Jumat, 28 Januari 2011

Tentang Ekonomi Konstitusi...

Tulisan di bawah ini saya sampaikan pada saat Nasional Demokrat mengawali Seminar National Pendahuluan “Restorasi Indonesia” bertempat di Hotel Borobudur pada tanggal 1-2 Juni 2010. Menjelang diakhirinya rangkaian acara "Restorasi Indonesia", berikut ini saya unggah tulisan tersebut agar dapat juga dinikmati oleh teman-teman yang lain. Mudah-mudahan bermanfaat.


Jalan Ekonomi Konstitusi Indonesia:

Sungguhkah Kita Ingin Menjalankan Sepenuhnya?[1]

Oleh: Hendri Saparini, Ph.D[2]


Pendahuluan

Rasanya semua sepakat bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak masalah mendasar di bidang sosial ekonomi.


Pertama, masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Bila digunakan pendekatan jumlah keluarga yang masih layak mendapatkan Raskin (beras untuk orang miskin) sebanyak 19,2 juta keluarga. maka dengan rata-rata anggota per keluarga 4 orang, paling tidak saat ini jumlah orang miskin dan mendekati miskin minimal 40 juta orang. Lebih banyak dibanding data BPS yang sebanyak 32,5 juta orang (2009) dengan batasan pengeluaran Rp 200.262 per orang per bulan, atau Rp 6.675 (USD 0,725) per orang per hari. Dengan kata lain, bila digunakan indikator internasional USD 2 per orang per hari, maka jumlah orang Indonesia yang belum sejahtera akan jauh lebih besar.


Grafik 1. Distribusi Pengeluaran Penduduk


Tidak hanya masih banyaknya masyarakat yang tergolong miskin, tetapi juga terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang makin melebar. Data tahun 2005 menunjukkan 40% orang berpendapatan rendah menguasai 22% pendapatan nasional, sedangkan tahun 2008 menurun hingga 19%. Data ini sejalan dengan tren peningkatan angka Gini Index yang mengindikasikan kesenjangan antara individu yang makin lebar.

Rendahnya kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dari masih tingginya angka pengangguran. Angka pengangguran BPS memang ’hanya’ 8,97 juta jiwa (7.87%) pada tahun 2009. Namun, masalah pengangguran di Indonesia tidak hanya pada jumlah tetapi juga definisi tentang bekerja yang sangat longgar. Definisi orang bekerja yang digunakan BPS dalam survei adalah orang yang bekerja minimal satu jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir. Dengan definisi tersebut, tidak heran bila dari angkatan kerja yang telah bekerja, 69.5% berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar angkatan kerja Indonesia berpendidikan maksimal SD, maka orang Indonesia yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.


Grafik 2. Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan, 2009 (juta jiwa)


Kedua, masalah ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, misal di ASEAN, yang memulai pembangunan dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari indikator Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia yang masih pada level 107 di tahun 2008. Jauh tertinggal dibanding Malaysia (63), Thailand (78) bahkan di bawah Filipina (105). Rendahnya IPM berarti pelayanan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, air bersih) maupun daya beli masyarakat masih realtif rendah dibanding negara-negara ASEAN.


Demikian juga bila diukur dari PDB per kapita. Indonesia yang pada tahun 1960an sekitar USD 100, hampir sama dengan negara-negara tetangga, namun saat ini sudah jauh berbeda. Pada tahun 2008 Indonesia baru sekitar USD 2.246, Thailand USD 4.043 dan Malaysia USD 8.209 (World Bank). Belum lagi bila kita memasukkan data bahwa sebenarnya terjadi kesenjangan pendapatan, yang berarti sebagian besar kue ekonomi dinikmati secara tidak merata.


Ketiga, masalah rendahnya daya saing industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin tinggi. Untuk pangan, Indonesia tidak hanya mengalami ketergantungan tetapi mungkin dapat dikatakan telah masuk pada food trap(perangkap pangan). Tujuh komoditas pangan utama nonberas sangat bergantung pada impor. Empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meningkatnya ketergantungan pangan dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas, benih maupun bibit. Data BPS dan Kadin menunjukkan impor kedelai pernah mencapai 61% dari kebutuhan dalam negeri, gula 31%, susu 70% dan daging 50%.


Industri pengolahan pun akhirnya memiliki linkage bisnis yang rendah di dalam negeri dan memiliki ketergantungan impor terhadap bahan baku maupun bahan mentah. Memang masalah ini diawali dari syarat kebijakan liberalisasi oleh IMF yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) di bidang pertanian sejak tahun 1998. Namun, kebijakan ini terus berlanjut sehingga peran pemerintah untuk menciptakan kedaulatan pangan semakin kecil. Ini sangat berkebalikan dengan negara-negara maju dimana peran negara di sektor pertanian tetap sangat besar sehingga produksi dan perdagangan pangan dunia semakin dikuasai negara-negara maju. Amerika Serikat dan Uni Eropa yang misalnya, memberikan subsidi pertanian agar komoditas yang dihasilkan para petani dapat memenangi persaingan di pasar dunia. Itulah sebabnya daya saing perusahaan multinasional (MNCs) Amerika Serikat dan Eropa semakin kuat dengan penguasaan industri hulu (sarana produksi pertanian) seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida, maupun industri hilir (pertanian) seperti dalam industri pengolahan pangan. Jelas bagi kita bahwa setiap negara akan mengelola ekonomi berdasarkan perintah konstitusinya dan menomorsatukan kepentingan nasional. Saat krisis 2008, pemerintah AS memilih memberlakukan kebijakan proteksi antara lain kebijakan’buy American’ yang mengharuskan dana stimulus fiskal digunakan untuk membeli produk dalam negeri. Apakah kebijakan tersebut dapat disimpulkan AS telah berubah dan menolak pasar bebas? Tentu tidak sesederhana itu. Kebijakan tersebut diambil karena pemerintah berkewajiban untuk menyelamatkan ekonominya dan memprioritaskan kepentingan nasional diatas kesepakatan internasional yang melarang negara-negara melakukan kebijakan proteksi dalam menghadapi krisis. Setelah daya saing produk AS pulih, maka AS akan kembali mendorong liberalisasi ekonomi.


Grafik 3. Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB

Ketergantungan pembiayaan pembangunan terhadap dana utang juga terjadi. APBN yang disusun selalu defisit telah mendorong peningkatan stok utang pemerintah baik utang dalam negeri maupun luar negeri. Memang benar porsi utang terhadap PDB terus menurun. Akan tetapi ketergantungan terhadap utang tidak cukup dilihat dari rasio, tetapi juga pada kemampuan bayar dan sumbernya. Stok utang Indonesia dalam rupiah pada tahun 2009 sebesar Rp 1.591 triliun. Memang porsi utang luar negeri telah mulai berkurang hingga menjadi Rp 611 triliun, tetapi masalah utang luar negeri tidak hanya pada jumlahnya saja tetapi justru lebih pada policy matrix (persyaratan kebijakan) dari utang luar negeri tersebut.

Untuk utang dalam negeri, tahun 2009 telah mencapai Rp 979 triliun. Pertumbuhan yang tinggi ini tidak mengherankan karena penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) setiap tahun terus bertambah karena untuk menggantikan pengurangan porsi utang luar negeri. Bahkan dalam lima tahun terakhir meningkat dari sekitar Rp 32 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 175 triliun pada APBN 2009. Dengan pilihan pembiayaan defisit dengan Surat Utang Negara (SUN) dan dana obligasi mahal seperti Global Medium Term Note (GMTN) yang suku bunganya bahkan pernah mencapai 11% lebih, semakin mendorong masuknya gelombang hot money (dana jangka pendek) ke Indonesia, sehingga Indonesia menjadi surga serta permainan bagi para spekulator.


Grafik 4. Perkembangan Utang Pemerintah Pusat


Masih banyak masalah sosial ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini. Namun, seringkali keprihatinan atas buruknya kondisi ekonomi tersebut tidak membawa kita untuk melakukan evaluasi terhadap arah dan kebijakan ekonomi yang dipilih selama ini. Keterpurukan ekonomi Indonesia sering dianggap sebagai akibat dari pengelolaan kebijakan publik yang tidak transparan dan sarat korupsi. Bahkan seringkali isu korupsi menjadi alat dan pintu masuk bagi kebijakan liberalisasi dan privatisasi. Pengebirian peran Bulog, Pertamina dan beberapa BUMN lain misalnya, sangat mendasarkan pada isu korupsi sehingga mengesampingkan pentingnya peran strategis Bulog dan Pertamina. Bahwa korupsi merupakan masalah dan musuh besar bagi pembangunan ekonomi memang benar. Akan tetapi gencarnya kampanye anti korupsi jangan sampai menenggelamkan atau digunakan untuk menutupi faktor penyebab utama dari keterpurukan ekonomi Indonesia yakni paradigm kebijakan ekonomi yang salah.


Sudah saatnya bagi kita untuk mengkaji dengan kritis apakah garis pengelolaan ekonomi saat ini telah sejalan dengan amanah konstitusi UUD 1945. Mengapa, kondisi ekonomi justru semakin jauh dari cita-cita pembangunan seperti tercantum pada pembukaan UUD 1945?


Jalan Ekonomi Konstitusi

Setiap negara akan mengelola kebijakannya, termasuk kebijakan ekonomi, sesuai amanah dalam konstitusinya. Indonesia, sebagai negara berdaulat dan memiliki konstitusi UUD 1945, semestinya harus mengelola ekonomi berdasarkan pasal-pasal dalam konstitusi tersebut. Mengapa? Bila paradigma ekonomi yang dipilih berbeda dari konstitusi, maka akan menghasilkan pilihan kebijakan yang menyimpang pula dari garis konstitusi. Dalam paradigma ekonomi konstitusi, pengelolaan ekonomi akan memanfaatkan segala sumber daya nasional yang dimiliki. Baik sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan lain-lain yang dimiliki untuk diprioritaskan bagi kepentingan nasional untuk mewujudkan negara yang maju, mandiri dan berdaya saing tinggi.


Namun seringkali saat paradigma ekonomi konstitusi ditawarkan sebagai solusi, banyak kalangan meragukan bahwa konstitusi kita memiliki pengaturan yang jelas, tegas dan komplit tentang pengelolaan ekonomi. Sebagian lainnya menolak dengan alasan tidak ada landasan teorinya. Bahkan, sekelompok ekonom mengatakan kita tidak perlu terbelenggu romantisme masa lalu dengan mengkaitkan pengelolaan ekonomi dengan UUD 1945, karena kita telah memasuki era ekonomi global. Sekarang, tatanan global-lah yang menjadi referensi dalam pengelolaan ekonomi agar kita mendapatkan manfaatnya. Padahal semua negara tetap memegang amanah konstitusi dan kepentingan nasional dalam memenangi globalisasi.


Penolakan dan keengganan sekelompok kalangan untuk kembali pada konstitusi pada umumnya akibat keyakinan dan kekaguman yang berlebihan terhadap paradigma ekonomi liberal. Sebagian lainnya hanya karena ketidakpahaman atas paradigma ekonomi konstitusi. Padahal pengaturan ekonomi dalam konstitusi telah memiliki aturan yang jelas. Bahkan bukan sekadar pengelolaan ekonomi semata, tetapi pengelolaan ekonomi yang ditujukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia dan mendahulukan kepentingan nasional. Konstitusi telah mengatur tugas negara dalam ekonomi sehingga pembangunan ekonomi menjamin bagi seluruh warna negara untuk ikut dalam kegiatan produksi dan dalam menikmati hasil produksi. Sayangnya, diskusi tentang paradigma ekonomi konstitusi ini memang masih sangat jarang dan bahkan tidak lagi dikenalkan di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang mempelajari ilmu ekonomi.


Undang-undang Dasar 1945 memiliki Pasal 33 yang akan mengatur ekonomi. Namun, menurut hemat saya pembahasan pasal 33 tentang pengeloaan ekonomi seharusnya tidak dilepaskan dari pembahasan tentang tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warga negara seperti menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan dan menjamin orang miskin. Dengan demikian, dalam UUD 1945 ada 6 pasal yaitu Pasal 23, 27, 28, 31, 33 dan 34, dimana keenam pasal tersebut harus dipahami secara menyatu dan tidak dipisah-pisahkan.


Pasal 23 ayat 1, menegaskan bahwa pengelolaan anggaran dan keuangan pemerintah harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 27 mengatur hak penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat. Di pasal 28 c, menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak dasarnya. Pasal 31 mengatur hak rakyat atas pendidikan dan kewajiban negara untuk memberikan pendidikan setinggi-tingginya. Dalam pasal 33, ayat 1 tentang pengaturan ekonomi yang berbasis kebersamaan, ayat 2 menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati hasilnya agar mengalami peningkatan kesejahteraan. Sedangkan pasal 33 ayat 3 dengan jelas diuraikan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam yang ada dan rakyat memiliki hak penuh atas kekayaan tersebut. Pada pasal 34, konstitusi menegaskan hak fakir miskin dan anak terlantar untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara. Bila keenam pasal tersebut dimaknai secara bersama, maka keberadaan pasal 33 yang mengatur negara harus menguasai sumber daya alam dan tidak diberikan penguasaannya kepada swasta dan asing karena tugas negara sesuai amanah konstitusi sangat banyak.


Namun, karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal pemerintah, maka telah terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara, minyak mentah, gas dan tambang lainnya hanya sekadar komoditas yang dapat dikuasai dan diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing. Sebagai komoditas non strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi keuntungan. Seolah manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa, penciptaan lapangan meskipun bukan pekerja ahli atau dari pembayaran pajak dan royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi saat ini, bagian pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh swasta.


Dengan kembali pada ekonomi konstitusi, berbagai kekayaan alam tambang akan dikembalikan sebagai modal pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian. Oleh karenanya kekayaan alam tersebut harus dikembalikan penguasaannya pada negara untuk dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pertanyaanya, bersungguh-sungguhkah kita akan mengembalikan pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan amanah pasal 33 ayat 3? Karena salah satu konsekwensinya kita harus berjuang untuk merevisi berbagai undang-undang pengelolaan SDA yang bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 misalnya, paling tidak ada empat pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Namun, keputusan MK tersebut hingga hari ini belum ditindak lanjuti karena akan mengganggu kepentingan sekelompok elit asing dan dalam negeri yang selama ini mendapatkan manfaat besar dari liberalisasi SDA. Kita juga harus bersedia mengevaluasi undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (minerba) karena tidak mengatur pentingnya DMO (domestic market obligation) bagi kepentingan nasional. Juga harus bersungguh-sungguh melakukan koreksi terhadap Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95% serta melakukan koreksi terhadap berbagai undang-undang yang telah disusun dengan paradigma liberal, seperti UU Kelistrikan, UU Air, dll. Mengembalikan ekonomi pada konstitusi juga berarti bersedia mengoreksi berbagai kontrak-kontrak tambang sehingga memberikan manfaat lebih besar bagi rakyat. Dengan terobosan-terobosan ini, akan ada potensi penerimaan negara baru yang lebih besar sehingga tidak lagi hanya bersumber pada pajak, privatisasi dan utang sebagaimana pakem Washington Consensus.


Pengelolaan kekayaan alam non tambang yang liberal dan tidak menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas juga harus dikoreksi. Pilihan kebijakan ini telah menjadikan Indonesia sebagai pemasok berbagai sumber daya alam mentah sebagai bahan baku industri dunia. Padahal pilihan ini akan merugikan kepentingan nasional. Pada saat memilih untuk mengekspor bahan baku dan bahan mentah maka pada saat itu pula Indonesia sedang mengekspor kesempatan kerja, memberikan nilai tambah dan menyerahkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat kepada negara lain. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia namun saat ini pemerintah membebaskan ekspor rotan mentah. Memang kebijakan ini akan mendorong ekspor sehingga menguntungkan petani rotan. Secara nasional negara juga akan diuntungkan dengan sumbangan pertumbuhan ekspor yang tinggi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sepintas kebijakan ini seolah baik. Padahal, akibat dari liberalisasi rotan mentah telah mengakibatkan produsen barang dari rotan yang umumnya di wilayah Jawa, mengalami ketidakpastian harga dan pasokan bahan baku. Tentu petani rotan akan memilih untuk mengekspor karena permintaan dan pembayaran lebih pasti. Namun, sebagai konsekwensinya banyak industri mebel rotan kecil dan menengah nasional kesulitan bahan baku. Bahkan saat ini meubel rotan Indonesia telah kalah bersaing dengan produk dari negara-negara pengimpor rotan dari Indonesia.


Bila meyakini menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang layak pada pasal 27 dan 28 adalah amanah yang harus dijalankan, maka kebijakan yang dipilih dalam pengelolaan rotan akan berbeda. Melimpahnya produksi rotan di Kalimantan justru menjadi kesempatan untuk memantapkan posisi Indonesia sebagai produsen mebel rotan utama dunia yang pernah dicapai sebelum krisis. Pengembangan sentra-sentra industri produk rotan di daerah penghasil rotan dengan berbagai dukungan teknologi dari pemerintah akan menciptakan lapangan kerja yang besar, kesejahteraan petani dan perajin rotan akan meningkat karena nilai tambah dari pengolahan rotan akan terjadi dan dinikmati oleh rakyat di Indonesia. Kebijakan yang sama semestinya juga dapat dilakukan untuk kekayaan timah, coklat, dan lain-lain yang melimpah.


Pada pasal 33 ayat 2 ditegaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki hak untuk ikut berproduksi. Konsekuensi dari ayat ini adalah bahwa seluruh rakyat harus memiliki akses sebesar-besarnya atas berbagai modal yang diperlukan untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi, baik akses terhadap modal kapital maupun modal ilmu untuk dapat memenangkan persaingan dalam ekonomi. Untuk modal pendidikan, pasal 31 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karenanya, upaya mengembalikan kewajiban negara dalam menyediakan pendidikan terbaik bagi seluruh rakyat adalah hal yang harus dilakukan. Sesuai amanah konstitusi, bila negara harus memberikan akses yang sama bagi seluruh rakyat untuk ikut dalam kegiatan ekonomi maka tugas negara tidak hanya menyediakan pendidikan dasar dan menyerahkan pembiayaan pendidikan tinggi kepada rakyat. Pengurangan berbagai subsidi pendidikan menunjukkan lepasnya tanggung jawab negara dalam menyediakan pendidikan bagi rakyat. Akhirnya hanya masyarakat yang mampu memperoleh pendidikan tinggi yang akan memenangkan kompetisi. Bila akhirnya terjadi kesenjangan yang lebar, maka hal ini adalah konsekuensi logis yang harus terjadi. Liberalisasi pendidikan tidak hanya mengabaikan pasal 31 tetapi sekaligus juga pasal 33 ayat 2.


Pasal 23 UUD 1945 telah tegas menyatakan bahwa APBN untuk kesejahteraan rakyat dan pasal 34 mewajibkan pemerintah menanggung fakir miskin dan anak terlantar. Namun, kondisi saat ini ternyata masih jauh dari tujuan pasal tersebut karena kesejahteraan masyarakat masih menjadi masalah utama. Harus dipahami bahwa pelaksanaan pasal 23 dan 34 sangat terkait dengan pelaksanaan pasal-pasal sosial ekonomi yang lain dalam UUD 1945. Alokasi anggaran pada dasarnya turunan dari politik anggaran pemerintah di berbagai sektor. Pada saat pemerintah menjalankan kewajiban pasal 31 untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pendidikan terbaik, yang berarti tidak tetap memberikan subsidi pendidikan menengah dan tinggi, maka pelaksanaan amanah ini harus tercermin dalam alokasi dana pendidikan pada APBN. Pada saat pemerintah menjalankan kewajiban untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara sebagaimana pasal 27, maka dalam APBN akan tercermin dengan jelas alokasi anggaran untuk tujuan tersebut. Selama beberapa tahun terakhir, meskipun penciptaan lapangan kerja selalu menjadi program prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Akan tetapi dalam APBN tidak pernah disebutkan berapa dan apa lapangan kerja yang akan diciptakan serta berapa anggaran yang dialokasikan. Ini terjadi karena penciptaan lapangan kerja dilakukan dengan pendekatan neoliberal yakni sekedar menciptakan iklim usaha yang baik dan menyerahkan penciptaan lapangan kerja pada swasta.


Pengelolaan SDA yang tidak dikelola sesuai pasal 33 akan berpengaruh terhadap APBN. Bila dilihat dari struktur APBN, terlihat seolah pemerintah telah mengalokasikan subsidi yang semakin besar untuk BBM, listrik dan pupuk. Oleh karenanya, agar tidak membebani keuangan negara maka subsidi-subsidi tersebut seolah layak untuk segera dipangkas. Padahal masalah sesungguhnya bukan semata pada besarnya alokasi APBN untuk dana subsidi. Tetapi perlunya subsidi energi akibat kesalahan dalam mengelola SDA energi. Untuk subsidi listrik misalnya, selama ini tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat akibat bauran energi (energy mix) PLN yang berasal dari BBM sangat tinggi, mencapai sekitar 85%. Penyebabnya, karena pengelolaan sumber daya alam yang liberal telah mengabaikan pasal 33 dan mengakibatkan PLN tidak bisa mendapatkan jaminan pasokan gas dan batu bara. Tidak heran bila biaya bahan bakar PLN menjadi sangat mahal karena PLN harus membeli energi pada harga internasional. Selisih harga inilah yang kemudian dibebankan pada APBN sebagai subsidi. Semestinya, jika energi PLN didiversifikasi ke gas dan batubara serta ada jaminan penggunaan sumber daya alam energi untuk kepentingan listrik nasional, maka biaya produksi listrik dapat ditekan secara signifikan tanpa menambah subsidi.


Penutup

Enam pasal ekonomi dan sosial dalam konstitusi UUD 1945 yakni Pasal 23, 27, 28, 31, 33 dan 34 merupakan pasal-pasal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian ekonomi serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Pasal 33 menegaskan bahwa 1) pengelolaan ekonomi harus berbasis kebersamaan, 2) seluruh rakyat memiliki hak untuk berproduksi dan menikmati hasilnya serta 3) menegaskan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam dan memanfaatkannya untuk rakyat sebagai pemilik penuh atas kekayaan tersebut. Sementara lima pasal lainnya menjelaskan bahwa negara mempunyai tanggung jawab besar baik dalam menyediakan kebutuhan dasar, pendidikan, lapangan kerja serta dalam menjamin fakir miskin dan anak terlantar.


Namun, pengelolaan ekonomi Indonesia yang terjadi saat ini ternyata telah semakin jauh dari jalan ekonomi yang digariskan dalam konstitusi. Sejak krisis 1997/98 ekonomi Indonesia bahkan mengalami percepatan liberalisasi. Pilihan kebijakan ekonomi semakin fokus pada tiga hal yakni stabilitas makroekonomi dan disiplin anggaran lewat pengurangan berbagai subsidi; liberalisasi keuangan, perdagangan dan industri; serta privatisasi, yang sejalan dengan agenda ekonomi neoliberal. Dampak dari pengelolaan ekonomi ini telah mengurangi peran negara dalam memenuhi kewajiban-kewajiban konstitusinya terhadap rakyat. Kebijakan disiplin anggaran telah mengurangi berbagai subsidi, tidak hanya BBM tetapi juga pendidikan. Liberalisasi telah menempatkan kepentingan nasional bukan sebagai prioritas. Privatisasi juga telah mengaburkan peran strategis pemerintah untuk mengelola sektor-sektor strategis.


Indonesia adalah negara dengan kekayaan yang melimpah baik kekayaan alam, budaya, jumlah penduduk yang besar. Bila tidak ada koreksi kebiajkan, maka potensi yang besar akan habis tanpa ada manfaat besar yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Meskipun bukan hal mudah akan tetapi pengelolaan ekonomi harus segera dilakukan langkah-langkah untuk mengembalikan jalan ekonomi Indonesia pada jalan konstitusi.


Kita bersyukur pada hari ini, Nasional Demokrat mangambil langkah inisiatif untuk menyatukan dan mengajak semua pihak untuk melakukan koreksi terhadap pengelolaan ekonomi Indonesia. Besar harapan masyarakat bahwa bahwa Nasional Demokrat akan tegas dan konsisten untuk menjalankan semua konsekwensi berat yang muncul dari kesungguhannya untuk kembali pada jalan ekonomi konstitusi. Apabila tidak, maka cita-cita hanya tinggal cita-cita karena untuk mewujudkannya ada sederet agenda yang harus dijalankan agar tujuan untuk mengembalikan pengelolaan ekonomi pada jalan kontitusi segera terwujud.


Pertama, pengelolaan ekonomi tidak terlepas dari isu ekonomi politik yang didasarkan pada landasan negara. Isu ekonomi politik atau ekonomi politik menjadi kunci dalam mengoreksi jalannya ekonomi. Untuk itu perlu adanya kesepakatan nasional tentang politik ekonomi anggaran, politik ekonomi sumber daya alam, politik ekonomi pendidikan, politik ekonomi pangan, politik ekonomi kesehatan, dll. Dalam politik anggaran, pengelolaan anggaran bukan hanya sebatas bagaimana cara meningkatkan jumlah anggaran dan belanja negara, tetapi juga bagaimana merencanakan belanja sesuai dengan amanah konstitusi serta bagaimana strategi pembiayaannya sehingga sejalan dengan konstitusi.

Dari UUD 1945 pasal 23 dan 33, telah jelas bahwa prioritas anggaran adalah untuk kesejahteraan dan pembiayaan pembangunan didapat dari pengelolaan berbagai kekayaan alam. Oleh karenanya adalah sangat menyimpang saat anggaran belanja telah meningkat berkali-lipat tetapi kesejahteraan masyarakat tidak meningkat sebanding dengan peningkatan anggaran. Juga telah salah saat pembiayaan anggaran mengabaikan penerimaan yang maksimal dari sumber penerimaan dari kekayaan alam, tetapi cenderung bersandar pada pajak dan utang.


Politik pendidikan telah diatur dalam konstitusi dengan sangat jelas, yakni negara bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan sebaik-baiknya baik kualitas maupun kuantitas; dan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Oleh karenanya kebijakan liberalisasi pendidikan yang melepaskan tanggung jawab negara dalam menyediakan pendidikan yang akhirnya memaksa rakyat berkompetisi untuk mendapatkan pendidikan jelas telah menyimpang dari garis konstitusi. Padahal pendidikan merupakan salah satu syarat yang akan menjamin bahwa seluruh rakyat telah mendapatkan modal dan kesempatan yang sama untuk ikut berproduksi. Jadi, anggaran pemerintah apakah akan diprioritaskan untuk mengurangi kesenjangan pelayanan pendidikan ataukah meningkatkan kualitas pelayanan yang lebih baik tetapi kemudian hanya dapat dijangkau oleh sebagian rakyat.


Kedua, melakukan konsolidasi pemahaman ini baik secara internal maupun secara nasional kepada seluruh masyarakat. Langkah ini tentu bukan pekerjaan mudah dan akan menuntut usaha yang tidak mengenal lelah. Terlalu banyak kelompok kepentingan baik di dalam dan luar negeri yang akan terganggu dengan langkah koreksi ini sehingga akan melakukan upaya untuk menghentikan upaya penyebaran pemahaman tentang perlunya Indonesia kembali pada jalan ekonomi konstitusi.


Ketiga, mengembalikan garis kebijakan ekonomi pada jalan ekonomi konstitusi menuntut perubahan secara komprehensif dan menyeluruh. Dalam pelaksanaannya, diperlukan rencana strategi dan kebijakan transisi baik langkah-langkah jangka pendek, menengah maupun panjang. Oleh karenanya perlu dilakukan kajian dan review terhadap kebijakan ekonomi. Sebagai contoh, ada langkah jangka pendek dan panjang untuk menggeser politik APBN untuk menuju jalan konstitusi baik langkah yang bersifat ideologis maupun praktis. Upaya mengurangi beban utang dapat dirinci menjadi langkah administratif dan finansial maupun langkah politik di dalam dan luar negeri. Demikian juga dengan koreksi terhadap berbagai kebijakan perundang-undangan yang telah menyimpang dari konstitusi. Ada solusi yang dapat dijalankan segera misal dengan menggunakan peraturan sementara maupun langkah mengkoreksi Undang-undang.


Keempat, dukungan parlemen menjadi salah satu kunci untuk melakukan perubahan ini. Oleh karenanya perlu penyamaan kesepakatan dan pemahaman termasuk juga mendorong DPR untuk proaktif dalam menjalankan agenda-agenda yang diperlukan. Koreksi terhadap aturan perundang-undangan atau pengurangan stok utang misalnya, memerlukan dukungan bahkan inisiatif dari DPR.


Diskusi yang digagas kali ini mudah-mudahan akan semakin melebarkan jalan dan menjadi pendorong bagi upaya-upaya mengembalikan pengelolaan ekonomi pada jalan ekonomi konstitusi yang telah dilakukan selama ini. Bukan sekadar wacana yang tidak berlanjut pada langkah-langkah konkrit dengan menjalankan agenda-agenda yang diperlukan karena memang memerlukan kerjakeras, usaha pantang menyerah, kesabaran, kesiapan strategi, dll. Semoga kita bersungguh-sungguh ingin mewujudkannya. ***


[1] Disampaikan pada Seminar National Pendahuluan “Restorasi Indonesia”, Nasional Demokrat, Hotel Borobudur, 1-2 Juni 2010.

[2] Pengamat Ekonomi, Tim Penulis Buku Ekonomi Konstitusi dan Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Selasa, 25 Januari 2011

Catatan tetang statistik, diantara angka dan fakta....

Di bawah ini adalah tulisan saya yang berjudul "Perangkap Statistik" dan dimuat di harian ”Seputar Indonesia” edisi Selasa 25 januari 2011. Yang saya tulis barangkali memang bukan sesuatu yang baru, tetapi setidaknya bisa menjadi catatan bagi kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi negara kita, bisa menjadi mengingat bagi kita untuk melangkah maju...



Dalam beberapa hari terakhir, terjadi politik yang cukup tajam atas kinerja pemerintah. Banyak kalangan bahkan merasa perlu untuk menyatakan ketidak percayaannya kepada berbagai klaim keberhasilan pemerintah. Gugatan bahkan juga dikuatkan oleh para tokoh lintas agama beberapa waktu lalu karena mereka berhadapan langsung dengan umat. Para tokoh agama merasa sangat berkewajiban untuk menggugat klaim keberhasilan pemerintah yang mengatakan telah mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan bahkan meningkatkan pendapatan masyarakat karena fakta yang mereka dihadapi di lapangan sangat berbeda.

Namun, di sisi lain, pemerintah juga bersikukuh dan bahkan menolak gugatan para tokoh lintas agama tersebut karena pemerintah merasa klaim keberhasilan yang dipaparkan telah didasarkan pada angka-angka statistik yang sahih dari BPS. Angka-angka yang diperoleh lewat sederet sensus dan survei yang dilakukan oleh tenaga-tenaga terdidik dan dengan dukungan dana APBN yang sangat besar. Angka-angka yang diperoleh dengan metodologi yang sangat dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa kedua kelompok merasa memiliki alasan yang kuat atas pernyataannya? Yang satu mendasarkan pada angka statistik yang dapat dipertanggung jawabkan, sementara yang lain juga dilandasi dengan data dan informasi yang sesuai fakta.


Cerita dibalik angka

Mari kita coba telaah angka-angka yang saat ini tengah menjadi polemik. Pertama, jumlah kemiskinan. Seberapa banyak jumlah orang miskin di Indonesia? Benarkah saat ini hanya 31 juta orang seperti klaim pemerintah? Tulisan saya yang mempertanyaankan jumlah orang miskin telah dimuat salah satu media cetak pada bulan Agustus tahun lalu. Sulit dipahami saat statistik orang miskin hanya mengakui orang yang tergolong miskin hanya sekitar tiga puluh juta tetapi dalam APBN 2010 orang yang dianggap layak menerima program beras miskin sebanyak 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang dengan perhitungan rata-rata anggota keluaraga di Indonesia 4,5 orang.

Juga dalam APBN, pemerintah menganggarkan dana program bantuan kesehatan bagi orang miskin adalah untuk 76,4 juta orang. Bila statistik orang miskin yang menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan angkanya sebesar 31 juta, mengapa jumlah orang yang berada di atas garis kemiskinan dan layak menerima bantuan program pangan dan kesehatan untuk orang miskin jumlahnya justru lebih banyak, antara 40-45 juta? Artinya, banyak orang yang miskin dan layak menerima bantuan untuk orang miskin tetapi tidak dikategorikan miskin.

Kedua, statistik Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang diklaim pemerintah sebagai indikator meningkatnya pendapatan masyarakat. Tahun 2010 PDB per kapita Indonesia bahkan telah mencapai US$ 3000 atau sekitar Rp 27 juta per kapita per tahun. Tentu angka PDB per kapita tersebut sulit diterima sebagai indikator perbaikan pendapatan karena sebagian besar rakyat masih tergolong miskin. Namun, angka tersebut juga tidak salah karena PDB memang hanya menghitung produksi yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia. T anpa peduli siapa yang melakukan produksi dan siapa yang memperoleh manfaat besar dari PDB tersebut. Kenyataannya, porsi pemilik modal besar baik domestik maupun asing dalam PDB cukup besar sehingga PDB yang dinikmati oleh mereka juga sangat besar.

Ketiga, angka pengangguran. Dalam artikel lain saya pernah mempertanyakan statistik penganggur Indonesia yang diklaim tinggal 8,5 juta pada tahun lalu. Rasanya sulit menerima angka statistik ini karena faktanya banyak orang yang masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Ternyata statistik orang yang bekerja diperoleh BPS dengan memotret angkatan kerja yang telah berkerja minimal 1 jam dalam seminggu terakhir. Akibatnya, dalam perhitungan ini orang yang bekerja tetapi tidak dibayar tetap dikategorikan telah bekerja. Padahal jumlah kelompok ini sangat besar, mencapai 20 persen dari jumlah orang yang bekerja atau tidak menganggur.

Statistik lain justru semakin menjelaskan mengapa kita sulit menerima angka pengangguran yang dinilai telah berkurang dari 10,8 persen menjadi hanya 7,14 persen. Ternyata, meskipun dalam enam tahun terakhir pemerintah berhasil menciptakan lapangan kerja, data BPS menunjukkan bahwa lapangan kerja yang berhasil diciptakan sebagian besar adalah lapangan kerja di sektor jasa kemasyarakatan. Memang di dalamnya termasuk pengusaha, profesional, tetapi porsi terbanyaknya adalah jasa kebersihan, seperti tukang sapu. Juga jasa reparasi seperti servis AC, TV, bengkel, dll. Bahkan selama enam tahun, porsi lapangan usaha jasa kemasyarakatan mencapai 41 persen dari total lapangan kerja yang tercipta. Jauh lebih besar dibanding di sektor industri atau pertanian.


Bukan angka tapi makna

Statistik hanyalah sekadar angka. Naik turunnya angka memang akan dapat bermanfaat untuk menunjukkan tren. Tren sangat penting untuk menunjukkan perkembangan terhadap sesuatu. Untuk kebijakan publik, akan dapat mengukur efektifitas dari kebijakan tersebut. Sebagai contoh, angka kemiskinan dan pengangguran yang menurun tentu lebih baik dibanding bila trennya menunjukkan peningkatan. Demikian juga angka PDB per kapita yang terus meningkat tentu merupakan indikasi positif dari kebijakan ekonomi yang diambil.

Namun, sebelum kita menganalisis tren angka-angka tersebut, sangat penting untuk memahami definisi dan makna dari angka-angka tersebut yakni bagaimana angka-angka tersebut dibangun. Angka bisa sangat bermakna tetapi sangat mungkin tidak memberi makna apapun meskipun dibangun dengan metodologi yang canggih. Apalagi angka untuk angka yang akan menjadi dasar kebijakan publik.

Sangat mungkin sebuah angka statistik justru menjadi sumber kesalahan dari pengambilan kebijakan publik yang sangat fatal. Alasannya, karena salah dalam membangun angka tersebut. Misalnya, niat pemerintah melakukan koreksi perhitungan angka inflasi dengan mengeluarkan cabe karena harganya sering mengalami fluktuasi ekstrim.

Dengan perubahan metodologi ini sangat mungkin angka inflasi yang dihasilkan lebih rendah sehingga dapat menjadi indikator keberhasilan ekonomi. Namun, angka baru tersebut tidak memiliki makna dan tidak menggambarkan apa yang terjadi di lapangan. Bagi rakyat Indonesia cabe termasuk pangan pokok dan faktanya banyak harga komoditas yang sangat terpengaruh oleh harga cabe.

Tidak terlalu salah bila Darell Huff pada tahun 1954 merasa perlu untuk menulis buku ”How to Lie with Statistics”. Karena membuat pernyataan dan klaim dengan angka-angka statistik memang menyenangkan dan seolah menjadi sangat meyakinkan. Inilah yang tengah terjadi pada pemerintahan SBY. Pemerintah SBY telah terperangkap oleh berbagai angka statistik (statistical trap). Menjadi sangat berbahaya saat pemerintah SBY juga bersikap mengabaikan nasehat dan pesan moral dari para tokoh lintas agama untuk melakukan koreksi kebijakan karena angka-angka yang menjadi dasar klaim keberhasilan kebijakan tidak menemukan makna di tengah masyarakat. Statistik hanyanyalah angka. Landasan ideologi dalam melakukan interpretasi dan dalam memilih solusi jauh lebih penting dari angka itu sendiri.***


Oleh: Hendri Saparini – Pengamat ekonomi


Senin, 10 Januari 2011

Si Miskin Harus Bekerja

Berita dampak kemiskinan yang dihadapi masyarakat memenuhi pemberitaan media massa pada awal tahun ini. Di mulai dari cerita keluarga yang keenam anaknya tewas setelah keracunan tiwul untuk mengganti nasi yang sudah tak terbeli. Sampai dengan pasutri yang nekad bunuh diri dan tega meninggalkan anak-anaknya karena tidak mampu menanggung biaya hidup. Tidak terlalu salah bila Kompas menyebutkan pilihan orang miskin di Indonesia hanya tiga yakni, berhutang, mengurangi makan, kemudian bunuh diri.

Tapi benarkah kondisi masyarakat sudah sedemikian parah? Atau pemberitaan tersebut hanya sekadar dampak dari kebebasan pers sehingga kasus kecil pun dapat blow up sehingga terkesan sangat serius? Masyarakat bingung karena cerita tersebut tidak sejalan dengan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa tahun 2010 pemerintah SBY-Boediono berhasil mengurangi penduduk miskin sebanyak 1,5 juta dan menurunkan pengangguran terbuka menjadi sebanyak 8,32 juta orang.

Di satu sisi sulit untuk tidak memercayai data BPS yang dilakukan dengan dukungan SDM terbaik dan dana APBN yang besar. Tetapi tidak mudah juga untuk menerima klaim pemerintah SBY-Boediono bahwa jumlah orang miskin berkurang.

Siapa si miskin

Siapa sebenarnya yang disebut sebagai si miskin? Selama ini untuk menghitung angka kemiskinan, BPS memotret dan menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk tahun 2010, bila pengeluaran seseorang di bawah Rp 211.726 per bulan maka dia dikategorikan miskin. Dengan batasan tersebut jumlah orang miskin diklaim hanya 31 juta.

Banyak kalangan meragukan data tersebut karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ketidakpuasan tersebut wajar. Namun harus dipahami bahwa jumlah orang miskin sebanyak 31 juta tersebut memang hanya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan angka kemiskinan hanya dengan menghitung rasio orang yang berada di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk.

Artinya, angka kemiskinan memang tidak bercerita tentang banyaknya orang miskin yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan. Sudah sering saya sampaikan bahwa jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (Raskin), tahun 2010 jumlahnya 70 juta orang. Bila digunakan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Sedangkan dengan data Bank Dunia jumlahnya mendekati 100 juta orang (42 persen penduduk), sangat jauh dari angka 31 juta orang!

Dengan penjelasan tadi semestinya pemerintah merubah batasan orang miskin dengan memasukkan kelompok mendekati miskin ke dalam kelompok miskin. Bila orang miskin menerima banyak program bantuan, maka tidak demikian halnya dengan yang terkategori mendekati miskin.

Sebagai gambaran, salah satu kelompok masyarakat yang terkategori mendekati miskin adalah buruh. Dengan asumsi pengeluaran per bulan sebesar satu juta rupiah, maka pengeluaran rata-rata anggota keluarga per bulan sebesar Rp 250.000, atau sedikit di atas garis kemiskinan. Namun, dengan pengeluaran mendekati garis kemiskinan sebagian besar buruh tidak menikmati program pangan, rumah dan pendidikan murah, bahkan tidak ada jaminan kesehatan.

Sangat wajar bila jumlah orang miskin versi pemerintah tidak dapat dipercaya masyarakat karena jumlah orang yang bekerja (tidak menganggur) tetapi memiliki penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan dasar sangat banyak. Menurut data BPS sebesar 60 persen atau 50,15 juta buruh dan pekerja di Indonesia hanya memiliki penghasilan rata-rata US$ 2.284 per tahun. Dengan kata lain, dengan dua anak pengeluaran per anggota keluarga per hari hanya sekitar Rp 15.000.

Hanya dengan bekerja

Menjawab tuntutan percepatan pengentasan kemiskinan, pemerintah sering beralasan bahwa masyarakat harus bersabar karena upaya pengentasan kemiskinan perlu waktu dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memang benar diperlukan waktu untuk memangkas kemiskinan secara signifikan. Akan tetapi kecepatan dalam mengurangi jumlah orang miskin sangat tergantung pilihan strategi dan kebijakan.

China, yang memulai pembangunan ekonomi pada akhir tahun 1970an, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dengan sangat drastis sehingga pada tahun 2004 menjadi hanya 10 persen dari sekitar 64 persen di tahun 1981. Bahkan pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari hanya tinggal 7 persen. Bandingkan dengan di Indonesia, yang pada tahun 2009 jumlahnya masih sebesar 59 persen.

Tidak hanya berhasil mengurangi jumlah orang miskin, dalam kurun waktu tiga puluh tahun, China dengan penduduk tidak kurang dari 1,3 milyar orang, juga telah berhasil membawa 66 persen penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan menengah atas. Sementara Indonesia yang memulai industrialisasi lebih dulu, hingga tahun 2009 hanya mampu memiliki 10,6 persen penduduk yang tergolong kelas menengah dan menengah atas.

Tentu banyak strategi dan kebijakan yang dilakukan China untuk mengurangi kemiskinan bahkan menghapus kemiskinan. Namun, salah satu strategi China yang perlu digaris bawahi adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. China mengawali pembangunan dengan membangun desa khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di pedesaan maka pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi.

Indonesia semestinya dapat menarik pelajaran dari pengalaman China. Apalagi lebih dari 65 persen orang miskinnya berada di desa dan hampir separuhnya hingga saat ini hanya memiliki tingkat pendidikan maksimal SD. Strategi pengurangan kemiskinan yang diintegrasikan dengan strategi penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan bahan pangan yang selama ini bergantung pada impor akan menjadi solusi pengentasan kemiskinan paling tepat bagi Indonesia.

Namun, belajar dari China, pemerintah SBY-Boediono juga harus berani melakukan kebijakan terobosan seperti reforma agraria yang sudah dijanjikan bahkan sejak pemerintahan KIB I, namun gagal diimplementasikan hingga saat ini. Demkian juga berani merancang kebijakan fiskal, perdagangan, moneter, dll yang pro terhadap pembangunan pertanian yang melibatkan kelompok masyarakat miskin secara aktif.

Penciptaan lapangan yang masif di berbagai sektor ini sekaligus juga akan menyelesaikan masalah pengangguran di Indonesia. Meskipun pemerintah SBY-Boediono mengklaim telah berhasil menurunkan angka pengangguran hingga saat ini mencapai 7,1 persen, akan tetapi data BPS menunjukkan bahwa selama enam tahun pemerintahan SBY, 41 persen lapangan pekerjaan yang tercipta adalah sektor jasa kemasyaratan, seperti jasa reparasi, kebersikan, dll., bukan pada sektor industri pengolahan dan pertanian yang akan mendorong penciptaan nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Kegagalan pemerintah SBY-Boediono dalam menciptakan lapangan kerja produktif ini pula yang mengakibatkan jumlah pekerja tidak penuh terus meningkat dari 31,1 juta orang tahun 2008, menjadi 33,3 juta orang pada tahun 2010.

Tidak ada cara untuk menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kecuali dengan menciptakan lapangan lapangan kerja. Jangan pernah mengklaim ekonomi berkinerja baik bila baru sekadar menurunkan angka kemiskinan dan angka pengangguran, bukan menyelesaikan pengangguran dan kemiskinan.

Oleh: Hendri Saparini, Ph.D; Pengamat Ekonomi, anggota Pendiri AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)

Telah dimuat pada Harian “Kompas” edisi 10 januari 2011

Senin, 03 Januari 2011

Ekonomi 2011 Sekadar Numpang Lewat?

Ini tulisan saya yang sduah dimuat di harian "Media Indonesia" edisi Senin, 3 Januari 2011. Judulnya seperti yang tersebut di atas. Selamat membaca, mudah-mudahan bermanfaat.


Sebentar lagi kita memasuki tahun 2011. Pemerintah optimis ekonomi tahun depan akan lebih baik. Tentu saja ukuran yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mencapai 6,4%, melanjutkan pencapaian tahun 2010. Apalagi, menurut Presiden SBY dalam pidatonya di Jawa Timur, pertumbuhan ekonomi Indonesia menduduki peringkat ketiga di G-20 setelah China dan India.


Bila menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi, klaim tersebut tidak salah. Pertumbuhan ekonomi 2010 yang hingga kuartal ketiga mencapai 5,9%, memang lebih tinggi dari target tahun ini yang sebesar 5,8%. Apalagi indikator keuangan tahun 2010 telah mencetak rekor baru karena Bursa Efek Indonesia mencatat kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertinggi di dunia dari 2,575 pada awal tahun, menembus 3.600 pada Desember tahun ini.


Indikator keuangan lainnya, seperti cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah juga menunjukkan peningkatan luar biasa dari hanya sekitar 51 miliar dollar AS menjadi lebih dari 90 miliar dollar AS pada akhir tahun 2010. Gelombanghot money telah menggelembungkan cadangan devisa dan mendorong penguatan nilai tukar rupiah sebesar 19 %, tertinggi diantara negara-negara Asia.


Prestasi tanpa makna

Namun, seberapa besar manfaat dari kinerja keuangan yang kinclong bagi ekonomi Indonesia? Di negara manapun ukuran keberhasilan ekonomi bukan pencapaian sektor keuangan. Buktinya, sejak awal tahun, hampir semua negara sibuk memainkan kebijakan di sektor keuangan yang tujuan utamanya untuk menggerakkan sektor riil, seperti misalnya melemahkan nilai tukarnya. Baik negara-negara maju dan berkembang juga terus berupaya menurunkan suku bunganya hingga mendekati nol agar dapat mendorong sektor riil dan mengurangi pengangguran.


China misalnya, terus berusaha melakukan manuver untuk menghindar dari tekanan AS dan negara-negara Eropa yang berkeinginan agar Bank Sentral China mempercepat apreasiasi nilai tukar yuan karena kebijakan fleksibel yang dijalankan sejak pertengahan tahun dinilai belum maksimal. Tentu tidak akan gampang bagi China dan juga negara berkembang lain untuk menuruti tuntutan tersebut karena strategi nilai tukar lemah merupakan benteng pertahanan bagi industri pengolahan. Apreasiasi yuan terhadap dollar AS tentu akan mengerek harga dan menekan daya saing produk ekspor China. Sementara bagi China, industri pengolahan sangat strategis karena menjadi andalan dalam menciptakan lapangan kerja. Menurunnya daya saing industri akan membahayakan stabilitas sosial politik negara dengan penduduk lebih dari 1,3 miliar.


Sangat mengherankan bila selama tahun 2010 Indonesia justru mengambil arah kebijakan yang berbeda dengan tren kebijakan negara-negara di dunia. Rupiah yang menguat justru dinilai sebagai kekuatan. Melambungnya IHSG juga dianggap prestasi, padahal telah ada ancaman terjadi financial bubbles. Tren kebijakan sektor keuangan tidak terintegrasi dengan strategi dan kebijakan di sektor riil. Sehingga tidak ada dasar yang jelas mengapa nilai tukar harus kuat atau harus dilemahkan.


Bagaimana kebijakan sektor keuangan tahun 2011? Dipastikan kebijakan keuangan tahun 2010 akan berlanjut dan tidak akan ada perubahan mendasar. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak akan melakukan kontrol terhadap terus berlanjutnya banjir dana dari pasar uang global yang mencari tempat investasi paling menguntungkan. Dengan kebijakan keuangan yang longgar, bahkan cenderung membiarkan dan bahkan mendorong masuknya hot money, Indonesia akan tetap menjadi surga bagi investasi portfolio dunia.


Intervensi dari negara-negara maju maupun lembaga multilateral agar Indonesia tetap mempertahankan kebijakan sektor keuangan yang sangat longgar, tentu akan terus terjadi lewat berbagai cara karena Indonesia menjadi semakin penting. Alasannya karena sejak awal 2010 banyak negara telah menerapkan berbagai kebijakan kontrol terhadap masuknya dana-dana jangka pendek. Di Thailand misalnya, pemerintah telah memberlakukan withholding tax baik untuk bunga maupun capital gain yang diterima asing. Di Brasil yang telah menaikkan pajak bagi investor asing yang membeli obligasi domestik. Sedangkan di Korea Selatan, pemerintahnya bahkan telah melakukan pelarangan untuk menarik pinjaman dengan mata uang asing dan menurunkan porsi utang luar negeri.


Konsekuensi dari kebijakan untuk mempertahankan suku bunga dan imbal hasil obligasi yang tinggi adalah kepemilikan asing di SUN, SBI dan saham akan terus meningkat seperti tren saat ini. Bila tahun 2008 total dana asing hanya sebesar Rp 548 triliun, menjadi Rp 1374 triliun tahun ini, pada tahun 2011 dipastikan akan jauh jauh lebih besar. Padahal, selain ancaman terjadi pembalikan modal, ongkos yang harus dibayar oleh ekonomi akibat besarnya kepemilikan asing sangat mahal. Modal Bank Indonesia akan terus tergerus, biaya modal swasta akan semakin mahal akibat tingginya suku bunga kredit maupun imbal hasil dari obligasi yang diterbitkan.


Tuntutan perubahan

Dituntut adanya perubahan arah kebijakan ekonomi yang cukup fundamental dari kabinet Presiden SBY. Keberanian untuk melakukan kontrol terhadap potensi membanjirnya modal jangka pendek di tahun 2011 menjadi strategi yang penting. Sebagaimana telah dilakukan oleh banyak negara, Indonesia harus segera menerapkan kontrol dana-dana asing jangka pendek baik lewat pajak, pembatasan pinjaman luar negeri, instrumen yang akan mengalihkan investasi jangka pendek ke jangka panjang, dll.


Perubahan kebijakan di sektor juga menjadi tuntutan karena ongkos mahal dari kebijakan keuangan saat ini juga harus dibayar oleh ekonomi dengan rendahnya kinerja sektor riil. Tanpa perubahan kebijakan di sektor keuangan, maka kinerja sektor riil tahun 2011 tidak akan ada perbaikan signifikan dibanding tahun 2010. Padahal, sebagaimana enam tahun terakhir, tahun 2010 pertumbuhan tiga sektor utama ekonomi yakni pertanian, pertambangan dan pengolahan, yang menjadi lapangan usaha utama penduduk dan menyerap 52% lapangan kerja hanya tumbuh 3,5 %, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi.


Kinerja sektor riil yang lambat, berdampak pada tidakmampuan dalam menyediakan lapangan kerja yang cukup sehingga menghambat penyelesaian masalah pengangguran yang cukup serius. Memang angka pengangguran terbuka tahun 2010 menurun. Tetapi jumlah orang setengah menganggur masih sebanyak 32,8 juta. Sementara data BPS menunjukkan bahwa selama enam tahun Kabinet Indonesia Bersatu, dari 12,2 juta lapangan kerja yang tercipta, 41 % diantaranya adalah usaha jasa kemasyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi politik, jasa reparasi, kebersihan, binatu, dll), bukan pada sektor-sektor yang akan mendorong produktivitas dan nilai tambah tinggi.


Buruknya realisasi APBN 2010 juga telah menjadi salah satu penyumbang penting terhambatnya kemampuan penyediaan lapangan kerja. Untuk belanja, total realisasi belanja modal hingga bulan November baru sebesar 38%, terendah selama 6 tahun pemerintahan SBY. Realisasi yang lamban dari pengeluaran pemerintah inilah yang menyebabkan absennya stimulus ekonomi dan lambannya penciptaan lapangan kerja. Hal yang sama juga terjadi pada sisi penerimaan yang hingga November 2010 baru mencapai 77,7%, lebih rendah dari kinerja pada periode yang sama tahun lalu.


Rendahnya kinerja dalam penciptaan lapangan kerja tentu akan semakin menyulitkan upaya pengentasan kemiskinan. Memang angka kemiskinan telah turun menjadi 13,3% tahun ini dan target 11,5-12% tahun 2011 sangat mungkin tercapai. Tetapi berkurangnya jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan yang hanya sekitar 1,5 juta orang, tidak sebanding dengan peningkatan anggaran pengentasan kemiskinan yang sangat besar dari hanya Rp 66 triliun (2009) menjadi Rp 94 triliun (2010).


Belum lagi jumlah penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sangat banyak. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa 42% penduduk Indonesia, sekitar 100 juta orang, tergolong near poor. Kelompok ini memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dan sangat rentan terhadap kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar terutama makanan.


Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga bahan makanan dan makanan pada tahun 2010 seharusnya menjadi alasan penting untuk berani melakukan perubahan. Beban masyarakat selama 2010 semakin berat karena harga sembako mengalami kenaikan harga sejak awal tahun. Tidak hanya beras yang melejit dari sekitar Rp 5000 menjadi lebih dari Rp 7000 per kilogram di akhir tahun, tetapi inflasi juga terjadi pada gula, terigu, telur, dll. Kondisi ini menekan daya beli tidak hanya masyarakat miskin tetapi juga kelas menengah bawah.


Tahun 2011 Indonesia akan menghadapi krisis pangan dan energi dunia. Perubahan iklim akan menurunkan pasok pangan teruama beras di pasar dunia. Liberalisasi pangan dan minimnya peran pemerintah sejak krisis terbukti mengakibatkan harga pangan semakin sulit dijangkau masyarakat. Tidak ada pilihan bagi pemerintah SBY kecuali berani melakukan koreksi kebijakan pangan. Strategi stabilisasi harga pangan dengan peran pemerintah yang lebih besar menjadi keharusan bila Presiden SBY tidak ingin ekonomi dan stabilitas sosial politik tahun 2011 terancam.


Oleh karenanya terobosan yang dilakukan untuk mendorong kinerja APBN tidak sekadar mendorong angka realisasi lebih cepat dan tinggi. Namun perlu perubahan dalam politik anggaran sehingga APBN tidak sekadar kumpulan alokasi dana untuk menstimulus laju ekonomi, tetapi juga sebagai alat politik untuk menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat dengan melakukan perubahan prioritas.


Sebagai contoh, harus ada ketegasan Presiden SBY untuk mengubah kebijakan stok beras Bulog saat ini dan mengalokasikan dana lebih besar pada APBN untuk menyerap produksi beras dalam negeri. Juga tegas untuk membatalkan rencana pengurangan subsidi BBM di tahun 2011. Selain persiapan kebijakan masih sangat prematur, penghematan anggaran yang diperoleh tidak sebanding dengan ongkos yang akan ditanggung ekonomi lewat dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan daya saing ekonomi.


Mari kita tunggu apakah Presiden SBY akan menjadikan kinerja ekonomi 2011 sekadar numpang lewat sebagaimana selama ini atau menjadi momentum perubahan untuk mewujudkan kinerja ekonomi yang berkualitas. ***