Rabu, 01 Juni 2011

Keseimbangan Perdagangan Dalam ACFTA

Dampak negatif ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) kembali menjadi berita hangat. Salah satu yang menarik adalah berita yang diangkat harian Seputar Indonesia minggu lalu. Menghadapi fakta defisit perdagangan Indonesia-China yang semakin lebar, Menko Perekonomian Hatta Rajasa akan segera mengundang China untuk melakukan perundingan. Indonesia akan meminta komitmen China dalam menjaga keseimbangan perdagangan terkait ACFTA.


Tiga hal akan diusulkan pemerintah, yaitu menjaga defisit perdagangan agar tidak semakin melebar, meminta China untuk komit dalam menjaga keseimbangan perdagangan (balance of trade), dan mendorong China bersedia berunding bila terjadi pukulan pada industri dalam negeri. Apakah langkah yang dipaparkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa tersebut akan menyelamatkan industri manufaktur Indonesia yang tengah menghadapi buruknya dampak ACFTA?


Kesepakatan Yogyakarta

Kebijakan keseimbangan perdagangan antara China dan Indonesia dimunculkan dalam kesepakatan kedua negara di Yogyakarta pada bulan April 2010. Kesepakatan itu dibuat setelah Indonesia gagal melakukan renegosiasi 228 pos tarif. Padahal renegosiasi tersebut sangat penting dan harus dilakukan karena masyarakat dan pengusaha tidak akan sanggup bersaing bila ACFTA diterapkan tanpa save guard.


Sayangnya, pemerintah Indonesia yang dalam pertemuan Yogyakarta dipimpin oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, justru menyetujui usulan China untuk membatalkan agenda renegosiasi dan sebagai gantinya menyepakati tawaran China yang akan mengkompensasi dampak buruk ACFTA bagi Indonesia dengan janji investasi di sektor infrastruktur. Tentu keputusan ini sangat disesalkan karena deindustrialisasi yang sudah terjadi dan semakin memburuk tidak akan dapat diredam apalagi dicegah dengan janji infrastruktur yang belum jelas kapan akan terealisasi.


Dengan gagalnya renegosiasi, China dan Indonesia akhirnya membuat kesepakatan yang dikenal dengan ‘Tujuh Kesepakatan Yogyakarta’. Secara umum kesepakatan tersebut akan memberikan potensi pasar bagi Indonesia di China. Salah satu isi kesepakatan tersebut misalnya China akan membuka pasar bagi ekspor buah Indonesia, namun hanya untuk buah-buah tropis. Pemerintah menilai kesepakatan ini merupakan kompensasi yang baik dan peluang ekonomi yang sangat menguntungkan. Dengan jumlah penduduk China 1,3 milyar lebih, kesepakatan ini memang sangat menggiurkan.


Namun berdasarkan pengalaman kerjasama serupa yang pernah dibuat dengan negara-negara lain seperti Jepang, penulis yakin pasar ekspor yang dijanjikan dalam kesepakatan tersebut hanya merupakan potensi yang tidak mudah direalisasikan. Untuk pasar ekspor buah misalnya, akan ada sederet persyaratan yang pada dasarnya merupakan non tariff barrier (hambatan non tarif) dari China. Seperti persyaratan sertifikasi bebas penyakit, bebas hama, tidak mengandung pestisida, kualitas memadai sampai standarisasi ukuran buah. Dengan rendahnya dukungan teknologi pertanian bagi para petani Indonesia, tentu bukan perkara gampang untuk memenuhi persyaratan tersebut.


Kesepakatan melumpuhkan

Kesepakatan keseimbangan perdagangan tertuang pada kesepakatan nomor tujuh. Salah satu poin dalam kesepatan tersebut menyebutkan bahwa ‘kedua pihak akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang mengalami surplus perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan termasuk mendorong impor lebih lanjut dan memberikan dukungan yang diperlukan’.


Sekilas, kesepakatan yang dibuat sangat baik dan akan menguntungkan Indonesia karena defisit perdagangan yang semakin melebar akan memberatkan ekonomi Indonesia. Namun sejatinya kesepakatan ini belum tentu akan menguntungkan ekonomi Indonesia bahkan sangat mungkin berdampak negatif. Salah satunya bila dilihat dari karakteristik ekspor impor antara Indonesia dan China yang sangat berbeda.

Selama ini impor Indonesia dari China selalu didominasi oleh berbagai produk olahan. Seperti telah diprediksi, pertumbuhan impor yang sangat tinggi paska implemantasi penuh ACFTA terjadi pada sembilan sektor industri manufaktur seperti tekstil, baja, elektronik, mainan anak, dll. Selain juga berbagai produk pertanian seperti buah dan berbagai tanaman pangan yang telah menjadi komoditas impor utama Indonesia dari China sejak Early Harvest Programdiberlakukan tahun 2004 sebagai implementasi awal ACFTA.


Sementara, impor China dari Indonesia tentu saja didominasi oleh bahan baku dan bahan mentah seperti minyak mentah dan gas, hasil tambang batubara dan nikel, hasil perkebunan seperti CPO, karet, dll. Porsi ekspor untuk produk olahan sangat kecil karena tidak mudah untuk bersaing dengan produk olahan China yang sangat kompetitif dan dilindungi berbagai hambatan non tarif.


Berdasarkan kesepakatan Yogyakarta, bila impor Indonesia meningkat pesat dan mengakibatkan defisit, maka untuk mengimbanginya China berkewajiban untuk mengimpor lebih banyak dari Indonesia. Demikian juga sebaliknya bila terjadi defisit yang makin lebar di China. Dengan karakteristik impor yang sangat berbeda tentu saja peningkatan impor di China dan Indonesia akan memberikan dampak yang berbeda bagi masing-masing negara.


Bagi Indonesia, peningkatan impor tentu akan menekan kinerja industri pengolahan nasional. Terbukti setelah setahun ACFTA, produksi pada sembilan sektor industri telah mengalami penurunan hingga 25-50 persen. Tren ini diikuti oleh penurunan penjualan di pasar domestik, penurunan keuntungan dan pengurangan tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Bahkan Menteri Perindustrian menambahkan ada beberapa produsen yang telah menutup usahanya dan sebagian beralih dari produsen menjadi sekadar perakit atau pedagang.


Sementara bagi China, kewajiban untuk meningkatkan impor justru menjadi berkah. China dapat memenuhi kebutuhan bahkan melakukan penimbukan (stock piling) untuk berbagai bahan baku dan mentah dari Indonesia. Berbagai komoditas tersebut sangat diperlukan untuk mendukung industri manufaktur China yang terus mengalami pertumbuhan tinggi. Bila negara industri lain harus melakukan upaya keras untuk menjamin kebutuhan energi dan bahan baku dari negara-negara penghasil SDA, maka China dapat melakukan cara mudah dengan Indonesia hanya dengan menyelipkan kesepakatan pada setiap perundingan Indonesia-China.


Tidak semua kerjasama ekonomi dengan negara lain akan memberikan manfaat, apalagi bila tidak didasarkan pada referensi strategi industrialisasi nasional yang matang. Secara makro mungkin kesepakatan keseimbangan perdagangan akan memberikan dampak positif seperti menekan defisit perdagangan, mendorong pertumbuhan ekspor dan impor sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, disisi mikro atau di sektor riil, kesepakatan ini akan memberikan dampak negatif bagi industri manufaktur Indonesia karena akan mempercepat deindustrialisasi.


Lebih jauh lagi, ekspor Indonesia yang semakin didominasi barang mentah dan bahan baku akan merugikan ekonomi secara luas karena menghilangkan peluang Indonesia untuk menyelesaikan pengangguran dan kemiskinan. Besarnya jumlah penduduk yang menganggur dan miskin hanya dapat diselesaikan dengan membangun industri manufaktur. Karena industri ini dapat menyediakan lapangan kerja secara masif, menciptakan nilai tambah yang tinggi di dalam negeri dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas.


Bila tim ekonomi SBY tetap mendorong strategi keseimbangan perdagangan dengan China serta banyak negara lainnya, maka Indonesia akan menuai kerugian besar dan akan menjerumuskan pada jurang ketergantungan yang tidak mudah untuk dibangkitkan kembali.***



Dimuat di Harian "Seputar Indonesia"