Jumat, 01 Oktober 2010

Liberalisasi untuk Liberalisasi

Memasuki era pasar bebas ASEAN-China, pengusaha dan masyarakat Indonesia cemas. Sangat aneh karena semestinya, bagi Indonesia, liberalisasi ekonomi bukan hal baru. Indonesia telah memulainya sejak dua puluh lima tahun yang lalu, saat menjadi tuan rumah Bogor Declaration yang menjadi cikal bakal Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC).

Pertanyaannya, mengapa hingga hari ini Indonesia tidak siap menghadapi perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi? Secara umum, ada beberapa hal yang menjadi penyebab.

Pertama, pemerintah tidak mengomunikasikan berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang telah ditanda tangani. Padahal, masyarakat berhak dan penting untuk mendapatkan penjelasan tentang cost/benefit dari setiap kerja sama ekonomi yang dilakukan pemerintah.

Seharusnya pemerintah bersama para pengusaha menyusun adjustment policy, agar dapat meraih manfaat dan mengurangi dampak negatifnya. Tetapi, kalangan industri dan masyarakat tidak mendapatkan informasi rencana strategi, kebijakan preventif, dan program mitigasi yang akan dilakukan (restrukturisasi industri, rencana relokasi pekerja, dan lain-lain). 

Kedua, dalam setiap kesepakatan kerja sama ekonomi, Indonesia tidak mempunyai posisi negosiasi yang jelas. Ini berbeda dengan negara-negara lain yang pada saat membuat kesepakatan sudah memiliki strategi yang jelas tentang apa yang harus dipercepat dan yang harus ditunda dalam liberalisasi. China, misalnya, meski selalu didesak, akan tetap mempertahankan strategi nilai tukar lemah karena ini merupakan strategi harga mati untuk menjaga daya saing industrinya. 

Ketiga, tidak ada aturan perundangan yang mewajibkan pemerintah meminta persetujuan DPR saat akan melakukan major trade agreement atau saat meratifikasi kesepakatan dagang internasional yang penting. Padahal, di Amerika Serikat, pada saat akan membuat kesepakatan North American Free Trade Agreement (NAFTA) saja, pemerintahan Clinton harus meminta persetujuan Kongres. 

Keempat, kebijakan industri dan perdagangan yang terpisah mengakibatkan arah kebijakan ekonomi tidak jelas. Misalnya, kebijakan industri dan perdagangan untuk sumber daya batu bara. Di China, untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur, pemerintah memutuskan untuk menjadikan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik murah dan tidak menjadikannya sebagai komoditas ekspor. 

Di Indonesia, strategi pemanfaatan batu bara tidak jelas. Departemen Perdagangan cenderung membuka pasar bebas untuk berbagai energi alam, sedangkan Departemen Perindustrian lebih memprioritaskan bagi kepentingan dalam negeri. 

Berbagai kelemahan tersebut terjadi karena Indonesia tidak memiliki industrial policy and strategy. Padahal, semua negara mensyaratkan strategi industri sebelum memulai liberalisasi. Indonesia tidak siap dalam perdagangan bebas karena paradigma liberalisasi di Indonesia adalah "liberalisasi untuk liberalisasi". Liberalisasi dilakukan bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional. 

Bahkan, liberalisasi seolah hanya domain pemerintah yang tidak terkait dengan para pelaku usaha dan masyarakat. Pemerintah SBY-Boediono harus melakukan koreksi mendasar karena bukan model liberalisasi ini yang boleh dilanjutkan.***

 

Dimuat di Harian “Suara Karya”, Selasa 26 Januari 2010