Selasa, 24 Mei 2011

Negosiasi Setengah Hati

Beberapa waku yang lalu, harian Republika selama beberapa hari mengangkat berita dampak ASEAN China Free Trade Agreement (AC-FTA). Bahwa kesepakatan ACFTA akan memberi dampak negatif bagi ekonomi Indonesia, tentu bukan berita baru. Sebelum implementasi ACFTA, penulis pun telah menyampaikan analisis dampak negatif ACFTA dan kebijakan terobosan yang harus dilakukan untuk mencegahnya.

Namun, setelah setahun ACFTA deindustrialisasi di sektor manufaktur terus terjadi dan bahkan mengalami percepatan, merupakan bukti yang sangat penting. Apalagi data menunjukkan produksi pada sembilan sektor industri telah mengalami penurunan sekitar 25-50 persen yang diikuti oleh penurunan penjualan di pasar domestik, penurunan keuntungan dan pengurangan tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Bahkan Menteri Perindustrian menambahkan ada beberapa produsen yang telah menutup usahanya dan sebagian beralih dari produsen menjadi sekadar perakit atau pedagang.

Bila pemerintah terkesan kaget melihat perkembangan ini dan berjanji melakukan langkah penanggulangan, maka penulis meragukan bahwa langkah yang akan diambil adalah upaya untuk mengembalikan kekuatan industri manufaktur nasional. Alasannya, pada saat Indonesia berkesempatan merenegosiasikan 228 pos tarif dengan pemerintah China pada bulan April 2010 di Yogyakarta, tim pemerintah Indonesia yang dipimpin Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tidak melakukan upaya all out.

Membuang peluang

Paling tidak ada dua alasan yang mendasari keraguan penulis bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan langkah subtansial untuk menyelamatkan industri manufaktur nasional. Pertama, sikap pemerintah yang hingga saat ini tetap tidak kompak dalam menilai dampak negatif dari ACFTA. Pada saat minggu lalu Kementerian Perindustrian menilai bahwa ACFTA telah berdampak buruk bagi sektor manufaktur nasional, maka pada saat yang sama Kementrian Perdagangan justru mengatakan bahwa dampaknya belum mengkhawatirkan karena belum ada data yang menunjukkan adanya kerugian di sektor industri.

Perbedaan pandangan ini tentu akan mengakibatkan ketidakjelasan positioning Indonesia dalam melakukan renegosiasi dengan China. Tidak adanya kesamaan strategi yang disepakati dan didukung oleh semua kementerian ekonomi, akan menjadikan Indonesia memiliki posisi tawar yang lemah. Hal ini telah terbukti pada pertemuan Yogyakarta pasa tahun lalu dimana ketua tim negosiasi tidak memanfaatkan argumen-argumen penting yang diajukan oleh berbagai kementrian ekonomi yang seharusnya dapat menjadi senjata dalam renegosiasi.

Menteri Mari Pangestu mengabaikan hasil kajian Satuan Tugas (Satgas) ACFTA yang dibentuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menemukan beberapa indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait penggunaan tenaga kerja asing. Dari hasil kajiannya, Satgas ACFTA Menakertrans menunjukkan bahwa pelaksanaan ACFTA diprediksi akan memunculkan banyak perselisihan dalam hubungan industrial karena akan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.


Demikian juga temuan Menteri Perindustrian yang menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki peluang besar untuk melakukan renegosiasi pos tarif karena renegosiasi adalah hak bagi setiap negara. Dalam pasal 6 perjanjian ACFTA disebutkan bahwa renegosiasi itu dibolehkan kalau ada sektor tertentu yang dirugikan dari pelaksanaan ACFTA. Peluang-peluang tersebut semestinya dikemas dan dimanfaatkan secara maksimal oleh delegasi Indonesia sehingga Indonesia berhak mengajukan modifikasi.


Sayangnya, pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Mari Pangestu justru dengan mudah menyetujui usulan China untuk membatalkan renegosiasi dan sepakat untuk mengkompensasi dampak buruk ACFTA bagi industri Indonesia dengan janji investasi di sektor infrastruktur oleh China. Logika dari kesepakatan ini sulit diterima karena investasi infrastruktur dari China jelas tidak akan dapat memperlambat laju percepatan deindustrialisasi yang telah dan akan terus terjadi akibat gempuran produk impor China. Industri yang bangkrut akibat ACFTA tentu tidak mudah dan murah untuk dibangkitkan lagi meskipun dibantu dengan pembangunan infrastruktur.

Sikap Indonesia yang mendukung pembatalan renegosiasi tarif justru semakin jelas dengan kedatangan Perdana Menteri China Wen Jiabao untuk membicarakan investasi China di Indonesia. Wakil Presiden Boediono bahkan menyambut dan menyatakan bahwa bagi Indonesia yang lebih penting adalah menyiapkan infrastruktur bukan merevisi kesepakatan ACFTA yang telah dibuat. Jadi, fokus pemerintah Indonesia memang bukan memperjuangkan renegosiasi tariff yang akan menyelamatkan industri manufaktur nasional.

Tidak memanfaatkan forum

Jadi, tidak mungkin Indonesia mengagendakan pembicaraan dampak ACFTA dalam pertemuan ASEAN Summit 2011 yang akan diselenggarakan di Jakarta pada bulan Juni 2011. Inilah alasan kedua mengapa penulis tidak yakin pemerintah akan melakukan upaya maksimal untuk mwngurangi dampak negatif ACFTA. Sebagaimana terjadi tahun lalu, sebelum pertemuan bilateral dengan China di Yogyakarta, Menteri Mari Pangestu menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membawa isu renegosiasi ACFTA pada ASEAN Summit 2010 di Hanoi. Sikap ini sangat tidak konsisten dengan jawaban ibu Menteri Perdagangan saat menghadapi tuntutan para pengusaha yang selalu berdalih bahwa ACFTA adalah kesepakatan regional sehingga hanya bisa dibicarakan pada tingkat ASEAN bukan pada level bilateral antara Indonesia dan China.

Penolakan Indonesia untuk melakukan renegosiasi ACFTA juga sudah terlihat sebelumnya. Pada pertengahan tahun 2009, jauh sebelum penerapan ACFTA secara penuh, Menteri Mari Pangestu juga mengabaikan masukan Asosiasi Pertekstilan Indonesi (API) yang menyampaikan bahwa tidak hanya pengusaha Indonesia, tetapi juga pengusaha tekstil yang tergabung dalam koalisi tekstil ASEAN merasa keberatan dengan ACFTA sehingga meminta kepada pemerintahannya masing-masing untuk mengajukan penundaan AC-FTA. Upaya ini merupakan langkah lanjutan pengusaha setelah pada awal 2009 pengusaha perikanan Filipina juga mengajak pengusaha ASEAN mendorong penundaan liberalisasi sektor perikanan dalam kesepatan ACFTA.

Indonesia sebagai salah satu negara penting di ASEAN dan saat ini bahkan menjadi ketua ASEAN, ternyata bukan memanfaatkan forum ASEAN dan kerjasama dengan para menteri ASEAN lainnya untuk mencari solusi bagi penyelamatan kepentingan nasional, tetapi justru cenderung berlindung dibalik berbagai kesepakatan untuk tidak melakukan renegosiasi ACFTA dengan sungguh-sungguh.

Jadi, seandainya bertaruh itu diperbolehkan, maka penulis berani memasang taruhan bahwa kali inipun, meskipun pemerintah berjanji akan mencari solusi dampak negatif ACFTA, tetapi pemerintah Indonesia tidak akan memilih kebijakan terobosan yang dapat menyelamatkan industri manufaktur nasional. Apalagi berani melakukan koreksi terhadap kebijakan liberalisasi ekonomi meskipun terbukti telah dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa perencanaan matang dan tidak memberikan manfaat bagi kepentingan nasional. ***

Kamis, 19 Mei 2011

Benarkah Tidak Neoliberal?

Sudah cukup lama ternyata saya tidak mengisi blog saya ini. Hari ini saya tergelitik untuk menulis tentang pidato presiden SBY yang menghadirkan Prof Ha-Joon Chang asal Korea. Ada dua hal penting yang patut dicatat:

  1. Kuliah ini penting bagi SBY-Boediono yg tengah menghadapi penurunan popularitas d tingkat kepuasan masyarakat - yang menilai pem SBY gagal utk sejahterakan rakyat karena terlalu taat pada resep kebijakan neoliberal. Kehadiran Prof Ha-Joon yg sangat kritis terhadap ekonomi neoliberal dan kapitalisme diharapkan akan mencitrakan bahwa SBY-Boediono tidak menganut ekonomi neoliberal, seperti disampaikan oleh Presiden SBY dlm pidato pembukaannya.
  2. Pemerintahan SBY-Boediono tampaknya tidak akan menjalankan saran Prof Ha-Joon yangg berkali-kali mengingatkan agar tidak menyandarkan diri pada kebijakan pasar bebas, tetapi memberikan peran yang lebih besar kepada BUMN. SBY-Boediono tidak mungkin akan mengikuti rekomendasi tsb, sebagaimana sebelumnya disarankan oleh ekonom kelas dunia seperti: Hernando de Soto, Muhamad Yunus, atau Stiglitz. Kebijakan liberalisasi perdagangan dan privatisasi, merupakan dua pakem ekonomi neoliberal yang justru sangat patuh dijalankan oleh SBY-Boediono.

Bahwa Presiden SBY adalah orang yang santun dan memperhatikan rakyat miskin dengan BLT, jaminan kesehatan, raskin, dsb; sementara Wapres Boediono adalah sosok yang sederhana, tidaklah serta merta mengubah bahwa paradigma yang mereka anut adalah neoliberalisme. Seperti saya sebutkan di atas, liberalisasi perdagangan dan privatisasi BUMN adalah dua pilar kebijakan kebijakan neoliberal dari empat ciri-ciri kebijakan neoliberal, yaitu:

Pertama, kebijakan anggaran ketat yang termasuk di dalamnya adalah kebijakan penghapusan subsidi. Paket ini sering disebut juga kebijakan stabilisasi ekonomi makro.

Kedua, liberalisasi sektor keuangan. Kebijakan ini seolah menguntungkan negara berkembang karena akan memudahkan para pelaku usaha untuk mendapatkan sumber pendanaan murah dari pasar global. Namun pada dasarnya kebijakan liberalisasi keuangan ditujukan untuk mendukung sirkulasi dan transaksi keuangan global.

Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan. Liberalisasi dipromosikan sebagai strategi penting untuk memberi peluang bagi negara berkembang untuk memperluas pasar. Padahal negara maju akan tetap melakukan perlindungan melalui berbagai mekanisme kuota, export restraint, subsidi dan hambatan non-tarif, dll.

Keempat, pelaksanaan privatisasi BUMN. Resep ini jelas ditujukan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sampai sekecil mungkin agar dapat diganti oleh swasta terutama perusahaan multinasional dengan instrument penjualan saham lewat privatisasi.

Dengan ciri-ciri tersebut, apakah pemerintahan SBY-Boediono masih bisa kita sebut tidak neoliberal?