Rabu, 24 November 2010

Kepentingan Siapa di Balik IPO Krakatau Steel

Penawaran Perdana (initial public offering/IPO) saham PT Krakatau Steel telah dilakukan, masih banyak pertanyaan yang belum dijawab atau mungkin tidak akan pernah dijawab? Waktulah yang akan membuktikan. Yang lebih penting lagi adalah pelajaran yang bisa dipetik dari berbagai kasus privatisasi BUMN, bahwa kepentingan nasional harus diperhatikan dan menjadi prioritas utama, sehingga kasus-kasus seperti Indosat, KS, dll, yang merugikan kepentingan nasional tidak terulang kembali.

Di bawah ini tulisan saya setelah IPO KS dilakukan. Mudah-mudahan bermanfaat untuk menjadi bahan diskusi dan perenungan bagi kita semua.


Akhir Sejarah BUMN Strategis?

PT Krakatau Steel (PT KS) akhirnya listed di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 10 November 2010. Pelaksanaan Initial Public Offering (IPO) tersebut menyisakan banyak tanda tanya. Kecurigaan terhadap adanya insider tradingmisalnya, belum diinvestigasi dengan maksimal. Demikian juga masalah penetapan harga saham PT KS pada batas bawah penawaran sebesar Rp 850, juga belum diselidiki secara bersungguh-sungguh. Terbukti, di hari pertama terjadi kenaikan harga saham PT KS mendekati 50 persen, bahkan pada hari kedua masih naik lagi hingga Rp 1.340 pada harga penutupan.

Tidak hanya itu, IPO PT Krakatau Steel juga menciptakan kekecewaan publik yang sangat besar karena BUMN yang sangat strategis dengan mudahnya diprivatisasi tanpa didahului dengan langkah terobosan untuk menyelamatkan. Bahwa kinerja PT KS saat ini masih jauh dari potensinya memang benar, baik karena salah kelola yang bersifat internal, sehingga menimbulkan inefisiensi, KKN, dll., juga akibat absennya kebijakan pendukung yang memadai.

Keputusan pemerintah yang terlalu cepat melakukan privatisasi lewat IPO, telah menghilangkan peluang Indonesia untuk menjadikan PT KS sebagai BUMN yang dapat diandalkan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Padahal, dengan strategi yang out of the box, sebagaimana pernah dilakukan pada PT PLN atau Telkom, masalah keuangan dan manajemen yang jamak dihadapi BUMN dapat diselesaikan tanpa harus melakukan pengalihan kepemilikan.

Tambahan lagi, sebelum melakukan IPO, PT KS telah melakukan kerjasama dengan pihak lain yang akan berpengaruh terhadap masa depan PT KS. Informasi yang hanya sepenggal ini mengakibatkan publik percaya bahwa IPO adalah pilihan terbaik karena hanya dengan melepas 20 persen saja, PT KS akan mendapatkan Rp 2,6 triliun. Oleh karenanya, pada saat proses dan persyaratan administrasi IPO telah dipenuhi, maka tidak ada hal yang perlu diperdebatkan dalam IPO PT KS. Padahal permasalahan tidak sesederhana itu.

Potensi dilusi saham

Selama ini publik tidak mendapatkan informasi bahwa sebelum merencanakan IPO, sebenarnya PT KS telah melakukan kerjasama (joint venture) dengan Pohang Iron & Steel Company (Posco), sebuah perusahaan besi dan baja asal Korea. Kerjasama dibuat lewat Memorandum of Agreement (MOA) pada bulan Desember 2009. Setelah pada tahun 2007 publik menolak rencana pemerintah untuk melakukan strategic sale dengan Mittal Steel Company NV, PT KS akhirnya melakukan kerjasama dengan Posco. Tetapi, publik pun bertanya-tanya tentang pemilihan Posco sebagai partner strategis tanpa proses beauty contest.

Joint Venture Posco-KS (JV Posco-KS) sangat penting untuk dibeberkan kepada publik karena sangat terkait dengan IPO PT KS dan menjadi bagian penting dari privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap PT KS. Publik harus mendapatkan informasi bahwa dalam kerjasama JV Posco-KS, kepemilikan PT KS akan menjadi minoritas sedangkan Posco pemegang saham mayoritas. Mengapa hal kepemilikan saham penting? Bukankah JV Posco-KS hanya anak perusahaan? Toh kepemilikan pemerintah di perusahaan induk tetap mayoritas?

Kepemilikan saham sangat terkait dengan kemampuan menyediakan modal dalam pembiayaan proyek bersama. Dalam kerjasama JV Posco-KS, Posco akan memberikan manajemen, teknologi, machinery, dan modal kerja. Sedangkan PT KS menyetorkan asset berupa tanah dan fresh money. Dana IPO sebesar Rp 2,6 triliun tentu sebagian besar akan digunakan sebagai setoran modal PT KS pada JV Posco-KS.

Dengan meningkatnya kebutuhan dana ekspansi, PT KS tentu harus terus menambah jumlah asset/tanah yang disetorkan dan/atau menjual saham yang dimiliki untuk mempertahankan kepemiikan sahamnya. Saat ini jumlah tanah yang disetorkan sudah lebih dari 380 ha, meningkat tiga kali lipat dalam waktu kurang dari setahun sejak MOA. Saat listing PT KS, Menteri BUMN juga menyatakan BUMN tersebut akan segera menjual kembali sahamnya sebesar sepuluh persen dalam waktu dekat.

Dengan perkembangan ini, tidak ada yang dapat menjamin bahwa anak tidak akan lebih besar dari induknya dan secara perlahan akan terjadi dilusi saham PT KS pada JV Posco-KS. Kekhawatiran ini rasanya bukan omong kosong. Pada Desember 2009, kepemilikan saham PT KS pada JV Posco-KS dimungkinkan hingga 45 persen. Namun, pada bulan September 2010 dilaporkan kepemilikan PT KS hanya sebesar 30 persen dan Posco 70 persen!

Pihak yang memiliki kepemilikan yang lebih besar tentu saja akan memiliki peluang untuk mengambil kebijakan dan menentukan jalannya perusahaan. Pengalaman menunjukkan bahwa di Blok Cepu, pihak Pertamina tidak mendapatkan posisi kunci dalam menentukan arah bisnis. Jadi jangan heran bila sejak awal Posco akan memilih posisi manajemen yang strategis dalam JV Posco-KS seperti direktur umum, keuangan dan business development termasuk posisi manajer-manajer strategis yang menentukan besarnya investasi, perusahaan kontraktor, pemasok, dll.

Mengapa hal ini semestinya penting sebagai pertimbangan? Posco adalah perusahaan milik pemerintah Korea Selatan. Meskipun porsi kepemilikannya minoritas tetapi memiliki golden share sehingga berhak menentukan kebijakan penting di Posco. Sehingga pemerintah Korea Selatan pasti akan melakukan berbagai kebijakan untuk kepentingan nasionalnya.

Kesalahan fatal

Tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa langkah privatisasi PT KS lewat IPO adalah kesalahan fatal. Salah besar bila gugatan publik (citizen lawsuit) yang kami lakukan dinilai mengada-ada. Terlalu banyak alasan strategis yang dapat kami ajukan untuk menolak privatisasi PT KS. Apalagi Indonesia sangat memerlukan dukungan industri baja yang dapat diarahkan untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Kuantitas dan kualitas infrastruktur yang terbatas sangat memerlukan pasokan baja. Belum berkembangnya industri permesinan nasional juga akan menjadi pasar besar yang membutuhkan dukungan BUMN baja. Industri baja juga akan menjadi bagian penting pembangunan industri strategis pertahanan keamanan. Penguasaan kepemilikan pemerintah terhadap PT KS sebagai satu-satunya BUMN baja tentu tentu sangat penting.

Mari kita semua merenung sejenak. Siapun yang dengan rekayasa keuangan yang canggih telah mengeruk keuntungan dari IPO PT KS, ataupun yang telah mendorong JV Posco-KS dengan kesepakatan yang tidak berpihak kepada kepentingan nasional, semoga segera bertobat. Bila mereka adalah anggota Dewan maka tobat dapat dilakukan dengan meminta BPK untuk melakukan investigasi secara in-depth terhadap BUMN PT KS sejak rencana strategic saletahun 2007. Bila mereka adalah pejabat eksekutif, maka tobat mereka dapat ditunjukkan dengan meminta KPK dan Polri untuk melakukan penyelidikan, juga dengan melakukan koreksi kebijakan.

Tapi bila ternyata pihak yang diuntungkan dari kebijakan IPO PT KS atau rencana privatisasi BUMN-BUMN strategis lain seperti Pertamina adalah mereka yang mendapatkan amanah rakyat untuk mengambil kebijakan publik, maka rakyat hanya bisa menangis karena mereka tahu bahwa praktek perampokan BUMN akan terus terjadi, tetapi tidak tahu cara membuktikan dan menghentikannya. ***

Hendri Saparini

Ekonom dan pendukung citizen lawsuit penjualan saham PT KS

Dimuat di Harian "Kompas" edisi 15 November 2010

Beban Berat bagi SI Miskin

Tulisan ini sudah di terbitkan di harian Suara Karya beberapa waktu yang lalu, tetapi saya pikir masih relevan karena sampai saat ini beban saudara-saudara kita yang hidup di sekitar garis kemiskinan - apalagi yang di bawah - terasa semakin berat. Harga kebuthan pokok tidak juga beranjak turun, sementara kebutuhan niscaya semakin meningkat seiring pertumbuhan anak-anak yang makin besar, pendidikan yang semakin tinggi, dsb. Selamat membaca.

Beban si Miskin Terlalu Berat


Suara Karya (Kamis, 29 Juli 2010)
Kenaikan harga sembako makin membebani masyarakat. Apalagi, tahun ini kenaikan harga terjadi dalam rentang waktu yang lebih panjang. Selama beberapa bulan terakhir, kenaikan harga terjadi akibat terganggunya pasokan, baik produksi maupun transportasi. Sementara dua bulan ke depan akan lebih didorong oleh peningkatan permintaan musiman memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran.

Bagi kelompok berpenghasilan rendah, beban kenaikan harga sembako bukan basi-basi. Karena itu, berita bahwa sebagian masyarakat miskin sudah mulai mengonsumsi nasi aking tidak mengagetkan. Mengapa?

Dampak kenaikan harga memang akan berbeda bagi setiap keluarga, bergantung pada porsi barang-barang dalam daftar belanjanya yang mengalami kenaikan harga. Dampak besar kenaikan harga sembako akan sangat dirasakan oleh kelompok masyarakat bawah karena lebih dari separuh belanjanya untuk makanan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Dari jumlah ini, 73 persen pengeluaran orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut digunakan untuk membeli makanan. Jadi, tidak mengherankan apabila kenaikan harga sembako akan lebih dirasakan oleh orang yang lebih miskin. Masalahnya, makin miskin seseorang, makin besar pula porsi sembako dalam keranjang belanjanya.

Kegagalan dalam mengendalikan harga makanan akan makin memberatkan karena jumlah orang yang rawan terhadap kenaikan harga sembako bukan hanya 31 juta orang, yakni penduduk kelompok miskin yang, menurut BPS, berada di bawah garis kemiskinan. Kenaikan harga pangan juga sangat riskan bagi orang yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan yang jumlahnya ternyata sangat besar.

Menurut APBN 2010, yang tergolong mendekati miskin dan layak menerima raskin (beras bagi si miskin) sebanyak 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Sedangkan data lain menyebutkan, orang-orang yang mendekati miskin dan berhak menerima layanan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) jauh lebih banyak, yakni 76,4 juta. Apabila menggunakan data Bank Dunia, kelompok near poor Indonesia sekitar 42 persen, berarti lebih dari 97 juta orang.

Dengan data tersebut, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga sembako merupakan masalah yang sangat serius karena menyangkut kesejahteraan orang yang jumlahnya sangat banyak. Inflasi tinggi yang didorong oleh inflasi bahan makanan dan makanan jadi benar-benar akan menjadi ancaman bagi masyarakat kelompok bawah.

Oleh karena itu, diperlukan instrumen baru yang mampu menjaga kesejahteraan masyarakat dari ketidakstabilan harga pangan. Pilihan tergantung pada paradigma ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apakah akan keukeuh melepas harga pangan pada mekanisme pasar dan mencukupkan peran pemerintah dengan jurus pemadam kebakaran lewat subsidi pajak dan operasi pasar untuk komoditas yang sangat terbatas seperti saat ini, ataukah akan menjadikan kegagalan saat ini sebagai momentum untuk mengoreksi kebijakan dengan mengembalikan tanggung jawab atas stabilitas harga pangan bagi rakyat pada pemerintah?

Konsekuensinya, harus merevisi kesalahan kebijakan liberalisasi pasar pangan tanpa ancang-ancang dan pemangkasan paksa peran lembaga penyangga harga pangan yang dilakukan tim ekonomi atas saran IMF (Dana Moneter Internasional) saat krisis 1998. Rakyat menunggu keputusan Presiden SBY.***