Kamis, 30 September 2010

Koreksi Kebijakan Harga Pangan!

Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat selalu khawatir dengan lonjakan harga bahan-bahan pokok.

Tahun ini keresahan masyarakat akibat kenaikan harga pangan lebih besar dibandingkan biasanya karena bahan makanan telah mengalami kenaikan harga lebih cepat. Perubahan iklim telah mengakibatkan terganggunya produksi dan distribusi.

Jika beberapa bulan terakhir kenaikan harga lebih karena tekanan dari sisi pasok, mulai bulan ini tekanan kenaikan harga juga akan didorong dari sisi permintaan. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan untuk Ramadhan dan Lebaran tak hanya harga bahan makanan, tetapi harga makanan jadi juga cenderung meningkat. Selain karena permintaan musiman, kenaikan harga juga karena kenaikan tarif listrik yang berlaku Juli 2010.

Berat bagi si miskin

Dampak kenaikan harga makanan tidak sama bagi setiap rumah tangga. Semakin rendah pendapatan, semakin berat beban akibat kenaikan harga makanan. Sebagai gambaran, garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Rumah tangga yang pengeluarannya di bawah batas tersebut sebagian besar (73 persen) pengeluarannya untuk pangan.

Artinya, jika pemerintah gagal mengendalikan harga makanan, akan ada persoalan serius karena jumlah penduduk yang rawan terhadap kenaikan harga bahan- bahan pokok bukan hanya 31 juta orang yang berada di bawah angka tersebut. Ada puluhan juta lain yang terkategori mendekati miskin, pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan, yang juga rentan mengalami penurunan kesejahteraan jika harga pangan naik.

Jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (raskin), jumlah mereka 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Adapun berdasarkan data penduduk, yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Angka ini akan semakin besar apabila digunakan data Bank Dunia, yang menyebutkan 42 persen, berarti mendekati 100 juta penduduk, memiliki pengeluaran kurang dari 2 dollar AS per hari.

Beban berat kenaikan harga bahan pokok bagi kelompok bawah juga tak cukup sekadar mendasarkan pada angka inflasi umum karena dapat memberikan gambaran yang salah. Salah satu studi ADB dan BPS bahkan menyebutkan inflasi yang ditanggung kelompok miskin rata-rata 2-3 kali lebih tinggi dibanding inflasi nasional. Kajian lain menunjukkan kemungkinan adanya kelemahan dalam perhitungan inflasi. Contohnya, menurut Susenas 2005, porsi belanja beras 24 persen, tetapi dalam Survei Biaya Hidup, yang jadi dasar perhitungan inflasi, hanya 6 persen. Belum lagi survei yang disinyalir bias terhadap kelompok atas.

Penting bagi pemerintah mengkaji ulang beban inflasi riil yang dihadapi setiap kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatannya. Informasi ini sangat diperlukan agar pilihan kebijakan lebih tepat.

Butuh strategi baru

Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi strategi stabilisasi pangan saat ini. Fakta menunjukkan, sejak peran pemerintah dikebiri, masyarakat terus menghadapi beban gejolak harga pangan yang tidak sebanding dengan daya belinya. Dengan dilepaskannya harga pangan pada mekanisme pasar, instrumen operasi pasar dan PPN Ditanggung Pemerintah dalam mengendalikan harga pangan tidak akan efektif, bahkan hanya menjadi sekadar pemadam kebakaran.

Diperlukan strategi baru untuk mengembalikan peran pemerintah dalam menstabilkan harga pangan. Tentu usulan ini tidak pernah jadi alternatif bagi pengusung paradigma pasar yang memilih strategi lepas tangan (hands-off). Namun, jika konstitusi mewajibkan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, tidak ada yang tabu untuk mengoreksi liberalisasi dan pengebirian Bulog tahun 1998 lewat letter of intent IMF.

Bulog memang pernah jadi sumber korupsi, tetapi alasan korupsi yang menghilangkan berbagai peran penting pemerintah, termasuk dalam menstabilkan harga pangan, harus dikoreksi. Indonesia perlu badan stabilisasi harga pangan yang tidak hanya dikelola dengan bersih dan profesional, tetapi juga memiliki peran besar sebagaimana Bernas di Malaysia. Meski kini lembaga ini jadi milik publik, perannya menstabilkan harga pangan dalam negeri masih sangat besar. Belasan komoditas pangan, seperti susu, terigu, gula, dan minyak goreng, masih dikontrol. Padahal, kesejahteraan masyarakat di Malaysia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

Tentu dukungan lembaga saja tidak cukup karena dibutuhkan kesepakatan baru tentang politik pangan nasional. Untuk mewujudkan peran negara dalam stabilisasi pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan, dituntut perubahan dan dukungan kebijakan komprehensif. Gas alam yang diprioritaskan untuk pupuk, institusi dan pembiayaan yang sesuai karakter pertanian, kebijakan yang memberikan peluang pasar bagi produksi pangan dalam negeri, anggaran untuk membangun infrastruktur pertanian, dan sebagainya. Tak mudah, tetapi perubahan harus dilakukan.

Penulis: Hendri Saparini

Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Dimuat di Harian ”Kompas”, Selasa, 10 Agustus 2010

Pembangunan Tanpa Roh

Membaca laporan utama Kompas (6/7/2010), saya yakin banyak kalangan masyarakat yang berharap bahwa pemerintah dan para ekonom yang dekat dengan pemerintah segera menyadari kekeliruan dalam pengelolaan ekonomi nasional sehingga akan mendorong terjadinya perbaikan.

Kesimpulan dari Forum Sarasehan Ekonomi tentang permasalahan ekonomi Indonesia sudah sangat tepat. Saat ini, Indonesia memang menghadapi berbagai masalah kronis, seperti koordinasi antar- kementerian dan lembaga tinggi yang lemah, keputusan yang lambat, jurang antara si kaya dan si miskin yang makin lebar, buruknya infrastruktur, dan perekonomian nasional yang bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam (SDA). Berbagai masalah ini telah berlangsung lama, tetapi menjadi semakin parah karena tidak ada pembenahan secara tuntas.

Pilihan kebijakan

Dilaporkan bahwa forum tersebut menyimpulkan situasi perekonomian sudah berubah jauh dari masa Orde Baru (ketika para ekonom senior menjabat). Saya kurang sepakat dengan kesimpulan tersebut karena menurut hemat saya arah ekonomi saat ini sebenarnya telah dimulai pada era sebelumnya. Mari kita telaah, benarkah kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini karena pilihan arah ekonomi sejak era Reformasi?

Pertama, SDA yang tidak diprioritaskan untuk kepentingan nasional dan semakin dikuasai asing. Menurut UU Penanaman Modal tahun 2007, asing bahkan diperbolehkan untuk mengusai hingga 95 persen. Kita harus melihat permasalahan ini dengan lebih jernih karena pada dasarnya penyerahan penguasaan SDA kepada asing telah dicontohkan sejak awal Orde Baru (Orba) saat tahun 1967 pemerintah menyerahkan pengelolaan Freeport kepada asing. Apabila para pengambil kebijakan Orba menganggap langkah itu adalah kesalahan, semestinya tahun 1992 tidak dilakukan percepatan perpanjangan kontrak karya Freeport tanpa koreksi yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. Tak heran bila penyerahan penguasaan SDA kepada asing berlanjut hingga kini.

Kedua, saat ini Indonesia menghadapi beban utang publik yang semakin berat. Meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, tetapi total utang semakin besar. Pada bulan April 2010 telah mencapai Rp 1,015 triliun untuk utang dalam negeri dan Rp 573 triliun (63,54 miliar dollar AS) untuk utang luar negeri. Padahal, sebelum krisis 1997 utang pemerintah hanya 74 miliar dollar AS. Namun, apabila mau jujur, praktik pembiayaan pembangunan dengan mengandalkan utang sebenarnya telah dipraktikkan selama Orba. Hanya kemudian, para menteri ekonomi penerus melanjutkannya dengan percepatan penarikan utang yang luar biasa.

Ketiga, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan juga telah dilakukan jauh sebelum krisis tahun 1997. Bahkan, berbeda dengan negara-negara Asia lain, seperti China, Jepang, dan Korea, yang menempatkan liberalisasi keuangan pada urutan paling akhir, Indonesia justru memprioritaskan liberalisasi keuangan sebelum membangun industri domestik yang tangguh. Dengan Pakto 88 (Paket Kebijakan tahun 1988), berbagai liberalisasi dimulai, seperti diperbolehkannya untuk membuka bank baru hanya dengan modal Rp 10 miliar, bank-bank asing lama ataupun baru diberi kemudahan membuka cabang, bentuk patungan antarbank asing dengan bank swasta nasional diizinkan, rasio kecukupan modal bank lokal diturunkan dari 15 persen menjadi 2 persen, dan sebagainya.

Apabila saat ini sektor keuangan Indonesia menjadi sangat liberal, maka sangat wajar. Tidak adanya kontrol terhadap modal jangka pendek, misalnya, telah mengakibatkan sektor keuangan rapuh karena tingginya kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN) ataupun SBI. Percepatan liberalisasi di sektor perbankan juga terus dilakukan, misalnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99 persen saham perbankan nasional.

Apabila dikaji lebih jauh masih banyak kebijakan ekonomi yang mengakibatkan keterpurukan ekonomi saat ini, yang sebenarnya telah diawali pada masa Orba karena sejatinya kebijakan ekonomi era reformasi hingga era saat ini masih merupakan lanjutan dari arah kebijakan ekonomi Orba. Mungkin peribahasa ”bagaimana biduk, bagaimana pengayuh” tepat untuk menggambarkannya, yang berarti bagaimana pilihan kebijakan orangtua, begitulah pilihan anaknya.

Hanya memang harus diakui juga bahwa ada faktor lain yang mengakibatkan kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibanding era Orba, terutama akibat peran negara yang semakin dibatasi dan liberalisasi yang semakin cepat dan tanpa arah. Sebagai contoh, program kredit Bimas dan Inmas atau kewajiban alokasi kredit kepada UKM lewat kredit usaha kecil (KUK) pada masa Orba, saat ini tidak mungkin dilakukan karena tangan pemerintah telah dipatahkan satu per satu lewat liberalisasi. Kredit usaha rakyat (KUR) ala kabinet SBY sangat berbeda karena tidak dilakukan dengan menggunakan dana pemerintah, tetapi dana komersial bank yang ikut dalam program sehingga wajar bila realisasinya rendah.

Paradigma ekonomi

Diagnosis terhadap arah ekonomi yang telah menciptakan kerisauan nasional ini seharusnya bermuara pada akar masalah. Pilihan Indonesia untuk menggantungkan pembiayaan pembangunan pada utang, mempercepat liberalisasi di berbagai sektor tanpa mendasarkan pada strategi dan kepentingan nasional, menempatkan SDA hanya sekadar komoditas ekspor bukan modal untuk membangun bangsa, adalah kebijakan akibat kesalahan dalam pilihan paradigma, bukan kesalahan kebijakan, apalagi sekadar kesalahan pelaksanaan.

Oleh karena itu, keresahan terhadap arah ekonomi nasional seperti ditunjukkan dalam Forum Sarasehan Ekonomi tidak akan bermakna apabila tidak berakhir pada pengakuan jujur bahwa Indonesia telah mendayung ekonomi pada jalur paradigma yang salah selama puluhan tahun. Keresahan juga tidak akan memberikan manfaat apabila tidak diikuti koreksi yang mendasarkan pada referensi yang benar. Indonesia telah memiliki paradigma yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. UUD 1945 telah menyiapkan enam pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33), dan (34), yang mengatur kewajiban sosial dan ekonomi negara kepada rakyat.

Untuk mengoreksi arah pengelolaan ekonomi agar dapat menyejahterakan rakyat Indonesia, diperlukan kemauan politik nasional untuk mengubah paradigma ekonomi. Para ekonom senior dan mantan pejabat publik yang turun gunung karena kerisauannya terhadap keterpurukan ekonomi saat ini patut kita apresiasi. Namun, langkah tersebut akan memberikan makna apabila diikuti pengakuan bahwa kesalahan arah kebijakan ekonomi selama puluhan tahun terjadi karena mengabaikan amanah konstitusi. Pengakuan jujur ini sangat penting karena diharapkan akan jadi pendorong perubahan dan upaya pelurusan arah paradigma ekonomi bagi eksekutif ataupun legislatif. Semoga keresahan terhadap arah ekonomi tak berhenti menjadi sekadar keresahan nasional.

Penulis: Hendri Saparini

Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Dimuat di Harian ”Kompas”, Rabu, 7 Juli 2010

Rabu, 29 September 2010

KADIN dan Percepatan Industrialisasi

Pesta demokrasi di lingkungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah usai dengan terpilihnya Suryo Bambang Sulistio sebagai sebagai ketua umum Kadin periode 2010-2015. Sebelum Musyawarah Nasional IV Kadin diselenggarakan, terdengar banyak isu, diantaranya politik uang yang mewarnai pemilihan ketua umum.

Semoga saja hal ini tidak terjadi mengingat organisasi para pengusaha harus bebas dari suap dan korupsi. Sebab, faktor itu justru menjadi penyebab high cost economy dalam dunia usaha.

Bahwa menjelang pemilihan tercipta juga suasana pertarungan, hal itu wajar karena memang posisi ketua umum Kadin di Indonesia layak diperebutkan. Selain akan menjadi wadah untuk mewujudkan mimpi bagi pengusaha yang memiliki idealisme, juga akan menjadi penyambung kepentingan antara pengusaha dan penguasa.

Apalagi, jabatan ketua umum Kadin ternyata juga penting bagi karir politik. Sejarah menunjukkan hampir semua mantan ketua umum organisasi ini selalu masuk dalam bursa dan seolah memiliki privileges untuk menduduki posisi menteri ekonomi di kabinet.

Tulisan ini tentu tidak akan membahas hal tersebut. Bagaimanapun, saat ini organisasi para pengusaha nasional tersebut telah memiliki ketua umum baru. Selamat kepada Pak Suryo yang akan menduduki posisi ketua umum periode 2010-2015.

Kerja Sama Strategis

Ketika menyampaikan visi dan misi, semua kandidat menjanjikan untuk menciptakan kerjasama yang baik dengan pemerintah. Tidak terkecuali ketua umum baru, Suryo Bambang Sulistio. Kerjasama pengusaha dan pemerintah memang sangat penting, apalagi Indonesia tengah menghadapi tren penurunan daya saing sektor manufaktur yang cukup mencemaskan.

Industri manufaktur mengalami perlambatan pertumbuhan yang konsisten sejak 2005 akibat melemahnya daya saing. Kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan manufaktur yang semakin lebar menunjukkan bahwa strategi kebijakan pemerintah telah gagal dalam mencegah percepatan deindustrialisasi. Secara tidak langsung, fakta ini mengindikasikan bahwa selama ini kerjasama Kadin dan pemerintah juga telah gagal.

Lalu, kerjasama seperti apakah yang semestinya dibangun antara pengusaha dan pemerintah? Sebelum melanjutkan, saya teringat diskusi saya dengan salah satu direktur Bank Exim China dalam sebuah konferensi di Beijing tahun lalu. Saya kagum dengan strategi komprehensif yang dilakukan Tiongkok untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis finansial global. Pada saat saya tanyakan, apa resep Tiongkok sehingga pengusaha dan pemerintah dapat bergandengan tangan dalam menangkal krisis, dia menjawab “Kami bekerja 100 jam seminggu”. Meskipun saya ulang pertanyaan hingga tiga kali, dengan senyum sang Direktur memberikan jawaban yang tetap sama yakni mereka bekerja 100 jam seminggu!

Jawaban tersebut tentu memiliki arti yang sangat luas dan dalam. Bahwa pemerintah harus mendukung kepentingan pengusaha nasional itu pasti. Tetapi di banyak negara termasuk Tiongkok, pemerintah tidak sekadar mendukung dari belakang, tetapi juga di samping atau bahkan terkadang berada di depan para pengusaha.

Berada di depan, tentu saja, untuk membuka pasar sebagaimana pemerintah Amerika Serikat lakukan dengan memberikan hibah dan bantuan kepada Indonesia agar membuka pasar bagi produk-produk pertanian AS di negeri ini. Juga saat Tiongkok membeli perusahaan komputer kelas dunia untuk membuka jalan di pasar global sekaligus membalikkan image produk elektronik Tiongkok yang dikenal berkualitas rendah. Sangat banyak contoh lain yang dilakukan negara-negara industri untuk mendukung daya saing produk-produk nasional mereka di pasar global.

Bila Kadin periode ini ingin berkontribusi besar dalam membangunan industri di Indonesia, ketua umum Kadin harus dapat memainkan perannya dalam kerjasama dengan pemerintah, dalam paradigma baru. Kadin tidak sekadar mendukung program pemerintah tetapi harus benar-benar menjadi bagian penting dalam perencanaan strategi industri sehingga berorientasi pada kepentingan nasional.

Bila peran dan positioning Kadin lebih baik, pasti tidak perlu terjadi demo para pengusaha dan pekerja untuk menentang kebijakan kenaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) dan tarif-tarif lain yang diatur oleh pemerintah. Juga, tidak perlu para ketua asosiasi berkali-kali mengajukan surat keberatan kepada pemerintah atas agresivitas kerjasama ekonomi internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia seperti dalam ASEAN-China FTA maupun FTA-FTA dan EPA-EPA lain karena pemerintah belum menyiapkan mitigation policy-nya. Padahal, strategi ini sangat penting agar potensi cost dapat ditekan seminimal mungkin dan potensi benefit dari FTA dapat dioptimalkan bagi kepentingan nasional.

Strategi dan kebijakan industri

Dengan jumlah anggota sekitar satu juta dan anggota potensial lebih dari lima puluh juta, maka Kadin adalah organisasi dengan kekuatan besar. Sangat wajar bila ketua umum harus dapat mewujudkan bargaining position yang kuat dimata pemerintah.

Tentu saja dengan daya tawar Kadin yang tinggi, pemerintah tidak seharusnya dengan serta merta mengadopsi roadmap yang telah disusun oleh Kadin. Karena roadmap Kadin tentu merupakan rencana bisnis yang akan mewakili kepentingan para anggotanya. Padahal banyak stakeholder di luar Kadin yang juga berkepentingan terhadap strategi dan kebijakan pembangunan industri nasional, sehingga pemerintah harus berada di tengah untuk mewakili kepentingan nasional baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.

Dengan pertimbangan tersebut menjadi wajib bagi pemerintah untuk menyusun industrial policy and strategy (strategi dan kebijakan industri). Perencanaan inilah yang akan menjadi payung bagi pembangunan industri dan penyiapan kebijakan-kebijakan pendukung baik kebijakan energi, kebijakan perdagangan internasional, kebijakan lahan dan agraria, kebijakan fiskal, dan lain-lain.

Perencanaan ini juga akan menjadi referensi bagi Kadin untuk menyusun roadmap-nya. Bila pemerintah menetapkan bahwa energi alam akan diprioritaskan untuk mendukung kepentingan industri dalam negeri, misalnya, maka orientasi pengusaha Kadin di bidang energi tidak akan berorientasi ekspor tetapi lebih diprioritaskan untuk memasok kebutuhan industri dalam negeri karena kebijakan pemerintah akan memberikan insentif bagi yang berorientasi dalam negeri.

Demikian juga bila dalam strategi industri nasional pemerintah menetapkan rotan mentah tidak untuk ekspor tetapi sebagai bahan baku dalam menciptakan produk unggulan ekspor, maka dengan berbagai kebijakan pendukung, pengusaha-pengusaha pengolah rotan akan lebih menguntungkan, bukan pengusaha-pengusaha eksportir rotan mentah.

Kita tidak dapat menyalahkan bila saat ini yang tumbuh subur justru pengusaha-pengusaha eksportir batubara, karet mentah, Crude Palm Oil (CPO), dan bahan baku serta bahan mentah lainnya yang saat ini tumbuh subur dan berjaya. Bila ini berlanjut, Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah tetap akan sulit membangun industri manufaktur yang kompetitif dan memiliki nilai tambah tinggi.

Harapan baru ada pada ketua umum Kadin terpilih. Semoga ketua umum baru memiliki jiwa aktivis, yang akan memanfaatkan daya tawarnya yang kuat untuk mendorong pemerintah menyiapkan industrial policy and strategy. Inilah satu-satunya jalan agar arah industrialisasi di Indonesia jelas dan Kadin dapat berkontribusi besar dalam mewujudkan percepatan industrialisasi di Indonesia sebagaimana terjadi di Tiongkok dan negara-negara industri baru dunia. Semoga!


Tulisan ini telah dimuat di Harian "Investor Daily", Senin 27/09/2010