang tidak asing bagi sebagian besar umat Islam, terlepas dari perdebatan apakah hadits tersebut shahih atau tidak. Namun faktanya banyak yang bisa kita pelajari dari China dalam mengelola ekonominya agar tidak menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan asing (subordinasi) dan tetap menomorsatukan kepentingan nasional.

Bagi para pemimpin muslim, pengalaman China hanya salah satu pelajaran. Semestinya, pengelolaan ekonomi sesuai aturan Islam sebagaimana pernah dicontohkan pada masa pemerintahan Rasullah SWT dan para sahabat adalah ibrah yang sesungguhnya, yakni pengelolaan ekonomi yang didasarkan pada ketaqwaan untuk mewujudkan keadilan di dunia maupun di akhirat. ***

Hendri Saparini

Ekonom dan pendukung citizen lawsuit penjualan saham PT KS

Dimuat di Tabloid "Suara Islam" edisi Desember 2010

Rabu, 24 November 2010

Kepentingan Siapa di Balik IPO Krakatau Steel

Penawaran Perdana (initial public offering/IPO) saham PT Krakatau Steel telah dilakukan, masih banyak pertanyaan yang belum dijawab atau mungkin tidak akan pernah dijawab? Waktulah yang akan membuktikan. Yang lebih penting lagi adalah pelajaran yang bisa dipetik dari berbagai kasus privatisasi BUMN, bahwa kepentingan nasional harus diperhatikan dan menjadi prioritas utama, sehingga kasus-kasus seperti Indosat, KS, dll, yang merugikan kepentingan nasional tidak terulang kembali.

Di bawah ini tulisan saya setelah IPO KS dilakukan. Mudah-mudahan bermanfaat untuk menjadi bahan diskusi dan perenungan bagi kita semua.


Akhir Sejarah BUMN Strategis?

PT Krakatau Steel (PT KS) akhirnya listed di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 10 November 2010. Pelaksanaan Initial Public Offering (IPO) tersebut menyisakan banyak tanda tanya. Kecurigaan terhadap adanya insider tradingmisalnya, belum diinvestigasi dengan maksimal. Demikian juga masalah penetapan harga saham PT KS pada batas bawah penawaran sebesar Rp 850, juga belum diselidiki secara bersungguh-sungguh. Terbukti, di hari pertama terjadi kenaikan harga saham PT KS mendekati 50 persen, bahkan pada hari kedua masih naik lagi hingga Rp 1.340 pada harga penutupan.

Tidak hanya itu, IPO PT Krakatau Steel juga menciptakan kekecewaan publik yang sangat besar karena BUMN yang sangat strategis dengan mudahnya diprivatisasi tanpa didahului dengan langkah terobosan untuk menyelamatkan. Bahwa kinerja PT KS saat ini masih jauh dari potensinya memang benar, baik karena salah kelola yang bersifat internal, sehingga menimbulkan inefisiensi, KKN, dll., juga akibat absennya kebijakan pendukung yang memadai.

Keputusan pemerintah yang terlalu cepat melakukan privatisasi lewat IPO, telah menghilangkan peluang Indonesia untuk menjadikan PT KS sebagai BUMN yang dapat diandalkan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Padahal, dengan strategi yang out of the box, sebagaimana pernah dilakukan pada PT PLN atau Telkom, masalah keuangan dan manajemen yang jamak dihadapi BUMN dapat diselesaikan tanpa harus melakukan pengalihan kepemilikan.

Tambahan lagi, sebelum melakukan IPO, PT KS telah melakukan kerjasama dengan pihak lain yang akan berpengaruh terhadap masa depan PT KS. Informasi yang hanya sepenggal ini mengakibatkan publik percaya bahwa IPO adalah pilihan terbaik karena hanya dengan melepas 20 persen saja, PT KS akan mendapatkan Rp 2,6 triliun. Oleh karenanya, pada saat proses dan persyaratan administrasi IPO telah dipenuhi, maka tidak ada hal yang perlu diperdebatkan dalam IPO PT KS. Padahal permasalahan tidak sesederhana itu.

Potensi dilusi saham

Selama ini publik tidak mendapatkan informasi bahwa sebelum merencanakan IPO, sebenarnya PT KS telah melakukan kerjasama (joint venture) dengan Pohang Iron & Steel Company (Posco), sebuah perusahaan besi dan baja asal Korea. Kerjasama dibuat lewat Memorandum of Agreement (MOA) pada bulan Desember 2009. Setelah pada tahun 2007 publik menolak rencana pemerintah untuk melakukan strategic sale dengan Mittal Steel Company NV, PT KS akhirnya melakukan kerjasama dengan Posco. Tetapi, publik pun bertanya-tanya tentang pemilihan Posco sebagai partner strategis tanpa proses beauty contest.

Joint Venture Posco-KS (JV Posco-KS) sangat penting untuk dibeberkan kepada publik karena sangat terkait dengan IPO PT KS dan menjadi bagian penting dari privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap PT KS. Publik harus mendapatkan informasi bahwa dalam kerjasama JV Posco-KS, kepemilikan PT KS akan menjadi minoritas sedangkan Posco pemegang saham mayoritas. Mengapa hal kepemilikan saham penting? Bukankah JV Posco-KS hanya anak perusahaan? Toh kepemilikan pemerintah di perusahaan induk tetap mayoritas?

Kepemilikan saham sangat terkait dengan kemampuan menyediakan modal dalam pembiayaan proyek bersama. Dalam kerjasama JV Posco-KS, Posco akan memberikan manajemen, teknologi, machinery, dan modal kerja. Sedangkan PT KS menyetorkan asset berupa tanah dan fresh money. Dana IPO sebesar Rp 2,6 triliun tentu sebagian besar akan digunakan sebagai setoran modal PT KS pada JV Posco-KS.

Dengan meningkatnya kebutuhan dana ekspansi, PT KS tentu harus terus menambah jumlah asset/tanah yang disetorkan dan/atau menjual saham yang dimiliki untuk mempertahankan kepemiikan sahamnya. Saat ini jumlah tanah yang disetorkan sudah lebih dari 380 ha, meningkat tiga kali lipat dalam waktu kurang dari setahun sejak MOA. Saat listing PT KS, Menteri BUMN juga menyatakan BUMN tersebut akan segera menjual kembali sahamnya sebesar sepuluh persen dalam waktu dekat.

Dengan perkembangan ini, tidak ada yang dapat menjamin bahwa anak tidak akan lebih besar dari induknya dan secara perlahan akan terjadi dilusi saham PT KS pada JV Posco-KS. Kekhawatiran ini rasanya bukan omong kosong. Pada Desember 2009, kepemilikan saham PT KS pada JV Posco-KS dimungkinkan hingga 45 persen. Namun, pada bulan September 2010 dilaporkan kepemilikan PT KS hanya sebesar 30 persen dan Posco 70 persen!

Pihak yang memiliki kepemilikan yang lebih besar tentu saja akan memiliki peluang untuk mengambil kebijakan dan menentukan jalannya perusahaan. Pengalaman menunjukkan bahwa di Blok Cepu, pihak Pertamina tidak mendapatkan posisi kunci dalam menentukan arah bisnis. Jadi jangan heran bila sejak awal Posco akan memilih posisi manajemen yang strategis dalam JV Posco-KS seperti direktur umum, keuangan dan business development termasuk posisi manajer-manajer strategis yang menentukan besarnya investasi, perusahaan kontraktor, pemasok, dll.

Mengapa hal ini semestinya penting sebagai pertimbangan? Posco adalah perusahaan milik pemerintah Korea Selatan. Meskipun porsi kepemilikannya minoritas tetapi memiliki golden share sehingga berhak menentukan kebijakan penting di Posco. Sehingga pemerintah Korea Selatan pasti akan melakukan berbagai kebijakan untuk kepentingan nasionalnya.

Kesalahan fatal

Tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa langkah privatisasi PT KS lewat IPO adalah kesalahan fatal. Salah besar bila gugatan publik (citizen lawsuit) yang kami lakukan dinilai mengada-ada. Terlalu banyak alasan strategis yang dapat kami ajukan untuk menolak privatisasi PT KS. Apalagi Indonesia sangat memerlukan dukungan industri baja yang dapat diarahkan untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Kuantitas dan kualitas infrastruktur yang terbatas sangat memerlukan pasokan baja. Belum berkembangnya industri permesinan nasional juga akan menjadi pasar besar yang membutuhkan dukungan BUMN baja. Industri baja juga akan menjadi bagian penting pembangunan industri strategis pertahanan keamanan. Penguasaan kepemilikan pemerintah terhadap PT KS sebagai satu-satunya BUMN baja tentu tentu sangat penting.

Mari kita semua merenung sejenak. Siapun yang dengan rekayasa keuangan yang canggih telah mengeruk keuntungan dari IPO PT KS, ataupun yang telah mendorong JV Posco-KS dengan kesepakatan yang tidak berpihak kepada kepentingan nasional, semoga segera bertobat. Bila mereka adalah anggota Dewan maka tobat dapat dilakukan dengan meminta BPK untuk melakukan investigasi secara in-depth terhadap BUMN PT KS sejak rencana strategic saletahun 2007. Bila mereka adalah pejabat eksekutif, maka tobat mereka dapat ditunjukkan dengan meminta KPK dan Polri untuk melakukan penyelidikan, juga dengan melakukan koreksi kebijakan.

Tapi bila ternyata pihak yang diuntungkan dari kebijakan IPO PT KS atau rencana privatisasi BUMN-BUMN strategis lain seperti Pertamina adalah mereka yang mendapatkan amanah rakyat untuk mengambil kebijakan publik, maka rakyat hanya bisa menangis karena mereka tahu bahwa praktek perampokan BUMN akan terus terjadi, tetapi tidak tahu cara membuktikan dan menghentikannya. ***

Hendri Saparini

Ekonom dan pendukung citizen lawsuit penjualan saham PT KS

Dimuat di Harian "Kompas" edisi 15 November 2010

Beban Berat bagi SI Miskin

Tulisan ini sudah di terbitkan di harian Suara Karya beberapa waktu yang lalu, tetapi saya pikir masih relevan karena sampai saat ini beban saudara-saudara kita yang hidup di sekitar garis kemiskinan - apalagi yang di bawah - terasa semakin berat. Harga kebuthan pokok tidak juga beranjak turun, sementara kebutuhan niscaya semakin meningkat seiring pertumbuhan anak-anak yang makin besar, pendidikan yang semakin tinggi, dsb. Selamat membaca.

Beban si Miskin Terlalu Berat


Suara Karya (Kamis, 29 Juli 2010)
Kenaikan harga sembako makin membebani masyarakat. Apalagi, tahun ini kenaikan harga terjadi dalam rentang waktu yang lebih panjang. Selama beberapa bulan terakhir, kenaikan harga terjadi akibat terganggunya pasokan, baik produksi maupun transportasi. Sementara dua bulan ke depan akan lebih didorong oleh peningkatan permintaan musiman memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran.

Bagi kelompok berpenghasilan rendah, beban kenaikan harga sembako bukan basi-basi. Karena itu, berita bahwa sebagian masyarakat miskin sudah mulai mengonsumsi nasi aking tidak mengagetkan. Mengapa?

Dampak kenaikan harga memang akan berbeda bagi setiap keluarga, bergantung pada porsi barang-barang dalam daftar belanjanya yang mengalami kenaikan harga. Dampak besar kenaikan harga sembako akan sangat dirasakan oleh kelompok masyarakat bawah karena lebih dari separuh belanjanya untuk makanan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Dari jumlah ini, 73 persen pengeluaran orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut digunakan untuk membeli makanan. Jadi, tidak mengherankan apabila kenaikan harga sembako akan lebih dirasakan oleh orang yang lebih miskin. Masalahnya, makin miskin seseorang, makin besar pula porsi sembako dalam keranjang belanjanya.

Kegagalan dalam mengendalikan harga makanan akan makin memberatkan karena jumlah orang yang rawan terhadap kenaikan harga sembako bukan hanya 31 juta orang, yakni penduduk kelompok miskin yang, menurut BPS, berada di bawah garis kemiskinan. Kenaikan harga pangan juga sangat riskan bagi orang yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan yang jumlahnya ternyata sangat besar.

Menurut APBN 2010, yang tergolong mendekati miskin dan layak menerima raskin (beras bagi si miskin) sebanyak 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Sedangkan data lain menyebutkan, orang-orang yang mendekati miskin dan berhak menerima layanan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) jauh lebih banyak, yakni 76,4 juta. Apabila menggunakan data Bank Dunia, kelompok near poor Indonesia sekitar 42 persen, berarti lebih dari 97 juta orang.

Dengan data tersebut, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga sembako merupakan masalah yang sangat serius karena menyangkut kesejahteraan orang yang jumlahnya sangat banyak. Inflasi tinggi yang didorong oleh inflasi bahan makanan dan makanan jadi benar-benar akan menjadi ancaman bagi masyarakat kelompok bawah.

Oleh karena itu, diperlukan instrumen baru yang mampu menjaga kesejahteraan masyarakat dari ketidakstabilan harga pangan. Pilihan tergantung pada paradigma ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apakah akan keukeuh melepas harga pangan pada mekanisme pasar dan mencukupkan peran pemerintah dengan jurus pemadam kebakaran lewat subsidi pajak dan operasi pasar untuk komoditas yang sangat terbatas seperti saat ini, ataukah akan menjadikan kegagalan saat ini sebagai momentum untuk mengoreksi kebijakan dengan mengembalikan tanggung jawab atas stabilitas harga pangan bagi rakyat pada pemerintah?

Konsekuensinya, harus merevisi kesalahan kebijakan liberalisasi pasar pangan tanpa ancang-ancang dan pemangkasan paksa peran lembaga penyangga harga pangan yang dilakukan tim ekonomi atas saran IMF (Dana Moneter Internasional) saat krisis 1998. Rakyat menunggu keputusan Presiden SBY.***

Jumat, 01 Oktober 2010

Liberalisasi untuk Liberalisasi

Memasuki era pasar bebas ASEAN-China, pengusaha dan masyarakat Indonesia cemas. Sangat aneh karena semestinya, bagi Indonesia, liberalisasi ekonomi bukan hal baru. Indonesia telah memulainya sejak dua puluh lima tahun yang lalu, saat menjadi tuan rumah Bogor Declaration yang menjadi cikal bakal Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC).

Pertanyaannya, mengapa hingga hari ini Indonesia tidak siap menghadapi perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi? Secara umum, ada beberapa hal yang menjadi penyebab.

Pertama, pemerintah tidak mengomunikasikan berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang telah ditanda tangani. Padahal, masyarakat berhak dan penting untuk mendapatkan penjelasan tentang cost/benefit dari setiap kerja sama ekonomi yang dilakukan pemerintah.

Seharusnya pemerintah bersama para pengusaha menyusun adjustment policy, agar dapat meraih manfaat dan mengurangi dampak negatifnya. Tetapi, kalangan industri dan masyarakat tidak mendapatkan informasi rencana strategi, kebijakan preventif, dan program mitigasi yang akan dilakukan (restrukturisasi industri, rencana relokasi pekerja, dan lain-lain). 

Kedua, dalam setiap kesepakatan kerja sama ekonomi, Indonesia tidak mempunyai posisi negosiasi yang jelas. Ini berbeda dengan negara-negara lain yang pada saat membuat kesepakatan sudah memiliki strategi yang jelas tentang apa yang harus dipercepat dan yang harus ditunda dalam liberalisasi. China, misalnya, meski selalu didesak, akan tetap mempertahankan strategi nilai tukar lemah karena ini merupakan strategi harga mati untuk menjaga daya saing industrinya. 

Ketiga, tidak ada aturan perundangan yang mewajibkan pemerintah meminta persetujuan DPR saat akan melakukan major trade agreement atau saat meratifikasi kesepakatan dagang internasional yang penting. Padahal, di Amerika Serikat, pada saat akan membuat kesepakatan North American Free Trade Agreement (NAFTA) saja, pemerintahan Clinton harus meminta persetujuan Kongres. 

Keempat, kebijakan industri dan perdagangan yang terpisah mengakibatkan arah kebijakan ekonomi tidak jelas. Misalnya, kebijakan industri dan perdagangan untuk sumber daya batu bara. Di China, untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur, pemerintah memutuskan untuk menjadikan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik murah dan tidak menjadikannya sebagai komoditas ekspor. 

Di Indonesia, strategi pemanfaatan batu bara tidak jelas. Departemen Perdagangan cenderung membuka pasar bebas untuk berbagai energi alam, sedangkan Departemen Perindustrian lebih memprioritaskan bagi kepentingan dalam negeri. 

Berbagai kelemahan tersebut terjadi karena Indonesia tidak memiliki industrial policy and strategy. Padahal, semua negara mensyaratkan strategi industri sebelum memulai liberalisasi. Indonesia tidak siap dalam perdagangan bebas karena paradigma liberalisasi di Indonesia adalah "liberalisasi untuk liberalisasi". Liberalisasi dilakukan bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional. 

Bahkan, liberalisasi seolah hanya domain pemerintah yang tidak terkait dengan para pelaku usaha dan masyarakat. Pemerintah SBY-Boediono harus melakukan koreksi mendasar karena bukan model liberalisasi ini yang boleh dilanjutkan.***

 

Dimuat di Harian “Suara Karya”, Selasa 26 Januari 2010

Kamis, 30 September 2010

Koreksi Kebijakan Harga Pangan!

Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat selalu khawatir dengan lonjakan harga bahan-bahan pokok.

Tahun ini keresahan masyarakat akibat kenaikan harga pangan lebih besar dibandingkan biasanya karena bahan makanan telah mengalami kenaikan harga lebih cepat. Perubahan iklim telah mengakibatkan terganggunya produksi dan distribusi.

Jika beberapa bulan terakhir kenaikan harga lebih karena tekanan dari sisi pasok, mulai bulan ini tekanan kenaikan harga juga akan didorong dari sisi permintaan. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan untuk Ramadhan dan Lebaran tak hanya harga bahan makanan, tetapi harga makanan jadi juga cenderung meningkat. Selain karena permintaan musiman, kenaikan harga juga karena kenaikan tarif listrik yang berlaku Juli 2010.

Berat bagi si miskin

Dampak kenaikan harga makanan tidak sama bagi setiap rumah tangga. Semakin rendah pendapatan, semakin berat beban akibat kenaikan harga makanan. Sebagai gambaran, garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Rumah tangga yang pengeluarannya di bawah batas tersebut sebagian besar (73 persen) pengeluarannya untuk pangan.

Artinya, jika pemerintah gagal mengendalikan harga makanan, akan ada persoalan serius karena jumlah penduduk yang rawan terhadap kenaikan harga bahan- bahan pokok bukan hanya 31 juta orang yang berada di bawah angka tersebut. Ada puluhan juta lain yang terkategori mendekati miskin, pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan, yang juga rentan mengalami penurunan kesejahteraan jika harga pangan naik.

Jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (raskin), jumlah mereka 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Adapun berdasarkan data penduduk, yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Angka ini akan semakin besar apabila digunakan data Bank Dunia, yang menyebutkan 42 persen, berarti mendekati 100 juta penduduk, memiliki pengeluaran kurang dari 2 dollar AS per hari.

Beban berat kenaikan harga bahan pokok bagi kelompok bawah juga tak cukup sekadar mendasarkan pada angka inflasi umum karena dapat memberikan gambaran yang salah. Salah satu studi ADB dan BPS bahkan menyebutkan inflasi yang ditanggung kelompok miskin rata-rata 2-3 kali lebih tinggi dibanding inflasi nasional. Kajian lain menunjukkan kemungkinan adanya kelemahan dalam perhitungan inflasi. Contohnya, menurut Susenas 2005, porsi belanja beras 24 persen, tetapi dalam Survei Biaya Hidup, yang jadi dasar perhitungan inflasi, hanya 6 persen. Belum lagi survei yang disinyalir bias terhadap kelompok atas.

Penting bagi pemerintah mengkaji ulang beban inflasi riil yang dihadapi setiap kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatannya. Informasi ini sangat diperlukan agar pilihan kebijakan lebih tepat.

Butuh strategi baru

Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi strategi stabilisasi pangan saat ini. Fakta menunjukkan, sejak peran pemerintah dikebiri, masyarakat terus menghadapi beban gejolak harga pangan yang tidak sebanding dengan daya belinya. Dengan dilepaskannya harga pangan pada mekanisme pasar, instrumen operasi pasar dan PPN Ditanggung Pemerintah dalam mengendalikan harga pangan tidak akan efektif, bahkan hanya menjadi sekadar pemadam kebakaran.

Diperlukan strategi baru untuk mengembalikan peran pemerintah dalam menstabilkan harga pangan. Tentu usulan ini tidak pernah jadi alternatif bagi pengusung paradigma pasar yang memilih strategi lepas tangan (hands-off). Namun, jika konstitusi mewajibkan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, tidak ada yang tabu untuk mengoreksi liberalisasi dan pengebirian Bulog tahun 1998 lewat letter of intent IMF.

Bulog memang pernah jadi sumber korupsi, tetapi alasan korupsi yang menghilangkan berbagai peran penting pemerintah, termasuk dalam menstabilkan harga pangan, harus dikoreksi. Indonesia perlu badan stabilisasi harga pangan yang tidak hanya dikelola dengan bersih dan profesional, tetapi juga memiliki peran besar sebagaimana Bernas di Malaysia. Meski kini lembaga ini jadi milik publik, perannya menstabilkan harga pangan dalam negeri masih sangat besar. Belasan komoditas pangan, seperti susu, terigu, gula, dan minyak goreng, masih dikontrol. Padahal, kesejahteraan masyarakat di Malaysia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

Tentu dukungan lembaga saja tidak cukup karena dibutuhkan kesepakatan baru tentang politik pangan nasional. Untuk mewujudkan peran negara dalam stabilisasi pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan, dituntut perubahan dan dukungan kebijakan komprehensif. Gas alam yang diprioritaskan untuk pupuk, institusi dan pembiayaan yang sesuai karakter pertanian, kebijakan yang memberikan peluang pasar bagi produksi pangan dalam negeri, anggaran untuk membangun infrastruktur pertanian, dan sebagainya. Tak mudah, tetapi perubahan harus dilakukan.

Penulis: Hendri Saparini

Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Dimuat di Harian ”Kompas”, Selasa, 10 Agustus 2010

Pembangunan Tanpa Roh

Membaca laporan utama Kompas (6/7/2010), saya yakin banyak kalangan masyarakat yang berharap bahwa pemerintah dan para ekonom yang dekat dengan pemerintah segera menyadari kekeliruan dalam pengelolaan ekonomi nasional sehingga akan mendorong terjadinya perbaikan.

Kesimpulan dari Forum Sarasehan Ekonomi tentang permasalahan ekonomi Indonesia sudah sangat tepat. Saat ini, Indonesia memang menghadapi berbagai masalah kronis, seperti koordinasi antar- kementerian dan lembaga tinggi yang lemah, keputusan yang lambat, jurang antara si kaya dan si miskin yang makin lebar, buruknya infrastruktur, dan perekonomian nasional yang bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam (SDA). Berbagai masalah ini telah berlangsung lama, tetapi menjadi semakin parah karena tidak ada pembenahan secara tuntas.

Pilihan kebijakan

Dilaporkan bahwa forum tersebut menyimpulkan situasi perekonomian sudah berubah jauh dari masa Orde Baru (ketika para ekonom senior menjabat). Saya kurang sepakat dengan kesimpulan tersebut karena menurut hemat saya arah ekonomi saat ini sebenarnya telah dimulai pada era sebelumnya. Mari kita telaah, benarkah kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini karena pilihan arah ekonomi sejak era Reformasi?

Pertama, SDA yang tidak diprioritaskan untuk kepentingan nasional dan semakin dikuasai asing. Menurut UU Penanaman Modal tahun 2007, asing bahkan diperbolehkan untuk mengusai hingga 95 persen. Kita harus melihat permasalahan ini dengan lebih jernih karena pada dasarnya penyerahan penguasaan SDA kepada asing telah dicontohkan sejak awal Orde Baru (Orba) saat tahun 1967 pemerintah menyerahkan pengelolaan Freeport kepada asing. Apabila para pengambil kebijakan Orba menganggap langkah itu adalah kesalahan, semestinya tahun 1992 tidak dilakukan percepatan perpanjangan kontrak karya Freeport tanpa koreksi yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. Tak heran bila penyerahan penguasaan SDA kepada asing berlanjut hingga kini.

Kedua, saat ini Indonesia menghadapi beban utang publik yang semakin berat. Meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, tetapi total utang semakin besar. Pada bulan April 2010 telah mencapai Rp 1,015 triliun untuk utang dalam negeri dan Rp 573 triliun (63,54 miliar dollar AS) untuk utang luar negeri. Padahal, sebelum krisis 1997 utang pemerintah hanya 74 miliar dollar AS. Namun, apabila mau jujur, praktik pembiayaan pembangunan dengan mengandalkan utang sebenarnya telah dipraktikkan selama Orba. Hanya kemudian, para menteri ekonomi penerus melanjutkannya dengan percepatan penarikan utang yang luar biasa.

Ketiga, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan juga telah dilakukan jauh sebelum krisis tahun 1997. Bahkan, berbeda dengan negara-negara Asia lain, seperti China, Jepang, dan Korea, yang menempatkan liberalisasi keuangan pada urutan paling akhir, Indonesia justru memprioritaskan liberalisasi keuangan sebelum membangun industri domestik yang tangguh. Dengan Pakto 88 (Paket Kebijakan tahun 1988), berbagai liberalisasi dimulai, seperti diperbolehkannya untuk membuka bank baru hanya dengan modal Rp 10 miliar, bank-bank asing lama ataupun baru diberi kemudahan membuka cabang, bentuk patungan antarbank asing dengan bank swasta nasional diizinkan, rasio kecukupan modal bank lokal diturunkan dari 15 persen menjadi 2 persen, dan sebagainya.

Apabila saat ini sektor keuangan Indonesia menjadi sangat liberal, maka sangat wajar. Tidak adanya kontrol terhadap modal jangka pendek, misalnya, telah mengakibatkan sektor keuangan rapuh karena tingginya kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN) ataupun SBI. Percepatan liberalisasi di sektor perbankan juga terus dilakukan, misalnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99 persen saham perbankan nasional.

Apabila dikaji lebih jauh masih banyak kebijakan ekonomi yang mengakibatkan keterpurukan ekonomi saat ini, yang sebenarnya telah diawali pada masa Orba karena sejatinya kebijakan ekonomi era reformasi hingga era saat ini masih merupakan lanjutan dari arah kebijakan ekonomi Orba. Mungkin peribahasa ”bagaimana biduk, bagaimana pengayuh” tepat untuk menggambarkannya, yang berarti bagaimana pilihan kebijakan orangtua, begitulah pilihan anaknya.

Hanya memang harus diakui juga bahwa ada faktor lain yang mengakibatkan kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibanding era Orba, terutama akibat peran negara yang semakin dibatasi dan liberalisasi yang semakin cepat dan tanpa arah. Sebagai contoh, program kredit Bimas dan Inmas atau kewajiban alokasi kredit kepada UKM lewat kredit usaha kecil (KUK) pada masa Orba, saat ini tidak mungkin dilakukan karena tangan pemerintah telah dipatahkan satu per satu lewat liberalisasi. Kredit usaha rakyat (KUR) ala kabinet SBY sangat berbeda karena tidak dilakukan dengan menggunakan dana pemerintah, tetapi dana komersial bank yang ikut dalam program sehingga wajar bila realisasinya rendah.

Paradigma ekonomi

Diagnosis terhadap arah ekonomi yang telah menciptakan kerisauan nasional ini seharusnya bermuara pada akar masalah. Pilihan Indonesia untuk menggantungkan pembiayaan pembangunan pada utang, mempercepat liberalisasi di berbagai sektor tanpa mendasarkan pada strategi dan kepentingan nasional, menempatkan SDA hanya sekadar komoditas ekspor bukan modal untuk membangun bangsa, adalah kebijakan akibat kesalahan dalam pilihan paradigma, bukan kesalahan kebijakan, apalagi sekadar kesalahan pelaksanaan.

Oleh karena itu, keresahan terhadap arah ekonomi nasional seperti ditunjukkan dalam Forum Sarasehan Ekonomi tidak akan bermakna apabila tidak berakhir pada pengakuan jujur bahwa Indonesia telah mendayung ekonomi pada jalur paradigma yang salah selama puluhan tahun. Keresahan juga tidak akan memberikan manfaat apabila tidak diikuti koreksi yang mendasarkan pada referensi yang benar. Indonesia telah memiliki paradigma yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. UUD 1945 telah menyiapkan enam pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33), dan (34), yang mengatur kewajiban sosial dan ekonomi negara kepada rakyat.

Untuk mengoreksi arah pengelolaan ekonomi agar dapat menyejahterakan rakyat Indonesia, diperlukan kemauan politik nasional untuk mengubah paradigma ekonomi. Para ekonom senior dan mantan pejabat publik yang turun gunung karena kerisauannya terhadap keterpurukan ekonomi saat ini patut kita apresiasi. Namun, langkah tersebut akan memberikan makna apabila diikuti pengakuan bahwa kesalahan arah kebijakan ekonomi selama puluhan tahun terjadi karena mengabaikan amanah konstitusi. Pengakuan jujur ini sangat penting karena diharapkan akan jadi pendorong perubahan dan upaya pelurusan arah paradigma ekonomi bagi eksekutif ataupun legislatif. Semoga keresahan terhadap arah ekonomi tak berhenti menjadi sekadar keresahan nasional.

Penulis: Hendri Saparini

Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Dimuat di Harian ”Kompas”, Rabu, 7 Juli 2010

Rabu, 29 September 2010

KADIN dan Percepatan Industrialisasi

Pesta demokrasi di lingkungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah usai dengan terpilihnya Suryo Bambang Sulistio sebagai sebagai ketua umum Kadin periode 2010-2015. Sebelum Musyawarah Nasional IV Kadin diselenggarakan, terdengar banyak isu, diantaranya politik uang yang mewarnai pemilihan ketua umum.

Semoga saja hal ini tidak terjadi mengingat organisasi para pengusaha harus bebas dari suap dan korupsi. Sebab, faktor itu justru menjadi penyebab high cost economy dalam dunia usaha.

Bahwa menjelang pemilihan tercipta juga suasana pertarungan, hal itu wajar karena memang posisi ketua umum Kadin di Indonesia layak diperebutkan. Selain akan menjadi wadah untuk mewujudkan mimpi bagi pengusaha yang memiliki idealisme, juga akan menjadi penyambung kepentingan antara pengusaha dan penguasa.

Apalagi, jabatan ketua umum Kadin ternyata juga penting bagi karir politik. Sejarah menunjukkan hampir semua mantan ketua umum organisasi ini selalu masuk dalam bursa dan seolah memiliki privileges untuk menduduki posisi menteri ekonomi di kabinet.

Tulisan ini tentu tidak akan membahas hal tersebut. Bagaimanapun, saat ini organisasi para pengusaha nasional tersebut telah memiliki ketua umum baru. Selamat kepada Pak Suryo yang akan menduduki posisi ketua umum periode 2010-2015.

Kerja Sama Strategis

Ketika menyampaikan visi dan misi, semua kandidat menjanjikan untuk menciptakan kerjasama yang baik dengan pemerintah. Tidak terkecuali ketua umum baru, Suryo Bambang Sulistio. Kerjasama pengusaha dan pemerintah memang sangat penting, apalagi Indonesia tengah menghadapi tren penurunan daya saing sektor manufaktur yang cukup mencemaskan.

Industri manufaktur mengalami perlambatan pertumbuhan yang konsisten sejak 2005 akibat melemahnya daya saing. Kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan manufaktur yang semakin lebar menunjukkan bahwa strategi kebijakan pemerintah telah gagal dalam mencegah percepatan deindustrialisasi. Secara tidak langsung, fakta ini mengindikasikan bahwa selama ini kerjasama Kadin dan pemerintah juga telah gagal.

Lalu, kerjasama seperti apakah yang semestinya dibangun antara pengusaha dan pemerintah? Sebelum melanjutkan, saya teringat diskusi saya dengan salah satu direktur Bank Exim China dalam sebuah konferensi di Beijing tahun lalu. Saya kagum dengan strategi komprehensif yang dilakukan Tiongkok untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis finansial global. Pada saat saya tanyakan, apa resep Tiongkok sehingga pengusaha dan pemerintah dapat bergandengan tangan dalam menangkal krisis, dia menjawab “Kami bekerja 100 jam seminggu”. Meskipun saya ulang pertanyaan hingga tiga kali, dengan senyum sang Direktur memberikan jawaban yang tetap sama yakni mereka bekerja 100 jam seminggu!

Jawaban tersebut tentu memiliki arti yang sangat luas dan dalam. Bahwa pemerintah harus mendukung kepentingan pengusaha nasional itu pasti. Tetapi di banyak negara termasuk Tiongkok, pemerintah tidak sekadar mendukung dari belakang, tetapi juga di samping atau bahkan terkadang berada di depan para pengusaha.

Berada di depan, tentu saja, untuk membuka pasar sebagaimana pemerintah Amerika Serikat lakukan dengan memberikan hibah dan bantuan kepada Indonesia agar membuka pasar bagi produk-produk pertanian AS di negeri ini. Juga saat Tiongkok membeli perusahaan komputer kelas dunia untuk membuka jalan di pasar global sekaligus membalikkan image produk elektronik Tiongkok yang dikenal berkualitas rendah. Sangat banyak contoh lain yang dilakukan negara-negara industri untuk mendukung daya saing produk-produk nasional mereka di pasar global.

Bila Kadin periode ini ingin berkontribusi besar dalam membangunan industri di Indonesia, ketua umum Kadin harus dapat memainkan perannya dalam kerjasama dengan pemerintah, dalam paradigma baru. Kadin tidak sekadar mendukung program pemerintah tetapi harus benar-benar menjadi bagian penting dalam perencanaan strategi industri sehingga berorientasi pada kepentingan nasional.

Bila peran dan positioning Kadin lebih baik, pasti tidak perlu terjadi demo para pengusaha dan pekerja untuk menentang kebijakan kenaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) dan tarif-tarif lain yang diatur oleh pemerintah. Juga, tidak perlu para ketua asosiasi berkali-kali mengajukan surat keberatan kepada pemerintah atas agresivitas kerjasama ekonomi internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia seperti dalam ASEAN-China FTA maupun FTA-FTA dan EPA-EPA lain karena pemerintah belum menyiapkan mitigation policy-nya. Padahal, strategi ini sangat penting agar potensi cost dapat ditekan seminimal mungkin dan potensi benefit dari FTA dapat dioptimalkan bagi kepentingan nasional.

Strategi dan kebijakan industri

Dengan jumlah anggota sekitar satu juta dan anggota potensial lebih dari lima puluh juta, maka Kadin adalah organisasi dengan kekuatan besar. Sangat wajar bila ketua umum harus dapat mewujudkan bargaining position yang kuat dimata pemerintah.

Tentu saja dengan daya tawar Kadin yang tinggi, pemerintah tidak seharusnya dengan serta merta mengadopsi roadmap yang telah disusun oleh Kadin. Karena roadmap Kadin tentu merupakan rencana bisnis yang akan mewakili kepentingan para anggotanya. Padahal banyak stakeholder di luar Kadin yang juga berkepentingan terhadap strategi dan kebijakan pembangunan industri nasional, sehingga pemerintah harus berada di tengah untuk mewakili kepentingan nasional baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.

Dengan pertimbangan tersebut menjadi wajib bagi pemerintah untuk menyusun industrial policy and strategy (strategi dan kebijakan industri). Perencanaan inilah yang akan menjadi payung bagi pembangunan industri dan penyiapan kebijakan-kebijakan pendukung baik kebijakan energi, kebijakan perdagangan internasional, kebijakan lahan dan agraria, kebijakan fiskal, dan lain-lain.

Perencanaan ini juga akan menjadi referensi bagi Kadin untuk menyusun roadmap-nya. Bila pemerintah menetapkan bahwa energi alam akan diprioritaskan untuk mendukung kepentingan industri dalam negeri, misalnya, maka orientasi pengusaha Kadin di bidang energi tidak akan berorientasi ekspor tetapi lebih diprioritaskan untuk memasok kebutuhan industri dalam negeri karena kebijakan pemerintah akan memberikan insentif bagi yang berorientasi dalam negeri.

Demikian juga bila dalam strategi industri nasional pemerintah menetapkan rotan mentah tidak untuk ekspor tetapi sebagai bahan baku dalam menciptakan produk unggulan ekspor, maka dengan berbagai kebijakan pendukung, pengusaha-pengusaha pengolah rotan akan lebih menguntungkan, bukan pengusaha-pengusaha eksportir rotan mentah.

Kita tidak dapat menyalahkan bila saat ini yang tumbuh subur justru pengusaha-pengusaha eksportir batubara, karet mentah, Crude Palm Oil (CPO), dan bahan baku serta bahan mentah lainnya yang saat ini tumbuh subur dan berjaya. Bila ini berlanjut, Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah tetap akan sulit membangun industri manufaktur yang kompetitif dan memiliki nilai tambah tinggi.

Harapan baru ada pada ketua umum Kadin terpilih. Semoga ketua umum baru memiliki jiwa aktivis, yang akan memanfaatkan daya tawarnya yang kuat untuk mendorong pemerintah menyiapkan industrial policy and strategy. Inilah satu-satunya jalan agar arah industrialisasi di Indonesia jelas dan Kadin dapat berkontribusi besar dalam mewujudkan percepatan industrialisasi di Indonesia sebagaimana terjadi di Tiongkok dan negara-negara industri baru dunia. Semoga!


Tulisan ini telah dimuat di Harian "Investor Daily", Senin 27/09/2010