tag:blogger.com,1999:blog-19619546388731831412024-03-13T22:23:28.001-07:00Menuju Indonesia Baruyang lebih baik dan berkeadilanHendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-60452114252029968592012-01-16T02:46:00.000-08:002012-01-16T02:46:03.941-08:00Akar Masalah Subsidi BBM<br />
Setelah batal diputuskan tahun lalu, pemerintah kembali menggulirkan
rencana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Alasannya,
anggaran untuk subsidi BBM terus bertambah akibat meningkatnya konsumsi.
Tahun 2011 realisasi konsumsi BBM bersubsidi memang mencapai 41,69 juta
kiloliter (kl), 3,3 persen diatas kuota APBN-P 2011 yang sebesar 40,36
juta kl. Akibatnya, subsidi BBM tahun lalu mencapai Rp 165,2 triliun.<br />
<br />
Itulah sebabnya pada APBN 2012 pemerintah, dengan kesepakatan DPR,
menetapkan untuk memangkas anggaran subsidi BBM. Caranya, dengan
membatasi jumlah BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah tahun ini
menjadi hanya 40 juta kl. Bila mendasarkan pada konsumsi tahun lalu dan
tambahan permintaan BBM yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi, maka jumlah yang dipangkas cukup signifikan.<br />
<br />
Pemerintah menjamin kebijakan ini tidak akan mengganggu ekonomi.
Alasannya, antara lain karena saatnya tepat karena tahun 2011 inflasi
dapat ditekan sebesar 3,79 persen (target APBN 2011 sebesar 5,65
persen). Jaminan lainnya karena pemerintah tidak akan mengurangi
konsumsi BBM masyarakat tetapi hanya mengalihkan penggunaan BBM
bersubsidi ke Pertamax dan BBM non sunsidi non Pertamax lainnya atau ke
Bahan Bakar Gas (BBG).<br />
<br />
Tulisan ini tidak akan membahas benarkah ekonomi tidak akan terganggu
atau benarkah inflasi tidak akan melejit, mengingat tahun 2012 ekonomi
Indonesia tengah menghadapi kenaikan harga pangan dan pemerintah
berencana menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Apalagi pembatasan
pemakaian BBM subsidi juga berarti kenaikan harga bagi sebagian
masyarakat karena harga BBM naik hampir 100 persen. Artinya, kebenaran
dampak yang minimal perlu dikaji kembali mengingat ekonomi juga sangat
dipengaruhi oleh ketidakpastian pemulihan global dan penyelesaian utang
negara-negara Eropa.<br />
<br />
Saya juga tidak akan membahas besarnya resiko akibat persiapan
kebijakan pembatasan BBM yang hingga hari ini masih jauh dari matang,
baik kesiapan infrastruktur maupun pemahaman masyarakat. Bahkan dalam
regulasi pun Keputusan Presiden yang akan menjadi landasan penyusunan
detil strategi belum diterbitkan.<br />
<br />
Bahwa subsidi BBM sangat besar tidak ada yang menyangkal. Tetapi
harus dipahami bahwa subsidi BBM yang sangat besar pada dasarnya hanya
merupakan akibat dari pilihan kebijakan pemerintah di berbagai bidang.
Ada akar masalah yang menyebabkan subsidi BBM meningkat. Misal, faktor
pertumbuhan konsumsi BBM yang tinggi sehingga laju pertumbuhannya harus
ditekan. Bila data pemerintah dan Bank Dunia menunjukkan 65 persen BBM
subsidi dikonsumsi sepeda motor, maka seharus ada prioritas strategi
harus dilakukan dengan menekan pertumbuhan sepeda motor.<br />
<br />
Bila pertumbuhan sepeda motor yang tinggi antara lain diakibatkan
oleh buruknya transportasi massal, maka yang harus dilakukan adalah
membenahi tranportasi massal. Dengan demikian harus ada kemauan politik
untuk merubah paradigma kebijakan selama ini yang menyerahkan
penyelenggaraan transportasi massal pada swasta. Menurunnya peran
transportasi massal di berbagai daerah saat ini karena bagi swasta
bisnis adalah untung rugi bukan masalah startegis atau tidak strategis.
Pada saat bisnis mereka tidak dapat berkompetisi dengan sepeda motor,
maka pilihannya adalah tutup.<br />
<br />
Itulah sebabnya, hampir di semua negara transportasi massal ditangani
oleh perusahaan pemerintah dan mensubsidinya bila belum menguntungkan.
Sayangnya, paradigma pemerintah seperti penyataan Menteri BUMN justru
menilai sepeda motor sebagai langkah revolusioner dalam pembangunan
ekonomi, sehingga perlu didukung, bahkan dibuatkan jalur khusus termasuk
di jalan tol.<br />
<br />
Bila paradigma ini yang dianut, maka dipastikan akar masalah subsidi
BBM tidak akan terselesaikan. Lebih lanjut pembangunan transportasi
publik di Indonesia pun akan salah arah karena semakin maju sebuah
negara semestinya transportasi yang berkembang adalah transportasi
massal yang aman, terintegrasi, hemat energi dan jawabannya jelas bukan
sepeda motor. <br />
<br />
Masih banyak faktor lain penyebab meningkatnya subsidi BBM yang
membutuhkan koreksi paradigma dan ketegasan untuk menyelesaikannya.
Pembangunan kilang di dalam negeri yang sangat lamban dan tidak menjadi
prioritas misalnya, mengakibatkan pemenuhan BBM nasional harus
bergantung pada impor. Padahal selain menimbulkan ketidakpastian,
kebijakan ini akan menciptakan loop holes bagi munculnya para pemburu
rente baik saat mengekspor maupun saat mengimpor minyak mentah dan
subsdi BBM.<br />
<br />
Pilihan ada pada pemerintah. Akankah pemerintah berani menyelesaikan
masalah subsidi BBM pada akarnya atau bertahan hanya pada kulitnya
seperti saat ini. Memang pengobatan pada gejala akan menghindarkan
pemerintah untuk berhadapan dengan berbagai pihak yang selama ini
mendapatkan keuntungan besar diatas kerugian masyarakat akibat tingginya
subsidi BBM. Tapi rasanya mencari selamat kembali akan menjadi pilihan
dari rezim ini.***<br />
<br />
<em>Dimuat di Harian "Suara Karya" edisi 16 Januari 2012</em>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-56938298091445469842011-11-24T20:21:00.001-08:002011-11-24T23:41:52.878-08:00Indonesian development: Growing, but without welfare<div id="news-main">
It seems that we will not run out of stories when we talk about
poverty in Indonesia. We can write about them in dozens of novels or
hundreds of essays. It may be about a poor family in a big city, or a
deprived family in a coastal area. <br />
<br />
The setting and background of
those two stories might be different, but the message and the problems
are almost the same: limited opportunities to change their living
standards.<br />
<br />
Based on Central Statistics Agency (BPS) data, the
number of impoverished people living in Indonesia in 2011 is only around
30 million. However, other data illustrates that the welfare levels of
Indonesians is still relatively low. <br />
<br />
The number of people
eligible to get raskin (rice for the poor), for instance, is around 76
million people (32 percent of population), almost the same number as
those who are eligible for health services for the poor.<br />
<br />
Substandard
welfare in the society has also been reported by several international
institutions. The World Bank reported that the amount of Indonesians who
could be said to live close to the poverty line totaled 40 percent of
the population. <br />
<br />
While the Asian Development Bank (ADB) reported
that the number of people living in poverty has increased by 2.7 million
people during the last three years: from 40.4 million in 2008 to 43.1
million people in 2010. <br />
<br />
This makes Indonesia the only ASEAN
country to have experienced an increased number of its population living
below the poverty line. In the same vein, the United Nations
Development Program (UNDP) has confirmed that Indonesia’s Human
Development Index (HDI) is below world standards.<br />
<br />
It is true that
there are different definitions of a “poverty line standard” among
different countries and institutions, but the figures pertaining to
public welfare in Indonesia as illustrated above are hard to comprehend,
given the degree of economic development in Indonesia.<br />
<br />
Data on
public welfare is in contrast with the country’s economic growth during
the last couple of years. The country’s economy has increased to a
relatively high level, growing by 6.1 percent in 2010, and even 6.5
percent in the third quarter of 2011. <br />
<br />
During the time of crisis
in 2009, the country’s economy proudly grew at 4.5 percent, becoming one
of only three countries to experience positive growth — the other two
being India and China. <br />
<br />
Therefore, we have to ask a question:
What does high growth mean amid the concurrent insignificant development
of public welfare?<br />
<br />
Considering the contradictory data and facts,
it is understandable when people question the BPS figures and
credibility, as well as the 6 percent growth claimed by the government. <br />
<br />
Some
people even suspect the authorities of lying on the data. However,
there should also be concerns about the figures themselves, given that
up until today, there is no other institution capable of performing
these kinds of survey other than the BPS.<br />
<br />
Be that as it may, it
is very possible that the Indonesian economy can grow at 6 percent since
the potential far exceeds it. Look at the private consumer share of
gross domestic product (GDP) at more than 55 percent, which has been
growing by an average of 5 percent during the last several years; look
at export growth, as well as investment in various sectors. In light of
these factors, 6 percent growth is a perfectly acceptable figure for
Indonesia.<br />
<br />
Is anything amiss? Not if one refers to macroeconomic
indicators. The economy keeps on growing, financial stability is
well-managed, exports are increasing, and investments are flowing in. <br />
<br />
But,
things could be said to be awry when we see that, currently, 70 percent
of the country’s exports are dominated by primary products, while in
the 1990s there was already a large proportion of highly competitive
manufactured products being exported. <br />
<br />
Things are also awry if 60
percent of the benefits from national development is being enjoyed by
less than 16 percent of the population, which indicates unjust and
unfair development. <br />
<br />
We have to consider it wrong when after more
than 40 years, the number of people living in poverty is still
enormous, compared to other countries that have successfully implemented
progressive development as well as improved public welfare in a short
period of time.<br />
<br />
Take China, for example; according to the ADB,
China has reduced its poverty rate from 65 percent of the population in
1985 to only 7 percent in 2007. <br />
<br />
What is worth noting is the
increased size of the middle class during recent years, accounting for
66 percent of the population. It was not an easy task for China to
achieve; a great deal of strategy and policy was implemented to
eradicate poverty. <br />
<br />
One thing to be underlined is that China has
put a great effort into creating jobs, both on a massive scale and in a
sustainable way.<br />
<br />
The BPS recorded that in 2010 the number of
unemployed people who were uneducated and unskilled accounted for only
3.8 percent; a relatively small figure compared to the 11.9 percent of
highly educated people. <br />
<br />
This is understandable, as those people
who are less educated or unskilled must work every day, since the little
they can get today will be used for immediate necessities. Many
impoverished people are not lazy. <br />
<br />
On the contrary, they will do
whatever they can, like selling fruit, banana leaves, papaya leaves,
firewood, or whatever they have in their backyard. <br />
<br />
As a last resort, they will move to the cities offering their muscle power if there is no other choice.<br />
<br />
Unfortunately,
this picture of the “employed” poor is not captured clearly by the BPS.
In its National Economic Survey, the BPS would ask whether someone had
worked for an hour within the previous week; the answer to this question
would almost definitely be “yes”. <br />
<br />
Some may have worked more
than one hour; others may have worked a whole day, or even for 24 hours
at a stretch. Consequently, many people would not have been recorded by
the BPS as unemployed.<br />
<br />
That is the reason for the “low”
unemployment rate in Indonesia: only 6.8 percent (8.12 million people)
in 2011, which, also unsurprisingly, tends to decrease. <br />
<br />
However,
according to BPS data, the number of people underemployed is quadruple
that of the unemployed: around 33 million. The BPS confirmed that jobs
created in 2006-2010, around 41 percent, were in the public sector, such
as laundry services, electronics services, car and motorcycle
mechanics, and so on.<br />
<br />
Although these people have jobs, most of them are unlikely to be able to meet their daily basic needs.<br />
<br />
Indonesia
is experiencing high economic growth, but exclusively. Therefore,
public welfare has not significantly improved. There is no other choice
for the government but to honestly admit that the country’s current
economic development is being misdirected. <br />
<br />
Indonesia needs a new
development strategy, which emphasizes the involvement of all levels of
society and prioritizes national interests.<br />
<br />
<i>Dimuat pada Harian "The Jakarta Post" edisi Jumat, 25 November 2011</i></div>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-80485545561153258492011-11-23T00:37:00.001-08:002011-11-23T00:39:20.772-08:00Indonesia, Apa yang Kau Kejar?KTT ASEAN ke-19 di Nusa Dua Bali telah di mulai. Ini merupakan
pertemuan para pemimpin ASEAN yang kedua tahun ini setelah sebelumnya
dilaksanakan di Jakarta bulan Mei 2011. KTT ASEAN kali ini menarik
disimak karena dibarengi dengan KTT ASEAN <em>Plus Three</em> (Jepang, China dan Korea Selatan) pada<strong> </strong><strong>18 November. Sedangkan </strong>pada 19 November, dilanjutkan dengan <strong>KTT Asia Timur</strong><strong> </strong><strong>ke-6</strong>
yang akan dihadiri oleh para pemimpin ASEAN serta Australia, China,
India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Rusia, dan Amerika Serikat.<br />
<br />
Hampir
semua negara yang hadir dalam rangkaian KTT ASEAN di Bali telah
memiliki kerjasama perdagangan bebas dengan ASEAN. Sebagai contoh
ASEAN-China FTA, ASEAN-India FTA, ASEAN-Australia New Zealand FTA,
ASEAN-Korea Selatan FTA, ASEAN-Jepang FTA, dll. Secara bilateral
negara-negara ASEAN juga telah memiliki <em>comprehensive partnership</em> dengan negara-negara yang hadir. Indonesia juga termasuk sangat agresif semisal <em>Economic Partnership Agreement</em> (EPA) dengan Jepang dan <em>comprehensive partnership</em> dengan AS.<br />
<br />
<strong>Posisi ASEAN </strong><br />
ASEAN
mempunyai posisi sangat penting bagi ekonomi dunia dan akan menjadi
penentu bagi masa depan Asia Timur dalam menggeser hegemoni ekonomi
dunia. ASEAN penting karena akan menjadi pendukung ekonomi negara-negara
industri Asia seperti China, India, Jepang, Korea Selatan, Australia,
and New Zealand. Dengan beragam komoditas energi dan bahan baku yang
diproduksi oleh ASEAN, maka menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang sangat
penting bagi negara-negara industri dunia.<br />
<br />
Bagi China
misalnya, negarea-negara ASEAN adalah pemasok berbagai kebutuhan energi
dan bahan baku. Bagi ASEAN, China juga pasar penting bagi ekspor mereka.
ASEAN juga penting bagi India, karena 99 persen ekspor <i>crude oil</i> dari
Brunei Darussalam untuk India. Sedangkan untuk CPO, 88 persen ekspor
Kamboja dan 58 persen ekspor Indonesia ditujukan ke India.<br />
<br />
ASEAN
akan semakin penting ASEAN Community 2015 (Masyarakat ASEAN)
diimplementasikan. Di bidang ekonomi, bersatunya ASEAN dinilai sangat
penting bagi negara-negara partner karena dengan penduduk ± 558 juta
jiwa, ASEAN akan menjadi pasar tunggal raksasa dan dengan tenaga kerja
serta kekayaan alamnya akan menjadi basis produksi yang menjanjikan.<br />
<br />
Integrasi
ekonomi ASEAN berarti dihapuskannya semua hambatan investasi dan
perdagangan baik tarif maupun non tariff. Juga diharmonisasikan dan
disederhanakannya berbagai regulasi. Sebagai pasar tunggal dan basis
produksi, pembangunan infrastruktur menjadi penting untuk memperlancar
aliran barang dan jasa, modal maupun tenaga kerja di kawasan ini.<br />
<br />
Itu
sebabnya Malaysia tidak berhenti membujuk Indonesia untuk membangun
jembatan Selat Malaka yang menghubungkan Sumatra dan Malaka. Konon,
jembatan tersebut akan memiliki panjang 127,93 km. Sepanjang 48,69 km
berada di wilayah Malaysia dan 79,24 km berada di wilayah Indonesia.
Alasan yang sama juga mendasari ngototnya China untuk membangunkan
jembatan di Selat Madura yang akan menyambungkan Sumatra dan Jawa karena
akan menyambung rel kereta api yang telah dibangun hingga Thailand
untuk menguasai pasar ASEAN.<br />
<br />
Tawaran China dan Malaysia
tentu bukan tawaran tanpa didasari strategi matang atas benefit yang
akan diperoleh. Bayangkan, membangun dan mengoperasikan jalan tol dengan
tawaran tarif 80 US dollar per kendaraan sekali jalan tentu sebuah
bisnis yang menggiurkan. Apalagi di era ASEAN 2015, akan ada potensi
keuntungan yang jauh lebih besar. Murahnya transportasi barang dari akan
mendukung industri manufakur Malaysia. Juga akan menjadikan Sumatra
sebagai pasar semakin potensial bagi industri pariwisata, jasa
pendidikan dan kesehatan Malaysia.<br />
<br />
Baik China maupun
Malaysia, akan menggunakan berbagai cara untuk mewujudkan mimpinya
termasuk menggunakan dengan maksimal forum KTT ASEAN dengan isu ASEAN <i>
connectivity</i>, misalnya. Demikian juga Jepang, Australia, India dan
Amerika Serikat. Kehadiran mereka dalam rangkaian KTT ASEAN ini tentu
amat sangat penting untuk menjamin arah kebijakan ekonomi ASEAN akan
memberikan manfaat bagi mereka.<br />
<br />
<strong>Dimana Indonesia?</strong><br />
Ya
lalu dimana Indonesia? Apa yang tengah diimpikan dan disiapkan
Indonesia menyongsong ASEAN 2015. Apa pula mimpi Indonesia di Asia
Pasifik atau dunia? Tentu Indonesia punya pilihan untuk aktif
memposisikan diri atau pasif untuk diposisikan. Pencapaian China menjadi
negara dengan produk manufaktur paling kompetitif di dunia adalah wujud
mimpi China puluhan tahun lalu. Keberhasilan Singapura menjadi negara
industri jasa yang sangat kompetitif juga merupakan buah dari upaya
aktif untuk mewujudkan mimpi itu.<br />
<br />
Sulit untuk tidak
mengatakan bahwa mimpi Indonesia terlalu <i>simple </i>dan tidak banyak.
Jangan-jangan malah sekadar menaikkan posisinya dalam G-20. Lalu apa
yang salah? <em>Toh</em> dengan strategi saat ini ekonomi tetap tumbuh,
porsi investasi dan ekspor juga semakin besar. Dengan PDB yang
meningkat, PDB per kapita juga akan meningkat. <br />
<br />
Memang
tidak ada yang salah. Hanya akan salah bila perubahan struktur ekspor
Indonsia yang saat ini 70 persennya komoditas primer, sementara tahun
1980-1990 cukup besar porsi produk olahan unggulan Indonesia, kita
anggap sebuah kemunduran. Baru kita anggap keliru bila hasil pembangunan
ekonomi ternyata 60 persennya dinikmati oleh kurang dari 16 persen
penduduk. Hanya akan terhenyak bila pertumbuhan ekonominya ternyata
menghasilkan IPM Indonesia di bawah standar dunia! <br />
<br />
Bukankah
ini justru mimpi buruk? Bila mau jujur Indonesia saat ini sangat
menikmati dan membiarkan negara lain maupun industri-industri raksasa
dunia mewujudkan mimpi-mimpi mereka untuk Indonesia. Indonesia terlalu
lelap tidur sampai lupa membangun mimpi untuk dirinya sendiri.<br />
<br />
Membuka
diri dan aktif dalam kerjasama ekonomi global, regional maupun
bilateral, memang perlu karena ada potensi manfaat di dalamnya. Namun,
dalam setiap kerjasama ekonomi, unsur persaingan dalam mendapatkan
<i>benefit</i> lebih besar tidak akan pernah hilang. Setiap negara akan membawa
dokumen strategi dalam setiap perundingan agar mendukung mimpinya.<br />
<br />
Kehadiran
Presiden Barack Obama dan Hu Jintao ke Bali tentu bukan sekadar
memenuhi undangan Indonsia yang tahun ini menjadi ketua ASEAN. Kedua
negara tersebut, sebagaimana negara lainnya, dipastikan akan
memanfaatkan panggung KTT ASEAN untuk saling <i>lobby</i> dan saling adu
pengaruh di ASEAN. Tanpa mimpi yang jelas, apa yang dikejar Indonesia
dalam KTT ASEAN? Pasti bukan sekadar predikat ketua dan tuan rumah yang
baik. Tapi apa? <br />
<br />
<em></em><br />
<em>Dimuat di Harian “Kompas” edisi 22 November 2011</em>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-50106327597424046792011-11-23T00:34:00.001-08:002011-11-23T00:35:31.179-08:00Makna Dibalik Penolakan TPP<div class="mbl notesBlogText clearfix">
<div>
<strong></strong><br />
<br />
Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) APEC yang berlangsung di Honolulu telah berakhir.
Pertemuan para pemimpin anggota APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik)
yang berlangsung pada 12-13 November 2011 lalu, mengambil tema yang
sangat <em>catchy </em>yakni <em>21 economies for the 21st century</em>. Sebanyak 21 pemimpin negara-negara se Asia Pasifik meyakini bahwa abad 21 adalah abad milik negara-negara di kawasan ini.<br />
<br />
Tema
tersebut tentu tidak berlebihan karena peran negara-negara anggota APEC
memang tidak bisa dianggap remeh. Kapasitas ekonomi dari dua puluh satu
negara, yang terdiri dari Australia, ASEAN-5, Vietnam, Kanada, Cile,
China, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Selandia Baru, Papua
Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Taiwan dan AS, menguasai 43 persen nilai
perdagangan dunia dan memiliki porsi PDB sebesar 55 persen dari total
PDB dunia.<br />
<br />
Sebagaimana pertemuan G-20 beberapa waktu lalu,
pertemuan APEC juga didominasi oleh isu krisis Eropa. Masing-masing
negara berharap forum ini akan memberikan manfaat dan dapat dimanfaatkan
untuk mencari solusi sendiri-sendiri maupun bersama agar dapat
menghindar dari dampak negatif krisis utang Eropa.<br />
<br />
Meskipun
tidak memiliki kesepakatan konkrit, secara umum KTT APEC menyodorkan
dua isu penting menghadapi krisis utang Eropa. Pertama, negara-negara
anggota harus menggenjot pertumbuhan ekonominya untuk menyelamatkan
kawasan ini. Anggota APEC yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi
seperti China dan Indonesia diharapkan melakukan ekspansi ekonomi dan
belanja pemerintah sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi
negara-negara lain di kawasan ini.<br />
<br />
<strong>Penolakan TPP dan arah kebijakan</strong><br />
<br />
Isu
menarik kedua adalah usulan pembentukan Trans-Pacific Partnership (TPP)
oleh AS. Proposal TPP pada intinya adalah rintisan awal menuju
terciptanya perdagangan bebas di Asia Pasifik. Delapan negara sudah
menyepakati proposal TPP yang diusung oleh AS, yakni Australia, Selandia
Baru, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Cile, Peru.
Hampir semua negara pendukung adalah negara-negara yang selama ini
memang telah memiliki kerjasama ekonomi (<em>Economic Partnership</em>) dengan AS.<br />
<br />
Amerika
Serikat tentu memiliki kepentingan besar atas TPP tersebut. Dengan
beban keuangan negara yang sangat berat, juga tekanan pengangguran yang
sangat tinggi serta tebatasnya pilihan kebijakan yang dapat dilakukan
untuk menyelamatkan ekonomi, maka kerjasama TPP memiliki arti sangat
penting bagi AS. TPP yang tidak hanya perdagangan bebas tetapi menjadi
model kerjasama ekonomi yang lebih luas. Tentu hal ini menjadi harapan
besar bagi AS untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan krisis
ekonomi yang dihadapi AS. Tidak heran bila Obama berambisi untuk
mewujudkan TPP pada pertengahan tahun 2012.<br />
<br />
Namun, banyak
negara masih belum memberikan dukungan. Salah satunya adalah Korea
Selatan. Dapat dimaklumi karena rakyat Korea Selatan sangat keras
melakukan penolakan Economic Partnership Agreement (EPA) yang akan
disepakati antara Korea Selatan dengan AS. Bahkan pada saat berlangsung
KTT APEC pun, di Seoul terjadi demo besar puluhan ribu orang turun ke
jalan menolak EPA. Partai oposisi di parlemen juga dikabarkan akan
menekan Presiden Lee Myung-bak untuk membatalkannya.<br />
<br />
China
dipastikan tidak akan mudah menyepakati proposal AS tersebut. China
yang terus ditekan oleh AS dan Eropa baik di forum APEC maupun pertemuan
G-20 beberapa waktu lalu, tentu akan sangat hati-hati dalam menentukan
langkah menghadapi krisis AS dan Eropa. Dengan 1,3 milyar penduduk tentu
setiap kerjasama perdagangan bebas yang akan dibuat harus dipikirkan
dengan cermat agar tidak menciptakan masalah sosial ekonomi di dalam
negeri. Apalagi TPP adalah liberalisasi ekonomi dengan negara-negara
yang menguasai separuh lebih PDB dunia.<br />
<br />
Indonesia telah
menentukan sikapnya atas TPP. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan
mengatakan Indonesia menolak karena diperlukan persiapan. Tentu berita
ini cukup menggembirakan. Namun demikian sikap ini menimbulkan
pertanyaan yang perlu dijawab yakni apakah penolakan atas TPP merupakan
langkah awal kabinet SBY untuk melakukan koreksi atas berbagai FTA yang
sangat liberal sehingga berakhir pada minimnya manfaat bahkan besarnya
kerugian bagi Indonesia? <br />
<br />
Untuk membuktikannya mari kita
tunggu apakah Menteri Perdagangan juga akan segera menyusun industrial
policy and strategy untuk Indonesia. Selanjutnya, apakah pak Menteri
juga akan melakukan pembatalan atau paling tidak koreksi atas rencana <em>Comprehensive Partnership</em> antara Indonesia dan AS?<br />
<br />
Bila
alasan penolakan TPP karena Indonesia saat ini masih memerlukan banyak
persiapan sebelum melakukan kerjasama perdagangan dan ekonomi bebas,
maka <em>Compehensive Partnership</em> dengan AS seharusnya juga dikoreksi karena telah disepakati tanpa persiapan dan strategi matang.<br />
<br />
Bila
tidak, jangan-jangan penolakan TPP hanya dijadikan strategi “pembeda”
antara Menteri Perdagangan lama dan baru. Sementara pada dasarnya
kabinet SBY tetap menyuguhkan menu liberalisasi ekonomi hanya mungkin
akan sedikit lebih berselera <em>western </em>ketimbang oriental.***<br />
<br />
Telah dimuat di Harian "Suara Karya" </div>
</div>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-65146942425955808522011-06-01T01:57:00.000-07:002011-06-01T02:00:15.198-07:00Keseimbangan Perdagangan Dalam ACFTA<p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Dampak negatif ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) kembali menjadi berita hangat. Salah satu yang menarik adalah berita yang diangkat harian <em style="line-height: 16px; ">Seputar Indonesia</em> minggu lalu. Menghadapi fakta defisit perdagangan Indonesia-China yang semakin lebar, Menko Perekonomian Hatta Rajasa akan segera mengundang China untuk melakukan perundingan. Indonesia akan meminta komitmen China dalam menjaga keseimbangan perdagangan terkait ACFTA.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Tiga hal akan diusulkan pemerintah, yaitu menjaga defisit perdagangan agar tidak semakin melebar, meminta China untuk komit dalam menjaga keseimbangan perdagangan <em style="line-height: 16px; ">(balance of trade)</em>, dan mendorong China bersedia berunding bila terjadi pukulan pada industri dalam negeri. Apakah langkah yang dipaparkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa tersebut akan menyelamatkan industri manufaktur Indonesia yang tengah menghadapi buruknya dampak ACFTA?</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="line-height: 16px; "><span class="Apple-style-span" >Kesepakatan Yogyakarta</span></strong></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Kebijakan keseimbangan perdagangan antara China dan Indonesia dimunculkan dalam kesepakatan kedua negara di Yogyakarta pada bulan April 2010. Kesepakatan itu dibuat setelah Indonesia gagal melakukan renegosiasi 228 pos tarif. Padahal renegosiasi tersebut sangat penting dan harus dilakukan karena masyarakat dan pengusaha tidak akan sanggup bersaing bila ACFTA diterapkan tanpa <em style="line-height: 16px; ">save guard</em>.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Sayangnya, pemerintah Indonesia yang dalam pertemuan Yogyakarta dipimpin oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, justru menyetujui usulan China untuk membatalkan agenda renegosiasi dan sebagai gantinya menyepakati tawaran China yang akan mengkompensasi dampak buruk ACFTA bagi Indonesia dengan janji investasi di sektor infrastruktur. Tentu keputusan ini sangat disesalkan karena deindustrialisasi yang sudah terjadi dan semakin memburuk tidak akan dapat diredam apalagi dicegah dengan janji infrastruktur yang belum jelas kapan akan terealisasi.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Dengan gagalnya renegosiasi, China dan Indonesia akhirnya membuat kesepakatan yang dikenal dengan ‘Tujuh Kesepakatan Yogyakarta’. Secara umum kesepakatan tersebut akan memberikan potensi pasar bagi Indonesia di China. Salah satu isi kesepakatan tersebut misalnya China akan membuka pasar bagi ekspor buah Indonesia, namun hanya untuk buah-buah tropis. Pemerintah menilai kesepakatan ini merupakan kompensasi yang baik dan peluang ekonomi yang sangat menguntungkan. Dengan jumlah penduduk China 1,3 milyar lebih, kesepakatan ini memang sangat menggiurkan.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Namun berdasarkan pengalaman kerjasama serupa yang pernah dibuat dengan negara-negara lain seperti Jepang, penulis yakin pasar ekspor yang dijanjikan dalam kesepakatan tersebut hanya merupakan potensi yang tidak mudah direalisasikan. Untuk pasar ekspor buah misalnya, akan ada sederet persyaratan yang pada dasarnya merupakan <em style="line-height: 16px; ">non tariff barrier </em>(hambatan non tarif) dari China. Seperti persyaratan sertifikasi bebas penyakit, bebas hama, tidak mengandung pestisida, kualitas memadai sampai standarisasi ukuran buah. Dengan rendahnya dukungan teknologi pertanian bagi para petani Indonesia, tentu bukan perkara gampang untuk memenuhi persyaratan tersebut.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="line-height: 16px; "><span class="Apple-style-span" >Kesepakatan melumpuhkan</span></strong></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="line-height: 16px; "><span class="Apple-style-span" > </span></strong></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Kesepakatan keseimbangan perdagangan tertuang pada kesepakatan nomor tujuh. Salah satu poin dalam kesepatan tersebut menyebutkan bahwa ‘kedua pihak akan menetapkan pertumbuhan perdagangan bilateral yang tinggi dan berkelanjutan, dimana jika terdapat ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang mengalami surplus perdagangan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan termasuk mendorong impor lebih lanjut dan memberikan dukungan yang diperlukan’.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Sekilas, kesepakatan yang dibuat sangat baik dan akan menguntungkan Indonesia karena defisit perdagangan yang semakin melebar akan memberatkan ekonomi Indonesia. Namun sejatinya kesepakatan ini belum tentu akan menguntungkan ekonomi Indonesia bahkan sangat mungkin berdampak negatif. Salah satunya bila dilihat dari karakteristik ekspor impor antara Indonesia dan China yang sangat berbeda.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Selama ini impor Indonesia dari China selalu didominasi oleh berbagai produk olahan. Seperti telah diprediksi, pertumbuhan impor yang sangat tinggi paska implemantasi penuh ACFTA terjadi pada sembilan sektor industri manufaktur seperti tekstil, baja, elektronik, mainan anak, dll. Selain juga berbagai produk pertanian seperti buah dan berbagai tanaman pangan yang telah menjadi komoditas impor utama Indonesia dari China sejak <em style="line-height: 16px; ">Early Harvest Program</em>diberlakukan tahun 2004 sebagai implementasi awal ACFTA.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Sementara, impor China dari Indonesia tentu saja didominasi oleh bahan baku dan bahan mentah seperti minyak mentah dan gas, hasil tambang batubara dan nikel, hasil perkebunan seperti CPO, karet, dll. Porsi ekspor untuk produk olahan sangat kecil karena tidak mudah untuk bersaing dengan produk olahan China yang sangat kompetitif dan dilindungi berbagai hambatan non tarif.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Berdasarkan kesepakatan Yogyakarta, bila impor Indonesia meningkat pesat dan mengakibatkan defisit, maka untuk mengimbanginya China berkewajiban untuk mengimpor lebih banyak dari Indonesia. Demikian juga sebaliknya bila terjadi defisit yang makin lebar di China. Dengan karakteristik impor yang sangat berbeda tentu saja peningkatan impor di China dan Indonesia akan memberikan dampak yang berbeda bagi masing-masing negara.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Bagi Indonesia, peningkatan impor tentu akan menekan kinerja industri pengolahan nasional. Terbukti setelah setahun ACFTA, produksi pada sembilan sektor industri telah mengalami penurunan hingga 25-50 persen. Tren ini diikuti oleh penurunan penjualan di pasar domestik, penurunan keuntungan dan pengurangan tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Bahkan Menteri Perindustrian menambahkan ada beberapa produsen yang telah menutup usahanya dan sebagian beralih dari produsen menjadi sekadar perakit atau pedagang.<strong style="line-height: 16px; "></strong></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="line-height: 16px; "><span class="Apple-style-span" > </span></strong></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Sementara bagi China, kewajiban untuk meningkatkan impor justru menjadi berkah<em style="line-height: 16px; ">.</em> China dapat memenuhi kebutuhan bahkan melakukan penimbukan <em style="line-height: 16px; ">(stock piling)</em> untuk berbagai bahan baku dan mentah dari Indonesia. Berbagai komoditas tersebut sangat diperlukan untuk mendukung industri manufaktur China yang terus mengalami pertumbuhan tinggi. Bila negara industri lain harus melakukan upaya keras untuk menjamin kebutuhan energi dan bahan baku dari negara-negara penghasil SDA, maka China dapat melakukan cara mudah dengan Indonesia hanya dengan menyelipkan kesepakatan pada setiap perundingan Indonesia-China.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Tidak semua kerjasama ekonomi dengan negara lain akan memberikan manfaat, apalagi bila tidak didasarkan pada referensi strategi industrialisasi nasional yang matang. Secara makro mungkin kesepakatan keseimbangan perdagangan akan memberikan dampak positif seperti menekan defisit perdagangan, mendorong pertumbuhan ekspor dan impor sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, disisi mikro atau di sektor riil, kesepakatan ini akan memberikan dampak negatif bagi industri manufaktur Indonesia karena akan mempercepat deindustrialisasi.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Lebih jauh lagi, ekspor Indonesia yang semakin didominasi barang mentah dan bahan baku akan merugikan ekonomi secara luas karena menghilangkan peluang Indonesia untuk menyelesaikan pengangguran dan kemiskinan. Besarnya jumlah penduduk yang menganggur dan miskin hanya dapat diselesaikan dengan membangun industri manufaktur. Karena industri ini dapat menyediakan lapangan kerja secara masif, menciptakan nilai tambah yang tinggi di dalam negeri dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas.</span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Bila tim ekonomi SBY tetap mendorong strategi keseimbangan perdagangan dengan China serta banyak negara lainnya, maka Indonesia akan menuai kerugian besar dan akan menjerumuskan pada jurang ketergantungan yang tidak mudah untuk dibangkitkan kembali.*** </span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" ><br /></span></p><p style="line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><span class="Apple-style-span" >Dimuat di Harian "Seputar Indonesia"</span></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-34860627372158135722011-05-24T23:53:00.000-07:002011-05-25T00:00:15.183-07:00Negosiasi Setengah Hati<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family:georgia;"><span style="mso-ansi-language:SV;font-size:100%;" lang="SV" >Beberapa waku yang lalu, harian Republika selama beberapa hari mengangkat berita dampak <i style="mso-bidi-font-style:normal">ASEAN China Free Trade Agreement </i>(AC-FTA). Bahwa kesepakatan ACFTA akan memberi dampak negatif bagi ekonomi Indonesia, tentu bukan berita baru. Sebelum implementasi ACFTA, penulis pun telah menyampaikan analisis dampak negatif ACFTA dan kebijakan terobosan yang harus dilakukan untuk mencegahnya. </span></p><span style="font-family:georgia;font-size:100%;"> </span><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family:georgia;"><span style="mso-ansi-language:SV;font-size:100%;" lang="SV" >Namun, setelah setahun ACFTA deindustrialisasi di sektor manufaktur terus terjadi dan bahkan mengalami percepatan, merupakan bukti yang sangat penting. Apalagi data menunjukkan produksi pada sembilan sektor industri telah mengalami penurunan sekitar 25-50 persen yang diikuti oleh penurunan penjualan di pasar domestik, penurunan keuntungan dan pengurangan tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan. Bahkan Menteri Perindustrian menambahkan ada beberapa produsen yang telah menutup usahanya dan sebagian beralih dari produsen menjadi sekadar perakit atau pedagang. </span></p><span style="font-family:georgia;font-size:100%;"> </span> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family:georgia;"><span style="mso-ansi-language:SV;font-size:100%;" lang="SV" >Bila pemerintah terkesan kaget melihat perkembangan ini dan berjanji melakukan langkah penanggulangan, maka penulis meragukan bahwa langkah yang akan diambil adalah upaya untuk mengembalikan kekuatan industri manufaktur nasional. Alasannya, pada saat Indonesia berkesempatan merenegosiasikan 228 pos tarif dengan pemerintah China pada bulan April 2010 di Yogyakarta, tim pemerintah Indonesia yang dipimpin Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tidak melakukan upaya <i style="mso-bidi-font-style:normal">all out.</i> </span></p><span style="font-family:georgia;font-size:100%;"> </span> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Membuang peluang</span></b></span></p><span style="font-family:georgia;font-size:100%;"> </span> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family:georgia;"><span style="mso-ansi-language:SV;font-size:100%;" lang="SV" >Paling tidak ada dua alasan yang mendasari keraguan penulis bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan langkah subtansial untuk menyelamatkan industri manufaktur nasional. Pertama, sikap pemerintah yang hingga saat ini tetap tidak kompak dalam menilai dampak negatif dari ACFTA. Pada saat minggu lalu Kementerian Perindustrian menilai bahwa ACFTA telah berdampak buruk bagi sektor manufaktur nasional, maka pada saat yang sama Kementrian Perdagangan justru mengatakan bahwa dampaknya belum mengkhawatirkan karena belum ada data yang menunjukkan adanya kerugian di sektor industri. </span></p><span style="font-family:georgia;font-size:100%;"> </span> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family:georgia;"><span style="mso-ansi-language:SV;font-size:100%;" lang="SV" > Perbedaan pandangan ini tentu akan mengakibatkan ketidakjelasan <i style="mso-bidi-font-style: normal">positioning</i> Indonesia dalam melakukan renegosiasi dengan China. Tidak adanya kesamaan strategi yang disepakati dan didukung oleh semua kementerian ekonomi, akan menjadikan Indonesia memiliki posisi tawar yang lemah. Hal ini telah terbukti pada pertemuan Yogyakarta pasa tahun lalu dimana ketua tim negosiasi tidak memanfaatkan argumen-argumen penting yang diajukan oleh berbagai kementrian ekonomi yang seharusnya dapat menjadi senjata dalam renegosiasi. </span></p><span style="font-family:georgia;font-size:100%;"> </span> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal;font-family:georgia;"><span lang="SV" style="font-size:100%;">Menteri Mari Pangestu mengabaikan hasil kajian Satuan Tugas (Satgas) ACFTA yang dibentuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang menemukan beberapa indikasi pelanggaran terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait penggunaan tenaga kerja asing. Dari hasil kajiannya, Satgas ACFTA Menakertrans menunjukkan bahwa pelaksanaan ACFTA diprediksi akan memunculkan banyak perselisihan dalam hubungan industrial karena akan terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.</span></p><p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal; font-family:georgia;"><span lang="SV" style="font-size:100%;"><br /></span></p> <p face="georgia" style="margin: 0in 0in 0.0001pt; "> </p><span style="font-size:100%;"> </span><p style="margin: 0in 0in 0.0001pt; font-family: georgia;"><span style="font-size:100%;">Demikian juga temuan Menteri Perindustrian yang menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki peluang besar untuk melakukan renegosiasi pos tarif karena renegosiasi adalah hak bagi setiap negara. Dalam pasal 6 perjanjian ACFTA disebutkan bahwa renegosiasi itu dibolehkan kalau ada sektor tertentu yang dirugikan dari pelaksanaan ACFTA. Peluang-peluang tersebut semestinya dikemas dan dimanfaatkan secara maksimal oleh delegasi Indonesia sehingga Indonesia berhak mengajukan modifikasi.<br /></span></p><p style="margin: 0in 0in 0.0001pt; font-family: georgia;"><span style="font-size:100%;"><br /></span></p> <p style="margin: 0in 0in 0.0001pt; font-family: georgia;"> </p> <p style="margin: 0in 0in 0.0001pt; font-family: georgia;"><span style="font-size:100%;">Sayangnya, pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Mari Pangestu justru dengan mudah menyetujui usulan China untuk membatalkan renegosiasi dan sepakat untuk mengkompensasi dampak buruk ACFTA bagi industri Indonesia dengan janji investasi di sektor infrastruktur oleh China. Logika dari kesepakatan ini sulit diterima karena investasi infrastruktur dari China jelas tidak akan dapat memperlambat laju percepatan deindustrialisasi yang telah dan akan terus terjadi akibat gempuran produk impor China. Industri yang bangkrut akibat ACFTA tentu tidak mudah dan murah untuk dibangkitkan lagi meskipun dibantu dengan pembangunan infrastruktur. </span><span style="mso-spacerun:yes;font-size:100%;" > </span></p> <p style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;">Sikap Indonesia yang mendukung pembatalan renegosiasi tarif justru semakin jelas dengan kedatangan Perdana Menteri China Wen Jiabao untuk membicarakan investasi China di Indonesia. Wakil Presiden Boediono bahkan menyambut dan menyatakan bahwa bagi Indonesia yang lebih penting adalah menyiapkan infrastruktur bukan merevisi kesepakatan ACFTA yang telah dibuat. Jadi, fokus pemerintah Indonesia memang bukan memperjuangkan renegosiasi tariff yang akan menyelamatkan industri manufaktur nasional.</span><span style="mso-spacerun:yes;font-size:100%;" > </span></p> <p style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><b style="mso-bidi-font-weight:normal">Tidak memanfaatkan forum</b></span></p> <p style="font-family: georgia;"><span style="font-size:100%;">Jadi, tidak mungkin Indonesia mengagendakan pembicaraan dampak ACFTA dalam pertemuan ASEAN Summit 2011 yang akan diselenggarakan di Jakarta pada bulan Juni 2011. Inilah alasan kedua mengapa penulis tidak yakin pemerintah akan melakukan upaya maksimal untuk mwngurangi dampak negatif ACFTA. Sebagaimana terjadi tahun lalu, sebelum pertemuan bilateral dengan China di Yogyakarta, Menteri Mari Pangestu menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membawa isu renegosiasi ACFTA pada ASEAN Summit 2010 di Hanoi. Sikap ini sangat tidak konsisten dengan jawaban ibu Menteri Perdagangan saat menghadapi tuntutan para pengusaha yang selalu berdalih bahwa ACFTA adalah kesepakatan regional sehingga hanya bisa dibicarakan pada tingkat ASEAN bukan pada level bilateral antara Indonesia dan China. </span><span style="mso-spacerun:yes;font-size:100%;" > </span></p> <p style="font-family: georgia;"><span style="font-size:100%;">Penolakan Indonesia untuk melakukan renegosiasi ACFTA juga sudah terlihat sebelumnya. Pada pertengahan tahun 2009, jauh sebelum penerapan ACFTA secara penuh, Menteri Mari Pangestu juga mengabaikan masukan Asosiasi Pertekstilan Indonesi (API) yang menyampaikan bahwa tidak hanya pengusaha Indonesia, tetapi juga pengusaha tekstil yang tergabung dalam koalisi tekstil ASEAN merasa keberatan dengan ACFTA sehingga meminta kepada pemerintahannya masing-masing untuk mengajukan penundaan AC-FTA. Upaya ini merupakan langkah lanjutan pengusaha setelah pada awal 2009 pengusaha perikanan Filipina juga mengajak pengusaha ASEAN mendorong penundaan liberalisasi sektor perikanan dalam kesepatan ACFTA. </span></p> <p style="font-family: georgia;"><span style="font-size:100%;">Indonesia sebagai salah satu negara penting di ASEAN dan saat ini bahkan menjadi ketua ASEAN, ternyata bukan memanfaatkan forum ASEAN dan kerjasama dengan para menteri ASEAN lainnya untuk mencari solusi bagi penyelamatan kepentingan nasional, tetapi justru cenderung berlindung dibalik berbagai kesepakatan untuk tidak melakukan renegosiasi ACFTA dengan sungguh-sungguh.</span></p> <p><span style="font-family:georgia;font-size:100%;">Jadi, seandainya bertaruh itu diperbolehkan, maka penulis berani memasang taruhan bahwa kali inipun, meskipun pemerintah berjanji akan mencari solusi dampak negatif ACFTA, tetapi pemerintah Indonesia tidak akan memilih kebijakan terobosan yang dapat menyelamatkan industri manufaktur nasional. Apalagi berani melakukan koreksi terhadap kebijakan liberalisasi ekonomi meskipun terbukti telah dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa perencanaan matang dan tidak memberikan manfaat bagi kepentingan nasional. ***</span><span style=" mso-ansi-language:IT;font-family:Calibri;font-size:100%;" lang="IT" ></span></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-87611769472793097712011-05-19T05:34:00.000-07:002011-05-19T05:38:30.835-07:00Benarkah Tidak Neoliberal?<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id="ieooui"></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Sudah cukup lama ternyata saya tidak mengisi <span style="font-style: italic;">blog</span> saya ini. Hari ini saya tergelitik untuk menulis tentang pidato presiden SBY yang menghadirkan Prof Ha-Joon Chang asal Korea. </span>Ada dua hal penting yang patut dicatat:</p> <ol start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="">Kuliah ini penting bagi SBY-Boediono yg tengah menghadapi penurunan popularitas d tingkat kepuasan masyarakat - yang menilai pem SBY gagal utk sejahterakan rakyat karena terlalu taat pada resep kebijakan neoliberal. Kehadiran Prof Ha-Joon yg sangat kritis terhadap ekonomi neoliberal dan kapitalisme diharapkan akan mencitrakan bahwa SBY-Boediono tidak menganut ekonomi neoliberal, seperti disampaikan oleh Presiden SBY dlm pidato pembukaannya.</li><li class="MsoNormal" style="mso-margin-top-alt:auto;mso-margin-bottom-alt:auto; mso-list:l0 level1 lfo1;tab-stops:list .5in"><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Pemerintahan SBY-Boediono tampaknya tidak akan menjalankan saran Prof Ha-Joon yangg berkali-kali mengingatkan agar tidak menyandarkan diri pada kebijakan pasar bebas, tetapi memberikan peran yang lebih besar kepada BUMN. SBY-Boediono tidak mungkin akan mengikuti rekomendasi tsb, sebagaimana sebelumnya disarankan oleh ekonom kelas dunia seperti: Hernando de Soto, Muhamad Yunus, atau Stiglitz. Kebijakan liberalisasi perdagangan dan privatisasi, merupakan dua pakem ekonomi neoliberal yang justru sangat patuh dijalankan oleh SBY-Boediono.</span></li></ol> <p><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Bahwa Presiden SBY adalah orang yang santun dan memperhatikan rakyat miskin dengan BLT, jaminan kesehatan, raskin, dsb; sementara Wapres Boediono adalah sosok yang sederhana, tidaklah serta merta mengubah bahwa paradigma yang mereka anut adalah neoliberalisme. Seperti saya sebutkan di atas, liberalisasi perdagangan dan privatisasi BUMN adalah dua pilar kebijakan kebijakan neoliberal dari empat ciri-ciri kebijakan neoliberal, yaitu:<br /></span></p> <p><em><b><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Pertama,</span></b></em><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV"> kebijakan anggaran ketat yang termasuk di dalamnya adalah kebijakan penghapusan subsidi. Paket ini sering disebut juga kebijakan stabilisasi ekonomi makro. </span></p> <p><em><b><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Kedua,</span></b></em><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV"> liberalisasi sektor keuangan. Kebijakan ini seolah menguntungkan negara berkembang karena akan memudahkan para pelaku usaha untuk mendapatkan sumber pendanaan murah dari pasar global. Namun pada dasarnya kebijakan liberalisasi keuangan ditujukan untuk mendukung sirkulasi dan transaksi keuangan global.<br /></span></p> <p><em><b><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Ketiga,</span></b></em><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV"> liberalisasi industri dan perdagangan. Liberalisasi dipromosikan sebagai strategi penting untuk memberi peluang bagi negara berkembang untuk memperluas pasar. Padahal negara maju akan tetap melakukan perlindungan melalui berbagai mekanisme kuota, <em>export restraint</em>, subsidi dan hambatan non-tarif, dll.</span></p> <p><em><b><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">Keempat,</span></b></em><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV"> pelaksanaan privatisasi BUMN. Resep ini jelas ditujukan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sampai sekecil mungkin agar dapat diganti oleh swasta terutama perusahaan multinasional dengan instrument penjualan saham lewat privatisasi. </span></p> <p><span style="" lang="SV">Dengan ciri-ciri tersebut, apakah pemerint</span><span style="mso-ansi-language:SV" lang="SV">ahan SBY-Boediono masih bisa kita sebut tidak neoliberal?</span></p> <span _mce_ style=" line-height: 115%; Times New Roman";font-family:";font-size:12.0pt;" ></span>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-5208782883505667122011-01-28T04:21:00.000-08:002011-01-28T04:44:25.233-08:00Tentang Ekonomi Konstitusi...<div style="text-align: left;"><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; ">Tulisan di bawah ini saya sampaikan pada saat Nasional Demokrat mengawali Seminar National Pendahuluan “Restorasi Indonesia” bertempat di Hotel Borobudur pada tanggal 1-2 Juni 2010. Menjelang diakhirinya rangkaian acara "Restorasi Indonesia", berikut ini saya unggah tulisan tersebut agar dapat juga dinikmati oleh teman-teman yang lain. Mudah-mudahan bermanfaat.</span></div><span class="Apple-style-span"><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Jalan Ekonomi Konstitusi Indonesia:</strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Sungguhkah Kita Ingin Menjalankan Sepenuhnya?</strong><strong><strong>[1]</strong></strong><strong></strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Oleh: Hendri Saparini, Ph.D</em><em><strong>[2]</strong></em><em></em></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em><strong><br /></strong></em></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Pendahuluan</strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Rasanya semua sepakat bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak masalah mendasar di bidang sosial ekonomi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Pertama,</em> masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Bila digunakan pendekatan jumlah keluarga yang masih layak mendapatkan Raskin (beras untuk orang miskin) sebanyak 19,2 juta keluarga. maka dengan rata-rata anggota per keluarga 4 orang, paling tidak saat ini jumlah orang miskin dan mendekati miskin minimal 40 juta orang. Lebih banyak dibanding data BPS yang sebanyak 32,5 juta orang (2009) dengan batasan pengeluaran Rp 200.262 per orang per bulan, atau Rp 6.675 (USD 0,725) per orang per hari. Dengan kata lain, bila digunakan indikator internasional USD 2 per orang per hari, maka jumlah orang Indonesia yang belum sejahtera akan jauh lebih besar.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Grafik 1. Distribusi Pengeluaran Penduduk</strong></p><div style="color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; "><span class="Apple-style-span"><span style="font-size:12.0pt;font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language:EN-US;mso-fareast-language: EN-US;mso-bidi-language:AR-SA"><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 0); line-height: normal; font-family: Georgia, serif; "><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEZBG2X8e76GzxPVnjvR_IFtxqrdqoSD0eiAf3jcgdBm1bnfJ12rK0OVLIY3vyBWgehRRP-rC6Fn-jDg0VFaODtl8_ki3ptLUeBFeYDptYyYgYeldlvFxyAbTi_TTnpEcNEwM0kAeGVWI/s1600/Grafik+1a.jpg"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEZBG2X8e76GzxPVnjvR_IFtxqrdqoSD0eiAf3jcgdBm1bnfJ12rK0OVLIY3vyBWgehRRP-rC6Fn-jDg0VFaODtl8_ki3ptLUeBFeYDptYyYgYeldlvFxyAbTi_TTnpEcNEwM0kAeGVWI/s320/Grafik+1a.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5567212314357870290" style="float: left; margin-top: 0px; margin-right: 10px; margin-bottom: 10px; margin-left: 0px; cursor: pointer; width: 320px; height: 214px; " /></a></span></span></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; "><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; ">Tidak hanya masih banyaknya masyarakat yang tergolong miskin, tetapi juga terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang makin melebar. Data tahun 2005 menunjukkan 40% orang berpendapatan rendah menguasai 22% pendapatan nasional, sedangkan tahun 2008 menurun hingga 19%. Data ini sejalan dengan tren peningkatan angka <em>Gini Index</em> yang mengindikasikan kesenjangan antara individu yang makin lebar.</span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; "><br /></span></div><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Rendahnya kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dari masih tingginya angka pengangguran. Angka pengangguran BPS memang ’hanya’ 8,97 juta jiwa (7.87%) pada tahun 2009. Namun, masalah pengangguran di Indonesia tidak hanya pada jumlah tetapi juga definisi tentang bekerja yang sangat longgar. Definisi orang bekerja yang digunakan BPS dalam survei adalah orang yang bekerja minimal satu jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir. Dengan definisi tersebut, tidak heran bila dari angkatan kerja yang telah bekerja, 69.5% berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar angkatan kerja Indonesia berpendidikan maksimal SD, maka orang Indonesia yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Grafik 2. Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan, 2009 (juta jiwa)</strong></p><p style="text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><span class="Apple-style-span"><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 0); line-height: normal; font-family: Georgia, serif; "><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgwp9GvoMjkRic1QMYHs2NpNQz7aisM6rumAv3rw-9X4ORlVZn22EkspETy7zSBZ_vTWHUF1wq4W1KUKti7R8chUkxAZUagH4Q4B1cAsd7vW2kaXIGK-C45k6KWGKpCL-7fOXU0r0PWuw/s1600/Grafik+2a.jpg"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgwp9GvoMjkRic1QMYHs2NpNQz7aisM6rumAv3rw-9X4ORlVZn22EkspETy7zSBZ_vTWHUF1wq4W1KUKti7R8chUkxAZUagH4Q4B1cAsd7vW2kaXIGK-C45k6KWGKpCL-7fOXU0r0PWuw/s320/Grafik+2a.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5567212533896963154" style="float: left; margin-top: 0px; margin-right: 10px; margin-bottom: 10px; margin-left: 0px; cursor: pointer; width: 320px; height: 214px; " /></a></span></span></p><div><span class="Apple-style-span"><br /></span></div><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Kedua, </em>masalah ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, misal di ASEAN, yang memulai pembangunan dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari indikator <em>Human Development Index</em> (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia yang masih pada level 107 di tahun 2008. Jauh tertinggal dibanding Malaysia (63), Thailand (78) bahkan di bawah Filipina (105). Rendahnya IPM berarti pelayanan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, air bersih) maupun daya beli masyarakat masih realtif rendah dibanding negara-negara ASEAN.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Demikian juga bila diukur dari PDB per kapita. Indonesia yang pada tahun 1960an sekitar USD 100, hampir sama dengan negara-negara tetangga, namun saat ini sudah jauh berbeda. Pada tahun 2008 Indonesia baru sekitar USD 2.246, Thailand USD 4.043 dan Malaysia USD 8.209 (World Bank). Belum lagi bila kita memasukkan data bahwa sebenarnya terjadi kesenjangan pendapatan, yang berarti sebagian besar kue ekonomi dinikmati secara tidak merata.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Ketiga</em><em>,</em> masalah rendahnya daya saing industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin tinggi. Untuk pangan, Indonesia tidak hanya mengalami ketergantungan tetapi mungkin dapat dikatakan telah masuk pada <em>food trap</em>(perangkap pangan). Tujuh komoditas pangan utama nonberas sangat bergantung pada impor. Empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meningkatnya ketergantungan pangan dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas, benih maupun bibit. Data BPS dan Kadin menunjukkan impor kedelai pernah mencapai 61% dari kebutuhan dalam negeri, gula 31%, susu 70% dan daging 50%.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Industri pengolahan pun akhirnya memiliki <em>linkage</em> bisnis yang rendah di dalam negeri dan memiliki ketergantungan impor terhadap bahan baku maupun bahan mentah. Memang masalah ini diawali dari syarat kebijakan liberalisasi oleh IMF yang dituangkan dalam <em>Letter of Intent</em> (LoI) di bidang pertanian sejak tahun 1998. Namun, kebijakan ini terus berlanjut sehingga peran pemerintah untuk menciptakan kedaulatan pangan semakin kecil. Ini sangat berkebalikan dengan negara-negara maju dimana peran negara di sektor pertanian tetap sangat besar sehingga produksi dan perdagangan pangan dunia semakin dikuasai negara-negara maju. Amerika Serikat dan Uni Eropa yang misalnya, memberikan subsidi pertanian agar komoditas yang dihasilkan para petani dapat memenangi persaingan di pasar dunia. Itulah sebabnya daya saing perusahaan multinasional (MNCs) Amerika Serikat dan Eropa semakin kuat dengan penguasaan industri hulu (sarana produksi pertanian) seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida, maupun industri hilir (pertanian) seperti dalam industri pengolahan pangan. Jelas bagi kita bahwa setiap negara akan mengelola ekonomi berdasarkan perintah konstitusinya dan menomorsatukan kepentingan nasional. Saat krisis 2008, pemerintah AS memilih memberlakukan kebijakan proteksi antara lain kebijakan<em>’buy American’</em> yang mengharuskan dana stimulus fiskal digunakan untuk membeli produk dalam negeri. Apakah kebijakan tersebut dapat disimpulkan AS telah berubah dan menolak pasar bebas? Tentu tidak sesederhana itu. Kebijakan tersebut diambil karena pemerintah berkewajiban untuk menyelamatkan ekonominya dan memprioritaskan kepentingan nasional diatas kesepakatan internasional yang melarang negara-negara melakukan kebijakan proteksi dalam menghadapi krisis. Setelah daya saing produk AS pulih, maka AS akan kembali mendorong liberalisasi ekonomi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Grafik 3. Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB</strong></p><p style="font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 0); line-height: normal; font-size: 16px; "></span></p><p style="text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); font-family: Georgia, serif; "><span class="Apple-style-span"><b><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 0); font-weight: normal; line-height: normal; font-family: Georgia, serif; "><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg37ZPPvp-lseZ0fzoTh3WD-99MJraVocy4uWVcI84ALu91vpoIf1ayBHzpiNAVWAQgguxJqyryC5jcQNoatOaWacCbrn_rkmXTvGVhrHfHdUD499dPbk1sPGRjObj8fD7Q7zxrAK7mCcc/s1600/Grafik+3a.jpg"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg37ZPPvp-lseZ0fzoTh3WD-99MJraVocy4uWVcI84ALu91vpoIf1ayBHzpiNAVWAQgguxJqyryC5jcQNoatOaWacCbrn_rkmXTvGVhrHfHdUD499dPbk1sPGRjObj8fD7Q7zxrAK7mCcc/s320/Grafik+3a.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5567212728360183922" style="float: left; margin-top: 0px; margin-right: 10px; margin-bottom: 10px; margin-left: 0px; cursor: pointer; width: 320px; height: 214px; " /></a></span></b></span></p><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; ">Ketergantungan pembiayaan pembangunan terhadap dana utang juga terjadi. APBN yang disusun selalu defisit telah mendorong peningkatan stok utang pemerintah baik utang dalam negeri maupun luar negeri. Memang benar porsi utang terhadap PDB terus menurun. Akan tetapi ketergantungan terhadap utang tidak cukup dilihat dari rasio, tetapi juga pada kemampuan bayar dan sumbernya. Stok utang Indonesia dalam rupiah pada tahun 2009 sebesar Rp 1.591<strong> </strong>triliun. Memang porsi utang luar negeri telah mulai berkurang hingga menjadi Rp 611 triliun, tetapi masalah utang luar negeri tidak hanya pada jumlahnya saja tetapi justru lebih pada <em>policy matrix</em> (persyaratan kebijakan) dari utang luar negeri tersebut.</span></div><p></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Untuk utang dalam negeri, tahun 2009 telah mencapai Rp 979 triliun. Pertumbuhan yang tinggi ini tidak mengherankan karena penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) setiap tahun terus bertambah karena untuk menggantikan pengurangan porsi utang luar negeri. Bahkan dalam lima tahun terakhir meningkat dari sekitar Rp 32 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 175 triliun pada APBN 2009. Dengan pilihan pembiayaan defisit dengan Surat Utang Negara (SUN) dan dana obligasi mahal seperti <em>Global Medium Term Note</em> (GMTN) yang suku bunganya bahkan pernah mencapai 11% lebih, semakin mendorong masuknya gelombang <em>hot money</em> (dana jangka pendek) ke Indonesia, sehingga Indonesia menjadi surga serta permainan bagi para spekulator.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong></strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong></strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Grafik 4. Perkembangan Utang Pemerintah Pusat</strong></p><p style="text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><span class="Apple-style-span"><b><span class="Apple-style-span" style="color: rgb(0, 0, 0); font-weight: normal; line-height: normal; font-family: Georgia, serif; "><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJYg_z7fmOrHU6kZLiD9KmV7SMc-FDMjXSZ2WWM_E0ZmwYuWZQW2ny0wA1KCafn-NtyGDWPFFmfw928uDkuad6YFwtx0mwoKNQQuJgBGgb7r57icjsA1n4dMrECYG6UDWNwSjaObzZUE8/s1600/Grafik+4a.jpg"><img src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJYg_z7fmOrHU6kZLiD9KmV7SMc-FDMjXSZ2WWM_E0ZmwYuWZQW2ny0wA1KCafn-NtyGDWPFFmfw928uDkuad6YFwtx0mwoKNQQuJgBGgb7r57icjsA1n4dMrECYG6UDWNwSjaObzZUE8/s320/Grafik+4a.jpg" border="0" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5567214022493115058" style="float: left; margin-top: 0px; margin-right: 10px; margin-bottom: 10px; margin-left: 0px; cursor: pointer; width: 320px; height: 214px; " /></a></span></b></span></p><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; "><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; ">Masih banyak masalah sosial ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini. Namun, seringkali keprihatinan atas buruknya kondisi ekonomi tersebut tidak membawa kita untuk melakukan evaluasi terhadap arah dan kebijakan ekonomi yang dipilih selama ini. Keterpurukan ekonomi Indonesia sering dianggap sebagai akibat dari pengelolaan kebijakan publik yang tidak transparan dan sarat korupsi. Bahkan seringkali isu korupsi menjadi alat dan pintu masuk bagi kebijakan liberalisasi dan privatisasi. Pengebirian peran Bulog, Pertamina dan beberapa BUMN lain misalnya, sangat mendasarkan pada isu korupsi sehingga mengesampingkan pentingnya peran strategis Bulog dan Pertamina. Bahwa korupsi merupakan masalah dan musuh besar bagi pembangunan ekonomi memang benar. Akan tetapi gencarnya kampanye anti korupsi jangan sampai menenggelamkan atau digunakan untuk menutupi faktor penyebab utama dari keterpurukan ekonomi Indonesia yakni paradigm kebijakan ekonomi yang salah.</span></div><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Sudah saatnya bagi kita untuk mengkaji dengan kritis apakah garis pengelolaan ekonomi saat ini telah sejalan dengan amanah konstitusi UUD 1945. Mengapa, kondisi ekonomi justru semakin jauh dari cita-cita pembangunan seperti tercantum pada pembukaan UUD 1945?</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Jalan Ekonomi Konstitusi</strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Setiap negara akan mengelola kebijakannya, termasuk kebijakan ekonomi, sesuai amanah dalam konstitusinya. Indonesia, sebagai negara berdaulat dan memiliki konstitusi UUD 1945, semestinya harus mengelola ekonomi berdasarkan pasal-pasal dalam konstitusi tersebut. Mengapa? Bila paradigma ekonomi yang dipilih berbeda dari konstitusi, maka akan menghasilkan pilihan kebijakan yang menyimpang pula dari garis konstitusi. Dalam paradigma ekonomi konstitusi, pengelolaan ekonomi akan memanfaatkan segala sumber daya nasional yang dimiliki. Baik sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan lain-lain yang dimiliki untuk diprioritaskan bagi kepentingan nasional untuk mewujudkan negara yang maju, mandiri dan berdaya saing tinggi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Namun seringkali saat paradigma ekonomi konstitusi ditawarkan sebagai solusi, banyak kalangan meragukan bahwa konstitusi kita memiliki pengaturan yang jelas, tegas dan komplit tentang pengelolaan ekonomi. Sebagian lainnya menolak dengan alasan tidak ada landasan teorinya. Bahkan, sekelompok ekonom mengatakan kita tidak perlu terbelenggu romantisme masa lalu dengan mengkaitkan pengelolaan ekonomi dengan UUD 1945, karena kita telah memasuki era ekonomi global. Sekarang, tatanan global-lah yang menjadi referensi dalam pengelolaan ekonomi agar kita mendapatkan manfaatnya. Padahal semua negara tetap memegang amanah konstitusi dan kepentingan nasional dalam memenangi globalisasi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Penolakan dan keengganan sekelompok kalangan untuk kembali pada konstitusi pada umumnya akibat keyakinan dan kekaguman yang berlebihan terhadap paradigma ekonomi liberal. Sebagian lainnya hanya karena ketidakpahaman atas paradigma ekonomi konstitusi. Padahal pengaturan ekonomi dalam konstitusi telah memiliki aturan yang jelas. Bahkan bukan sekadar pengelolaan ekonomi semata, tetapi pengelolaan ekonomi yang ditujukan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia dan mendahulukan kepentingan nasional. Konstitusi telah mengatur tugas negara dalam ekonomi sehingga pembangunan ekonomi menjamin bagi seluruh warna negara untuk ikut dalam kegiatan produksi dan dalam menikmati hasil produksi. Sayangnya, diskusi tentang paradigma ekonomi konstitusi ini memang masih sangat jarang dan bahkan tidak lagi dikenalkan di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang mempelajari ilmu ekonomi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Undang-undang Dasar 1945 memiliki Pasal 33 yang akan mengatur ekonomi. Namun, menurut hemat saya pembahasan pasal 33 tentang pengeloaan ekonomi seharusnya tidak dilepaskan dari pembahasan tentang tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warga negara seperti menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan dan menjamin orang miskin. Dengan demikian, dalam UUD 1945 ada 6 pasal yaitu Pasal 23, 27, 28, 31, 33 dan 34, dimana keenam pasal tersebut harus dipahami secara menyatu dan tidak dipisah-pisahkan.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Pasal 23 ayat 1, menegaskan bahwa pengelolaan anggaran dan keuangan pemerintah harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 27 mengatur hak penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat. Di pasal 28 c, menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi hak-hak dasarnya. Pasal 31 mengatur hak rakyat atas pendidikan dan kewajiban negara untuk memberikan pendidikan setinggi-tingginya. Dalam pasal 33, ayat 1 tentang pengaturan ekonomi yang berbasis kebersamaan, ayat 2 menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati hasilnya agar mengalami peningkatan kesejahteraan. Sedangkan pasal 33 ayat 3 dengan jelas diuraikan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam yang ada dan rakyat memiliki hak penuh atas kekayaan tersebut. Pada pasal 34, konstitusi menegaskan hak fakir miskin dan anak terlantar untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar oleh negara. Bila keenam pasal tersebut dimaknai secara bersama, maka keberadaan pasal 33 yang mengatur negara harus menguasai sumber daya alam dan tidak diberikan penguasaannya kepada swasta dan asing karena tugas negara sesuai amanah konstitusi sangat banyak.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Namun, karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal pemerintah, maka telah terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara, minyak mentah, gas dan tambang lainnya hanya sekadar komoditas yang dapat dikuasai dan diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing. Sebagai komoditas non strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi keuntungan. Seolah manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa, penciptaan lapangan meskipun bukan pekerja ahli atau dari pembayaran pajak dan royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi saat ini, bagian pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh swasta.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Dengan kembali pada ekonomi konstitusi, berbagai kekayaan alam tambang akan dikembalikan sebagai modal pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian. Oleh karenanya kekayaan alam tersebut harus dikembalikan penguasaannya pada negara untuk dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pertanyaanya, bersungguh-sungguhkah kita akan mengembalikan pengelolaan kekayaan alam sesuai dengan amanah pasal 33 ayat 3? Karena salah satu konsekwensinya kita harus berjuang untuk merevisi berbagai undang-undang pengelolaan SDA yang bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 misalnya, paling tidak ada empat pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Namun, keputusan MK tersebut hingga hari ini belum ditindak lanjuti karena akan mengganggu kepentingan sekelompok elit asing dan dalam negeri yang selama ini mendapatkan manfaat besar dari liberalisasi SDA. Kita juga harus bersedia mengevaluasi undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (minerba) karena tidak mengatur pentingnya DMO <em>(domestic market obligation) </em>bagi kepentingan nasional. Juga harus bersungguh-sungguh melakukan koreksi terhadap Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95% serta melakukan koreksi terhadap berbagai undang-undang yang telah disusun dengan paradigma liberal, seperti UU Kelistrikan, UU Air, dll. Mengembalikan ekonomi pada konstitusi juga berarti bersedia mengoreksi berbagai kontrak-kontrak tambang sehingga memberikan manfaat lebih besar bagi rakyat. Dengan terobosan-terobosan ini, akan ada potensi penerimaan negara baru yang lebih besar sehingga tidak lagi hanya bersumber pada pajak, privatisasi dan utang sebagaimana pakem <em>Washington Consensus</em>.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Pengelolaan kekayaan alam non tambang yang liberal dan tidak menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas juga harus dikoreksi. Pilihan kebijakan ini telah menjadikan Indonesia sebagai pemasok berbagai sumber daya alam mentah sebagai bahan baku industri dunia. Padahal pilihan ini akan merugikan kepentingan nasional. Pada saat memilih untuk mengekspor bahan baku dan bahan mentah maka pada saat itu pula Indonesia sedang mengekspor kesempatan kerja, memberikan nilai tambah dan menyerahkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat kepada negara lain. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia namun saat ini pemerintah membebaskan ekspor rotan mentah. Memang kebijakan ini akan mendorong ekspor sehingga menguntungkan petani rotan. Secara nasional negara juga akan diuntungkan dengan sumbangan pertumbuhan ekspor yang tinggi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sepintas kebijakan ini seolah baik. Padahal, akibat dari liberalisasi rotan mentah telah mengakibatkan produsen barang dari rotan yang umumnya di wilayah Jawa, mengalami ketidakpastian harga dan pasokan bahan baku. Tentu petani rotan akan memilih untuk mengekspor karena permintaan dan pembayaran lebih pasti. Namun, sebagai konsekwensinya banyak industri mebel rotan kecil dan menengah nasional kesulitan bahan baku. Bahkan saat ini meubel rotan Indonesia telah kalah bersaing dengan produk dari negara-negara pengimpor rotan dari Indonesia.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Bila meyakini menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang layak pada pasal 27 dan 28 adalah amanah yang harus dijalankan, maka kebijakan yang dipilih dalam pengelolaan rotan akan berbeda. Melimpahnya produksi rotan di Kalimantan justru menjadi kesempatan untuk memantapkan posisi Indonesia sebagai produsen mebel rotan utama dunia yang pernah dicapai sebelum krisis. Pengembangan sentra-sentra industri produk rotan di daerah penghasil rotan dengan berbagai dukungan teknologi dari pemerintah akan menciptakan lapangan kerja yang besar, kesejahteraan petani dan perajin rotan akan meningkat karena nilai tambah dari pengolahan rotan akan terjadi dan dinikmati oleh rakyat di Indonesia. Kebijakan yang sama semestinya juga dapat dilakukan untuk kekayaan timah, coklat, dan lain-lain yang melimpah.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Pada pasal 33 ayat 2 ditegaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki hak untuk ikut berproduksi. Konsekuensi dari ayat ini adalah bahwa seluruh rakyat harus memiliki akses sebesar-besarnya atas berbagai modal yang diperlukan untuk ikut serta dalam kegiatan ekonomi, baik akses terhadap modal kapital maupun modal ilmu untuk dapat memenangkan persaingan dalam ekonomi. Untuk modal pendidikan, pasal 31 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karenanya, upaya mengembalikan kewajiban negara dalam menyediakan pendidikan terbaik bagi seluruh rakyat adalah hal yang harus dilakukan. Sesuai amanah konstitusi, bila negara harus memberikan akses yang sama bagi seluruh rakyat untuk ikut dalam kegiatan ekonomi maka tugas negara tidak hanya menyediakan pendidikan dasar dan menyerahkan pembiayaan pendidikan tinggi kepada rakyat. Pengurangan berbagai subsidi pendidikan menunjukkan lepasnya tanggung jawab negara dalam menyediakan pendidikan bagi rakyat. Akhirnya hanya masyarakat yang mampu memperoleh pendidikan tinggi yang akan memenangkan kompetisi. Bila akhirnya terjadi kesenjangan yang lebar, maka hal ini adalah konsekuensi logis yang harus terjadi. Liberalisasi pendidikan tidak hanya mengabaikan pasal 31 tetapi sekaligus juga pasal 33 ayat 2.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Pasal 23 UUD 1945 telah tegas menyatakan bahwa APBN untuk kesejahteraan rakyat dan pasal 34 mewajibkan pemerintah menanggung fakir miskin dan anak terlantar. Namun, kondisi saat ini ternyata masih jauh dari tujuan pasal tersebut karena kesejahteraan masyarakat masih menjadi masalah utama. Harus dipahami bahwa pelaksanaan pasal 23 dan 34 sangat terkait dengan pelaksanaan pasal-pasal sosial ekonomi yang lain dalam UUD 1945. Alokasi anggaran pada dasarnya turunan dari politik anggaran pemerintah di berbagai sektor. Pada saat pemerintah menjalankan kewajiban pasal 31 untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pendidikan terbaik, yang berarti tidak tetap memberikan subsidi pendidikan menengah dan tinggi, maka pelaksanaan amanah ini harus tercermin dalam alokasi dana pendidikan pada APBN. Pada saat pemerintah menjalankan kewajiban untuk menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara sebagaimana pasal 27, maka dalam APBN akan tercermin dengan jelas alokasi anggaran untuk tujuan tersebut. Selama beberapa tahun terakhir, meskipun penciptaan lapangan kerja selalu menjadi program prioritas Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Akan tetapi dalam APBN tidak pernah disebutkan berapa dan apa lapangan kerja yang akan diciptakan serta berapa anggaran yang dialokasikan. Ini terjadi karena penciptaan lapangan kerja dilakukan dengan pendekatan neoliberal yakni sekedar menciptakan iklim usaha yang baik dan menyerahkan penciptaan lapangan kerja pada swasta.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Pengelolaan SDA yang tidak dikelola sesuai pasal 33 akan berpengaruh terhadap APBN. Bila dilihat dari struktur APBN, terlihat seolah pemerintah telah mengalokasikan subsidi yang semakin besar untuk BBM, listrik dan pupuk. Oleh karenanya, agar tidak membebani keuangan negara maka subsidi-subsidi tersebut seolah layak untuk segera dipangkas. Padahal masalah sesungguhnya bukan semata pada besarnya alokasi APBN untuk dana subsidi. Tetapi perlunya subsidi energi akibat kesalahan dalam mengelola SDA energi. Untuk subsidi listrik misalnya, selama ini tarif dasar listrik (TDL) cenderung meningkat akibat bauran energi <em>(energy mix)</em> PLN yang berasal dari BBM sangat tinggi, mencapai sekitar 85%. Penyebabnya, karena pengelolaan sumber daya alam yang liberal telah mengabaikan pasal 33 dan mengakibatkan PLN tidak bisa mendapatkan jaminan pasokan gas dan batu bara. Tidak heran bila biaya bahan bakar PLN menjadi sangat mahal karena PLN harus membeli energi pada harga internasional. Selisih harga inilah yang kemudian dibebankan pada APBN sebagai subsidi. Semestinya, jika energi PLN didiversifikasi ke gas dan batubara serta ada jaminan penggunaan sumber daya alam energi untuk kepentingan listrik nasional, maka biaya produksi listrik dapat ditekan secara signifikan tanpa menambah subsidi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><strong>Penutup</strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Enam pasal ekonomi dan sosial dalam konstitusi UUD 1945 yakni Pasal 23, 27, 28, 31, 33 dan 34 merupakan pasal-pasal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam mewujudkan kemajuan dan kemandirian ekonomi serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Pasal 33 menegaskan bahwa 1) pengelolaan ekonomi harus berbasis kebersamaan, 2) seluruh rakyat memiliki hak untuk berproduksi dan menikmati hasilnya serta 3) menegaskan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam dan memanfaatkannya untuk rakyat sebagai pemilik penuh atas kekayaan tersebut. Sementara lima pasal lainnya menjelaskan bahwa negara mempunyai tanggung jawab besar baik dalam menyediakan kebutuhan dasar, pendidikan, lapangan kerja serta dalam menjamin fakir miskin dan anak terlantar.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Namun, pengelolaan ekonomi Indonesia yang terjadi saat ini ternyata telah semakin jauh dari jalan ekonomi yang digariskan dalam konstitusi. Sejak krisis 1997/98 ekonomi Indonesia bahkan mengalami percepatan liberalisasi. Pilihan kebijakan ekonomi semakin fokus pada tiga hal yakni stabilitas makroekonomi dan disiplin anggaran lewat pengurangan berbagai subsidi; liberalisasi keuangan, perdagangan dan industri; serta privatisasi, yang sejalan dengan agenda ekonomi neoliberal. Dampak dari pengelolaan ekonomi ini telah mengurangi peran negara dalam memenuhi kewajiban-kewajiban konstitusinya terhadap rakyat. Kebijakan disiplin anggaran telah mengurangi berbagai subsidi, tidak hanya BBM tetapi juga pendidikan. Liberalisasi telah menempatkan kepentingan nasional bukan sebagai prioritas. Privatisasi juga telah mengaburkan peran strategis pemerintah untuk mengelola sektor-sektor strategis.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Indonesia adalah negara dengan kekayaan yang melimpah baik kekayaan alam, budaya, jumlah penduduk yang besar. Bila tidak ada koreksi kebiajkan, maka potensi yang besar akan habis tanpa ada manfaat besar yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Meskipun bukan hal mudah akan tetapi pengelolaan ekonomi harus segera dilakukan langkah-langkah untuk mengembalikan jalan ekonomi Indonesia pada jalan konstitusi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Kita bersyukur pada hari ini, Nasional Demokrat mangambil langkah inisiatif untuk menyatukan dan mengajak semua pihak untuk melakukan koreksi terhadap pengelolaan ekonomi Indonesia. Besar harapan masyarakat bahwa bahwa Nasional Demokrat akan tegas dan konsisten untuk menjalankan semua konsekwensi berat yang muncul dari kesungguhannya untuk kembali pada jalan ekonomi konstitusi. Apabila tidak, maka cita-cita hanya tinggal cita-cita karena untuk mewujudkannya ada sederet agenda yang harus dijalankan agar tujuan untuk mengembalikan pengelolaan ekonomi pada jalan kontitusi segera terwujud.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Pertama</em><em>,</em> pengelolaan ekonomi tidak terlepas dari isu ekonomi politik yang didasarkan pada landasan negara. Isu ekonomi politik atau ekonomi politik menjadi kunci dalam mengoreksi jalannya ekonomi. Untuk itu perlu adanya kesepakatan nasional tentang politik ekonomi anggaran, politik ekonomi sumber daya alam, politik ekonomi pendidikan, politik ekonomi pangan, politik ekonomi kesehatan, dll. Dalam politik anggaran, pengelolaan anggaran bukan hanya sebatas bagaimana cara meningkatkan jumlah anggaran dan belanja negara, tetapi juga bagaimana merencanakan belanja sesuai dengan amanah konstitusi serta bagaimana strategi pembiayaannya sehingga sejalan dengan konstitusi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Dari UUD 1945 pasal 23 dan 33, telah jelas bahwa prioritas anggaran adalah untuk kesejahteraan dan pembiayaan pembangunan didapat dari pengelolaan berbagai kekayaan alam. Oleh karenanya adalah sangat menyimpang saat anggaran belanja telah meningkat berkali-lipat tetapi kesejahteraan masyarakat tidak meningkat sebanding dengan peningkatan anggaran. Juga telah salah saat pembiayaan anggaran mengabaikan penerimaan yang maksimal dari sumber penerimaan dari kekayaan alam, tetapi cenderung bersandar pada pajak dan utang.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Politik pendidikan telah diatur dalam konstitusi dengan sangat jelas, yakni negara bertanggung jawab untuk menyediakan pendidikan sebaik-baiknya baik kualitas maupun kuantitas; dan setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Oleh karenanya kebijakan liberalisasi pendidikan yang melepaskan tanggung jawab negara dalam menyediakan pendidikan yang akhirnya memaksa rakyat berkompetisi untuk mendapatkan pendidikan jelas telah menyimpang dari garis konstitusi. Padahal pendidikan merupakan salah satu syarat yang akan menjamin bahwa seluruh rakyat telah mendapatkan modal dan kesempatan yang sama untuk ikut berproduksi. Jadi, anggaran pemerintah apakah akan diprioritaskan untuk mengurangi kesenjangan pelayanan pendidikan ataukah meningkatkan kualitas pelayanan yang lebih baik tetapi kemudian hanya dapat dijangkau oleh sebagian rakyat.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Kedua</em><em>,</em> melakukan konsolidasi pemahaman ini baik secara internal maupun secara nasional kepada seluruh masyarakat. Langkah ini tentu bukan pekerjaan mudah dan akan menuntut usaha yang tidak mengenal lelah. Terlalu banyak kelompok kepentingan baik di dalam dan luar negeri yang akan terganggu dengan langkah koreksi ini sehingga akan melakukan upaya untuk menghentikan upaya penyebaran pemahaman tentang perlunya Indonesia kembali pada jalan ekonomi konstitusi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Ketiga</em><em>,</em> mengembalikan garis kebijakan ekonomi pada jalan ekonomi konstitusi menuntut perubahan secara komprehensif dan menyeluruh. Dalam pelaksanaannya, diperlukan rencana strategi dan kebijakan transisi baik langkah-langkah jangka pendek, menengah maupun panjang. Oleh karenanya perlu dilakukan kajian dan review terhadap kebijakan ekonomi. Sebagai contoh, ada langkah jangka pendek dan panjang untuk menggeser politik APBN untuk menuju jalan konstitusi baik langkah yang bersifat ideologis maupun praktis. Upaya mengurangi beban utang dapat dirinci menjadi langkah administratif dan finansial maupun langkah politik di dalam dan luar negeri. Demikian juga dengan koreksi terhadap berbagai kebijakan perundang-undangan yang telah menyimpang dari konstitusi. Ada solusi yang dapat dijalankan segera misal dengan menggunakan peraturan sementara maupun langkah mengkoreksi Undang-undang.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><em>Keempat</em><em>,</em> dukungan parlemen menjadi salah satu kunci untuk melakukan perubahan ini. Oleh karenanya perlu penyamaan kesepakatan dan pemahaman termasuk juga mendorong DPR untuk proaktif dalam menjalankan agenda-agenda yang diperlukan. Koreksi terhadap aturan perundang-undangan atau pengurangan stok utang misalnya, memerlukan dukungan bahkan inisiatif dari DPR.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">Diskusi yang digagas kali ini mudah-mudahan akan semakin melebarkan jalan dan menjadi pendorong bagi upaya-upaya mengembalikan pengelolaan ekonomi pada jalan ekonomi konstitusi yang telah dilakukan selama ini. Bukan sekadar wacana yang tidak berlanjut pada langkah-langkah konkrit dengan menjalankan agenda-agenda yang diperlukan karena memang memerlukan kerjakeras, usaha pantang menyerah, kesabaran, kesiapan strategi, dll. Semoga kita bersungguh-sungguh ingin mewujudkannya. ***</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">[1] Disampaikan pada Seminar National Pendahuluan “Restorasi Indonesia”, Nasional Demokrat, Hotel Borobudur, 1-2 Juni 2010.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; color: rgb(51, 51, 51); ">[2] Pengamat Ekonomi, Tim Penulis Buku Ekonomi Konstitusi dan Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).</p></span>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-37790846038954436722011-01-25T22:40:00.000-08:002011-01-25T22:50:33.424-08:00Catatan tetang statistik, diantara angka dan fakta....<span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; color: rgb(51, 51, 51); line-height: 16px; "><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Di bawah ini adalah tulisan saya yang berjudul "Perangkap Statistik" dan dimuat di harian ”Seputar Indonesia” edisi Selasa 25 januari 2011. Yang saya tulis barangkali memang bukan sesuatu yang baru, tetapi setidaknya bisa menjadi catatan bagi kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi negara kita, bisa menjadi mengingat bagi kita untuk melangkah maju...</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Dalam beberapa hari terakhir, terjadi politik yang cukup tajam atas kinerja pemerintah. Banyak kalangan bahkan merasa perlu untuk menyatakan ketidak percayaannya kepada berbagai klaim keberhasilan pemerintah. Gugatan bahkan juga dikuatkan oleh para tokoh lintas agama beberapa waktu lalu karena mereka berhadapan langsung dengan umat. Para tokoh agama merasa sangat berkewajiban untuk menggugat klaim keberhasilan pemerintah yang mengatakan telah mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan bahkan meningkatkan pendapatan masyarakat karena fakta yang mereka dihadapi di lapangan sangat berbeda.</p><p></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Namun, di sisi lain, pemerintah juga bersikukuh dan bahkan menolak gugatan para tokoh lintas agama tersebut karena pemerintah merasa klaim keberhasilan yang dipaparkan telah didasarkan pada angka-angka statistik yang sahih dari BPS. Angka-angka yang diperoleh lewat sederet sensus dan survei yang dilakukan oleh tenaga-tenaga terdidik dan dengan dukungan dana APBN yang sangat besar. Angka-angka yang diperoleh dengan metodologi yang sangat dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa kedua kelompok merasa memiliki alasan yang kuat atas pernyataannya? Yang satu mendasarkan pada angka statistik yang dapat dipertanggung jawabkan, sementara yang lain juga dilandasi dengan data dan informasi yang sesuai fakta.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><strong>Cerita dibalik angka </strong><strong> </strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Mari kita coba telaah angka-angka yang saat ini tengah menjadi polemik. Pertama, jumlah kemiskinan. Seberapa banyak jumlah orang miskin di Indonesia? Benarkah saat ini hanya 31 juta orang seperti klaim pemerintah? Tulisan saya yang mempertanyaankan jumlah orang miskin telah dimuat salah satu media cetak pada bulan Agustus tahun lalu. Sulit dipahami saat statistik orang miskin hanya mengakui orang yang tergolong miskin hanya sekitar tiga puluh juta tetapi dalam APBN 2010 orang yang dianggap layak menerima program beras miskin sebanyak 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang dengan perhitungan rata-rata anggota keluaraga di Indonesia 4,5 orang.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Juga dalam APBN, pemerintah menganggarkan dana program bantuan kesehatan bagi orang miskin adalah untuk 76,4 juta orang. Bila statistik orang miskin yang menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan angkanya sebesar 31 juta, mengapa jumlah orang yang berada di atas garis kemiskinan dan layak menerima bantuan program pangan dan kesehatan untuk orang miskin jumlahnya justru lebih banyak, antara 40-45 juta? Artinya, banyak orang yang miskin dan layak menerima bantuan untuk orang miskin tetapi tidak dikategorikan miskin. </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Kedua, statistik Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang diklaim pemerintah sebagai indikator meningkatnya pendapatan masyarakat. Tahun 2010 PDB per kapita Indonesia bahkan telah mencapai US$ 3000 atau sekitar Rp 27 juta per kapita per tahun. Tentu angka PDB per kapita tersebut sulit diterima sebagai indikator perbaikan pendapatan karena sebagian besar rakyat masih tergolong miskin. Namun, angka tersebut juga tidak salah karena PDB memang hanya menghitung produksi yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia. T anpa peduli siapa yang melakukan produksi dan siapa yang memperoleh manfaat besar dari PDB tersebut. Kenyataannya, porsi pemilik modal besar baik domestik maupun asing dalam PDB cukup besar sehingga PDB yang dinikmati oleh mereka juga sangat besar.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Ketiga, angka pengangguran. Dalam artikel lain saya pernah mempertanyakan statistik penganggur Indonesia yang diklaim tinggal 8,5 juta pada tahun lalu. Rasanya sulit menerima angka statistik ini karena faktanya banyak orang yang masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Ternyata statistik orang yang bekerja diperoleh BPS dengan memotret angkatan kerja yang telah berkerja minimal 1 jam dalam seminggu terakhir. Akibatnya, dalam perhitungan ini orang yang bekerja tetapi tidak dibayar tetap dikategorikan telah bekerja. Padahal jumlah kelompok ini sangat besar, mencapai 20 persen dari jumlah orang yang bekerja atau tidak menganggur.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Statistik lain justru semakin menjelaskan mengapa kita sulit menerima angka pengangguran yang dinilai telah berkurang dari 10,8 persen menjadi hanya 7,14 persen. Ternyata, meskipun dalam enam tahun terakhir pemerintah berhasil menciptakan lapangan kerja, data BPS menunjukkan bahwa lapangan kerja yang berhasil diciptakan sebagian besar adalah lapangan kerja di sektor jasa kemasyarakatan. Memang di dalamnya termasuk pengusaha, profesional, tetapi porsi terbanyaknya adalah jasa kebersihan, seperti tukang sapu. Juga jasa reparasi seperti servis AC, TV, bengkel, dll. Bahkan selama enam tahun, porsi lapangan usaha jasa kemasyarakatan mencapai 41 persen dari total lapangan kerja yang tercipta. Jauh lebih besar dibanding di sektor industri atau pertanian. </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><strong>Bukan angka tapi makna</strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Statistik hanyalah sekadar angka. Naik turunnya angka memang akan dapat bermanfaat untuk menunjukkan tren. Tren sangat penting untuk menunjukkan perkembangan terhadap sesuatu. Untuk kebijakan publik, akan dapat mengukur efektifitas dari kebijakan tersebut. Sebagai contoh, angka kemiskinan dan pengangguran yang menurun tentu lebih baik dibanding bila trennya menunjukkan peningkatan. Demikian juga angka PDB per kapita yang terus meningkat tentu merupakan indikasi positif dari kebijakan ekonomi yang diambil.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Namun, sebelum kita menganalisis tren angka-angka tersebut, sangat penting untuk memahami definisi dan makna dari angka-angka tersebut yakni bagaimana angka-angka tersebut dibangun. Angka bisa sangat bermakna tetapi sangat mungkin tidak memberi makna apapun meskipun dibangun dengan metodologi yang canggih. Apalagi angka untuk angka yang akan menjadi dasar kebijakan publik.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Sangat mungkin sebuah angka statistik justru menjadi sumber kesalahan dari pengambilan kebijakan publik yang sangat fatal. Alasannya, karena salah dalam membangun angka tersebut. Misalnya, niat pemerintah melakukan koreksi perhitungan angka inflasi dengan mengeluarkan cabe karena harganya sering mengalami fluktuasi ekstrim.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Dengan perubahan metodologi ini sangat mungkin angka inflasi yang dihasilkan lebih rendah sehingga dapat menjadi indikator keberhasilan ekonomi. Namun, angka baru tersebut tidak memiliki makna dan tidak menggambarkan apa yang terjadi di lapangan. Bagi rakyat Indonesia cabe termasuk pangan pokok dan faktanya banyak harga komoditas yang sangat terpengaruh oleh harga cabe. </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Tidak terlalu salah bila Darell Huff pada tahun 1954 merasa perlu untuk menulis buku <em>”How to Lie with Statistics”</em>. Karena membuat pernyataan dan klaim dengan angka-angka statistik memang menyenangkan dan seolah menjadi sangat meyakinkan. Inilah yang tengah terjadi pada pemerintahan SBY. Pemerintah SBY telah terperangkap oleh berbagai angka statistik <em>(statistical trap)</em>. Menjadi sangat berbahaya saat pemerintah SBY juga bersikap mengabaikan nasehat dan pesan moral dari para tokoh lintas agama untuk melakukan koreksi kebijakan karena angka-angka yang menjadi dasar klaim keberhasilan kebijakan tidak menemukan makna di tengah masyarakat. Statistik hanyanyalah angka. Landasan ideologi dalam melakukan interpretasi dan dalam memilih solusi jauh lebih penting dari angka itu sendiri.***</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; ">Oleh: Hendri Saparini – Pengamat ekonomi </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; text-align: left; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; line-height: 1.5em; "><br /></p><p></p></span>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-3570406560810944732011-01-10T05:33:00.000-08:002011-01-10T05:35:04.656-08:00Si Miskin Harus Bekerja<p class="MsoNormal" align="center" style="text-align: left;">Berita dampak kemiskinan yang dihadapi masyarakat memenuhi pemberitaan media <st1:city st="on"><st1:place st="on">massa</st1:place></st1:city> pada awal tahun ini. Di mulai dari cerita keluarga yang keenam anaknya tewas setelah keracunan tiwul untuk mengganti nasi yang sudah tak terbeli. Sampai dengan pasutri yang nekad bunuh diri dan tega meninggalkan anak-anaknya karena tidak mampu menanggung biaya hidup. Tidak terlalu salah bila <i style="mso-bidi-font-style:normal">Kompas</i> menyebutkan pilihan orang miskin di <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> hanya tiga yakni, berhutang, mengurangi makan, kemudian bunuh diri.</p> <p class="MsoNormal">Tapi benarkah kondisi masyarakat sudah sedemikian parah? Atau pemberitaan tersebut hanya sekadar dampak dari kebebasan pers sehingga kasus kecil pun dapat <i style="mso-bidi-font-style:normal">blow up</i> sehingga terkesan sangat serius? Masyarakat bingung karena cerita tersebut tidak sejalan dengan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa tahun 2010 pemerintah SBY-Boediono berhasil mengurangi penduduk miskin sebanyak 1,5 juta dan menurunkan pengangguran terbuka menjadi sebanyak 8,32 juta orang. </p> <p class="MsoNormal">Di satu sisi sulit untuk tidak memercayai data BPS yang dilakukan dengan dukungan SDM terbaik dan dana APBN yang besar. Tetapi tidak mudah juga untuk menerima klaim pemerintah SBY-Boediono bahwa jumlah orang miskin berkurang. </p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal">Siapa si miskin</b></p> <p class="MsoNormal">Siapa sebenarnya yang disebut sebagai si miskin? Selama ini untuk menghitung angka kemiskinan, BPS memotret dan menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk tahun 2010, bila pengeluaran seseorang di bawah Rp 211.726 per bulan maka dia dikategorikan miskin. Dengan batasan tersebut jumlah orang miskin diklaim hanya 31 juta.</p> <p class="MsoNormal">Banyak kalangan meragukan data tersebut karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ketidakpuasan tersebut wajar. Namun harus dipahami bahwa jumlah orang miskin sebanyak 31 juta tersebut memang hanya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan angka kemiskinan hanya dengan menghitung rasio orang yang berada di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk. </p> <p class="MsoNormal">Artinya, angka kemiskinan memang<span style="mso-bidi-font-family: Calibri"> tidak bercerita tentang banyaknya orang miskin yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan. Sudah sering saya sampaikan bahwa jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (Raskin), tahun 2010 jumlahnya 70 juta orang. Bila digunakan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Sedangkan dengan data Bank Dunia jumlahnya mendekati 100 juta orang (42 persen penduduk), sangat jauh dari angka 31 juta orang! <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="mso-bidi-font-family:Calibri">Dengan penjelasan tadi semestinya pemerintah merubah batasan orang miskin dengan memasukkan kelompok mendekati miskin ke dalam kelompok miskin. B</span>ila orang miskin menerima banyak program bantuan, maka tidak demikian halnya dengan yang terkategori mendekati miskin. </p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Sebagai gambaran, salah satu kelompok masyarakat yang terkategori mendekati miskin adalah buruh. Dengan asumsi pengeluaran per bulan sebesar satu juta rupiah, maka pengeluaran rata-rata anggota keluarga per bulan sebesar Rp 250.000, atau sedikit di atas garis kemiskinan. Namun, dengan pengeluaran mendekati garis kemiskinan sebagian besar buruh tidak menikmati program pangan, rumah dan pendidikan murah, bahkan tidak ada jaminan kesehatan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Sangat wajar bila jumlah orang miskin versi pemerintah tidak dapat dipercaya masyarakat karena jumlah orang yang bekerja (tidak menganggur) tetapi memiliki penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan dasar sangat banyak. Menurut data BPS sebesar 60 persen atau 50,15 juta buruh dan pekerja di Indonesia hanya memiliki penghasilan rata-rata US$ 2.284 per tahun. Dengan kata lain, dengan dua anak pengeluaran per anggota keluarga per hari hanya sekitar Rp 15.000. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><b style="mso-bidi-font-weight:normal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Hanya dengan bekerja<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Menjawab tuntutan percepatan pengentasan kemiskinan, pemerintah sering beralasan bahwa masyarakat harus bersabar karena upaya pengentasan kemiskinan perlu waktu dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memang benar diperlukan waktu untuk memangkas kemiskinan secara signifikan. Akan tetapi kecepatan dalam mengurangi jumlah orang miskin sangat tergantung pilihan strategi dan kebijakan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">China, yang memulai pembangunan ekonomi pada akhir tahun 1970an, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dengan sangat drastis sehingga pada tahun 2004 menjadi hanya 10 persen dari sekitar 64 persen di tahun 1981. Bahkan pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari hanya tinggal 7 persen. Bandingkan dengan di Indonesia, yang pada tahun 2009 jumlahnya masih sebesar 59 persen.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Tidak hanya berhasil mengurangi jumlah orang miskin, dalam kurun waktu tiga puluh tahun, China dengan penduduk tidak kurang dari 1,3 milyar orang, juga telah berhasil membawa 66 persen penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan menengah atas. Sementara Indonesia yang memulai industrialisasi lebih dulu, hingga tahun 2009 hanya mampu memiliki 10,6 persen penduduk yang tergolong kelas menengah dan menengah atas.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Tentu banyak strategi dan kebijakan yang dilakukan China untuk mengurangi kemiskinan bahkan menghapus kemiskinan. Namun, salah satu strategi China yang perlu digaris bawahi adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. China mengawali pembangunan dengan membangun desa khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di pedesaan maka pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IT" style="mso-ansi-language:IT">Indonesia semestinya dapat menarik pelajaran dari pengalaman China. Apalagi lebih dari 65 persen orang miskinnya berada di desa dan hampir separuhnya hingga saat ini hanya memiliki tingkat pendidikan maksimal SD. Strategi pengurangan kemiskinan yang diintegrasikan dengan strategi penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan bahan pangan yang selama ini bergantung pada impor akan menjadi solusi pengentasan kemiskinan paling tepat bagi Indonesia. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IT" style="mso-ansi-language:IT">Namun, belajar dari China, pemerintah SBY-Boediono juga harus berani melakukan kebijakan terobosan seperti reforma agraria yang sudah dijanjikan bahkan sejak pemerintahan KIB I, namun gagal diimplementasikan hingga saat ini. Demkian juga berani merancang kebijakan fiskal, perdagangan, moneter, dll yang pro terhadap pembangunan pertanian yang melibatkan kelompok masyarakat miskin secara aktif. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IT" style="mso-ansi-language:IT">Penciptaan lapangan yang masif di berbagai sektor ini sekaligus juga akan menyelesaikan masalah pengangguran di Indonesia. Meskipun pemerintah SBY-Boediono mengklaim telah berhasil menurunkan angka pengangguran hingga saat ini mencapai 7,1 persen, akan tetapi data BPS menunjukkan bahwa selama enam tahun pemerintahan SBY, 41 persen lapangan pekerjaan yang tercipta adalah sektor jasa kemasyaratan, seperti jasa reparasi, kebersikan, dll., bukan pada sektor industri pengolahan dan pertanian yang akan mendorong penciptaan nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Kegagalan pemerintah SBY-Boediono dalam menciptakan lapangan kerja produktif ini pula yang mengakibatkan jumlah pekerja tidak penuh terus meningkat dari 31,1 juta orang tahun 2008, menjadi 33,3 juta orang pada tahun 2010. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IT" style="mso-ansi-language:IT">Tidak ada cara untuk menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kecuali dengan menciptakan lapangan lapangan kerja. Jangan pernah mengklaim ekonomi berkinerja baik bila baru sekadar menurunkan angka kemiskinan dan angka pengangguran, bukan menyelesaikan pengangguran dan kemiskinan.</span></p> <p class="MsoNormal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span lang="IT" style="mso-ansi-language:IT">Oleh: Hendri Saparini, Ph.D; Pengamat Ekonomi, anggota Pendiri AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)<o:p></o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span lang="IT" style="mso-ansi-language:IT">Telah dimuat pada Harian “Kompas” edisi 10 januari 2011<o:p></o:p></span></i></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-29569258612259815192011-01-03T04:37:00.000-08:002011-01-03T04:50:29.004-08:00Ekonomi 2011 Sekadar Numpang Lewat?<p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Ini tulisan saya yang sduah dimuat di harian "Media Indonesia" edisi Senin, 3 Januari 2011. Judulnya seperti yang tersebut di atas. Selamat membaca, mudah-mudahan bermanfaat.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Sebentar lagi kita memasuki tahun 2011. Pemerintah optimis ekonomi tahun depan akan lebih baik. Tentu saja ukuran yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mencapai 6,4%, melanjutkan pencapaian tahun 2010. Apalagi, menurut Presiden SBY dalam pidatonya di Jawa Timur, pertumbuhan ekonomi Indonesia menduduki peringkat ketiga di G-20 setelah China dan India.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Bila menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi, klaim tersebut tidak salah. Pertumbuhan ekonomi 2010 yang hingga kuartal ketiga mencapai 5,9%, memang lebih tinggi dari target tahun ini yang sebesar 5,8%. Apalagi indikator keuangan tahun 2010 telah mencetak rekor baru karena Bursa Efek Indonesia mencatat kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertinggi di dunia dari 2,575 pada awal tahun, menembus 3.600 pada Desember tahun ini.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Indikator keuangan lainnya, seperti cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah juga menunjukkan peningkatan luar biasa dari hanya sekitar 51 miliar dollar AS menjadi lebih dari 90 miliar dollar AS pada akhir tahun 2010. Gelombang<em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">hot money</em> telah menggelembungkan cadangan devisa dan mendorong penguatan nilai tukar rupiah sebesar 19 %, tertinggi diantara negara-negara Asia. </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; "><br /></strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">Prestasi tanpa makna</strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Namun, seberapa besar manfaat dari kinerja keuangan yang <em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">kinclong</em> bagi ekonomi Indonesia? Di negara manapun ukuran keberhasilan ekonomi bukan pencapaian sektor keuangan. Buktinya, sejak awal tahun, hampir semua negara sibuk memainkan kebijakan di sektor keuangan yang tujuan utamanya untuk menggerakkan sektor riil, seperti misalnya melemahkan nilai tukarnya. Baik negara-negara maju dan berkembang juga terus berupaya menurunkan suku bunganya hingga mendekati nol agar dapat mendorong sektor riil dan mengurangi pengangguran.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">China misalnya, terus berusaha melakukan manuver untuk menghindar dari tekanan AS dan negara-negara Eropa yang berkeinginan agar Bank Sentral China mempercepat apreasiasi nilai tukar yuan karena kebijakan fleksibel yang dijalankan sejak pertengahan tahun dinilai belum maksimal. Tentu tidak akan gampang bagi China dan juga negara berkembang lain untuk menuruti tuntutan tersebut karena strategi nilai tukar lemah merupakan benteng pertahanan bagi industri pengolahan. Apreasiasi yuan terhadap dollar AS tentu akan mengerek harga dan menekan daya saing produk ekspor China. Sementara bagi China, industri pengolahan sangat strategis karena menjadi andalan dalam menciptakan lapangan kerja. Menurunnya daya saing industri akan membahayakan stabilitas sosial politik negara dengan penduduk lebih dari 1,3 miliar.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Sangat mengherankan bila selama tahun 2010 Indonesia justru mengambil arah kebijakan yang berbeda dengan tren kebijakan negara-negara di dunia. Rupiah yang menguat justru dinilai sebagai kekuatan. Melambungnya IHSG juga dianggap prestasi, padahal telah ada ancaman terjadi <em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">financial bubbles</em>. Tren kebijakan sektor keuangan tidak terintegrasi dengan strategi dan kebijakan di sektor riil. Sehingga tidak ada dasar yang jelas mengapa nilai tukar harus kuat atau harus dilemahkan. </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Bagaimana kebijakan sektor keuangan tahun 2011? Dipastikan kebijakan keuangan tahun 2010 akan berlanjut dan tidak akan ada perubahan mendasar. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak akan melakukan kontrol terhadap terus berlanjutnya banjir dana dari pasar uang global yang mencari tempat investasi paling menguntungkan. Dengan kebijakan keuangan yang longgar, bahkan cenderung membiarkan dan bahkan mendorong masuknya <em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">hot money</em>, Indonesia akan tetap menjadi surga bagi investasi portfolio dunia.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Intervensi dari negara-negara maju maupun lembaga multilateral agar Indonesia tetap mempertahankan kebijakan sektor keuangan yang sangat longgar, tentu akan terus terjadi lewat berbagai cara karena Indonesia menjadi semakin penting. Alasannya karena sejak awal 2010 banyak negara telah menerapkan berbagai kebijakan kontrol terhadap masuknya dana-dana jangka pendek. Di Thailand misalnya, pemerintah telah memberlakukan <em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">withholding tax</em> baik untuk bunga maupun <em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">capital gain</em> yang diterima asing. Di Brasil yang telah menaikkan pajak bagi investor asing yang membeli obligasi domestik. Sedangkan di Korea Selatan, pemerintahnya bahkan telah melakukan pelarangan untuk menarik pinjaman dengan mata uang asing dan menurunkan porsi utang luar negeri.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Konsekuensi dari kebijakan untuk mempertahankan suku bunga dan imbal hasil obligasi yang tinggi adalah kepemilikan asing di SUN, SBI dan saham akan terus meningkat seperti tren saat ini. Bila tahun 2008 total dana asing hanya sebesar Rp 548 triliun, menjadi Rp 1374 triliun tahun ini, pada tahun 2011 dipastikan akan jauh jauh lebih besar. Padahal, selain ancaman terjadi pembalikan modal, ongkos yang harus dibayar oleh ekonomi akibat besarnya kepemilikan asing sangat mahal. Modal Bank Indonesia akan terus tergerus, biaya modal swasta akan semakin mahal akibat tingginya suku bunga kredit maupun imbal hasil dari obligasi yang diterbitkan.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; "><br /></strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><strong style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">Tuntutan perubahan</strong></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Dituntut adanya perubahan arah kebijakan ekonomi yang cukup fundamental dari kabinet Presiden SBY. Keberanian untuk melakukan kontrol terhadap potensi membanjirnya modal jangka pendek di tahun 2011 menjadi strategi yang penting. Sebagaimana telah dilakukan oleh banyak negara, Indonesia harus segera menerapkan kontrol dana-dana asing jangka pendek baik lewat pajak, pembatasan pinjaman luar negeri, instrumen yang akan mengalihkan investasi jangka pendek ke jangka panjang, dll.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Perubahan kebijakan di sektor juga menjadi tuntutan karena ongkos mahal dari kebijakan keuangan saat ini juga harus dibayar oleh ekonomi dengan rendahnya kinerja sektor riil. Tanpa perubahan kebijakan di sektor keuangan, maka kinerja sektor riil tahun 2011 tidak akan ada perbaikan signifikan dibanding tahun 2010. Padahal, sebagaimana enam tahun terakhir, tahun 2010 pertumbuhan tiga sektor utama ekonomi yakni pertanian, pertambangan dan pengolahan, yang menjadi lapangan usaha utama penduduk dan menyerap 52% lapangan kerja hanya<em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; "> </em>tumbuh 3,5 %, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Kinerja sektor riil yang lambat, berdampak pada tidakmampuan dalam menyediakan lapangan kerja yang cukup sehingga menghambat penyelesaian masalah pengangguran yang cukup serius. Memang angka pengangguran terbuka tahun 2010 menurun. Tetapi jumlah orang setengah menganggur masih sebanyak 32,8 juta. Sementara data BPS menunjukkan bahwa selama enam tahun Kabinet Indonesia Bersatu, dari 12,2 juta lapangan kerja yang tercipta, 41 % diantaranya adalah usaha jasa kemasyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi politik, jasa reparasi, kebersihan, binatu, dll), bukan pada sektor-sektor yang akan mendorong produktivitas dan nilai tambah tinggi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Buruknya realisasi APBN 2010 juga telah menjadi salah satu penyumbang penting terhambatnya kemampuan penyediaan lapangan kerja. Untuk belanja, total realisasi belanja modal hingga bulan November baru sebesar 38%, terendah selama 6 tahun pemerintahan SBY. Realisasi yang lamban dari pengeluaran pemerintah inilah yang menyebabkan absennya stimulus ekonomi dan lambannya penciptaan lapangan kerja. Hal yang sama juga terjadi pada sisi penerimaan yang hingga November 2010 baru mencapai 77,7%, lebih rendah dari kinerja pada periode yang sama tahun lalu.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Rendahnya kinerja dalam penciptaan lapangan kerja tentu akan semakin menyulitkan upaya pengentasan kemiskinan. Memang angka kemiskinan telah turun menjadi 13,3% tahun ini dan target 11,5-12% tahun 2011 sangat mungkin tercapai. Tetapi berkurangnya jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan yang hanya sekitar 1,5 juta orang, tidak sebanding dengan peningkatan anggaran pengentasan kemiskinan yang sangat besar dari hanya Rp 66 triliun (2009) menjadi Rp 94 triliun (2010).</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Belum lagi jumlah penduduk yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sangat banyak. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa 42% penduduk Indonesia, sekitar 100 juta orang, tergolong <em style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; ">near poor</em>. Kelompok ini memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dan sangat rentan terhadap kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar terutama makanan. </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga bahan makanan dan makanan pada tahun 2010 seharusnya menjadi alasan penting untuk berani melakukan perubahan. Beban masyarakat selama 2010 semakin berat karena harga sembako mengalami kenaikan harga sejak awal tahun. Tidak hanya beras yang melejit dari sekitar Rp 5000 menjadi lebih dari Rp 7000 per kilogram di akhir tahun, tetapi inflasi juga terjadi pada gula, terigu, telur, dll. Kondisi ini menekan daya beli tidak hanya masyarakat miskin tetapi juga kelas menengah bawah.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Tahun 2011 Indonesia akan menghadapi krisis pangan dan energi dunia. Perubahan iklim akan menurunkan pasok pangan teruama beras di pasar dunia. Liberalisasi pangan dan minimnya peran pemerintah sejak krisis terbukti mengakibatkan harga pangan semakin sulit dijangkau masyarakat. Tidak ada pilihan bagi pemerintah SBY kecuali berani melakukan koreksi kebijakan pangan. Strategi stabilisasi harga pangan dengan peran pemerintah yang lebih besar menjadi keharusan bila Presiden SBY tidak ingin ekonomi dan stabilitas sosial politik tahun 2011 terancam.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Oleh karenanya terobosan yang dilakukan untuk mendorong kinerja APBN tidak sekadar mendorong angka realisasi lebih cepat dan tinggi. Namun perlu perubahan dalam politik anggaran sehingga APBN tidak sekadar kumpulan alokasi dana untuk menstimulus laju ekonomi, tetapi juga sebagai alat politik untuk menjaga tingkat kesejahteraan masyarakat dengan melakukan perubahan prioritas.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Sebagai contoh, harus ada ketegasan Presiden SBY untuk mengubah kebijakan stok beras Bulog saat ini dan mengalokasikan dana lebih besar pada APBN untuk menyerap produksi beras dalam negeri. Juga tegas untuk membatalkan rencana pengurangan subsidi BBM di tahun 2011. Selain persiapan kebijakan masih sangat prematur, penghematan anggaran yang diperoleh tidak sebanding dengan ongkos yang akan ditanggung ekonomi lewat dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan daya saing ekonomi.</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "><br /></p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Mari kita tunggu apakah Presiden SBY akan menjadikan kinerja ekonomi 2011 sekadar numpang lewat sebagaimana selama ini atau menjadi momentum perubahan untuk mewujudkan kinerja ekonomi yang berkualitas. ***</p><p style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 11px; line-height: 16px; margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; "> </p><div><br /></div>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-52439369799501004412010-12-22T20:42:00.000-08:002010-12-22T20:43:42.791-08:00Ekonomi 2010: Bagus, Biasa atau Buruk?Tahun 2010 akan segera berakhir. Bagaimana kinerja ekonomi tahun ini? Tidak terlalu salah bila sebagian kalangan menilai kinerja ekonomi 2010 bagus. Faktanya pertumbuhan ekonomi hingga kuartal ketiga telah mencapai 5,9 persen. Diperkirakan hingga akhir tahun ekonomi akan tumbuh di atas 6 persen, lebih tinggi dari target yang hanya 5,8 persen.<br /><br />Bagi yang menganggap pencapaian indikator finansial sebagai tolok ukur, bahkan akan menganggap kinerja ekonomi luar biasa. Bagaimana tidak, Bursa Efek Indonesia tahun 2010 tercatat sebagai bursa dengan pencapaian terbaik di dunia versi majalah Times. Terjadi lonjakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari 2,575 pada awal tahun menjadi 3.651 pada Desember tahun ini.<br /><br />Sedangkan bagi yang meyakini peningkatan cadangan devisa dan penguatan nilai tukar rupiah sebagai ukuran, ekonomi Indonesia tentu akan dinilai berprestasi besar. Tahun 2010, cadangan devisa meningkat dari hanya 51 miliar dollar AS di awal tahun menjadi lebih dari 90 miliar dolar AS pada akhir tahun. Gelombang hot money telah mengakibatkan lonjakan cadangan devisa dan juga mendorong menguatnya nilai tukar rupiah sebesar 19 persen, tertinggi diantara negara-negara Asia. <br /><br />Namun, bila penilaian dilakukan lebih berhati-hati dan menyadari bahwa ukuran-ukuran di atas bukanlah indikator sesungguhnya atas kinerja ekonomi, mungkin berbeda. Bila penilaian tetap memprioritaskan pada kinerja sektor riil, terutama sektor yang menyerap tenaga kerja besar, maka kinerja ekonomi tahun 2010 hanya biasa-biasa saja.<br /><br />Sebagaimana lima tahun sebelumnya, pada tahun 2010 pertumbuhan tiga sektor utama yakni pertanian, pertambangan dan pengolahan, yang menjadi lapangan usaha utama penduduk dan menyerap 52% lapangan kerja, hanya tumbuh 3,5 persen, lebih tinggi dari tahun lalu tetapi tetap jauh di bawah pertumbuhan ekonomi. Sektor pengolahan yang tumbuh 4 persen pun, sumbangan terbesarnya dari industri otomotif. Industri andalan lain seperti tekstil tumbuh mendekati nol, sedangkan kayu, baja, masih tumbuh negatif.<br /><br />Kinerja sektor riil yang lambat sehingga tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup, tentu akan semakin menghambat penyelesaian masalah pengangguran yang cukup serius. Jumlah orang setengah menganggur sebanyak 32,8 juta. Sementara data menunjukkan selama enam tahun kepemimpinan SBY, dari 12,2 juta lapangan kerja yang tercipta, 41 persen diantaranya adalah usaha jasa kemasyarakatan (termasuk di dalamnya organisasi politik, jasa reparasi, kebersihan, binatu, dll).<br /><br />Kinerja sektor industri yang relatif lambat tentu juga akan semakin menyulitkan upaya pengentasan kemiskinan. Memang angka kemiskinan turun dari 14,2 persen tahun lalu menjadi 13,3 persen tahun ini. Tetapi berkurangnya jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 1,5 juta orang, tidak sebanding dengan anggaran pengentasan kemiskinan yang membengkak dari Rp 66 triliun (2009) menjadi Rp 94 triliun (2010).<br /><br />Fakta diatas menunjukkan salah satu dari sekian kelemahan dalam manajemen fiskal pemerintah termasuk kinerja di sisi penerimaan maupun belanja negara. Hingga November 2010, penerimaan pajak mencapai 77,7 persen lebih rendah dari realisasi penerimaan pada periode yang sama tahun lalu. Kinerja yang lebih buruk tercatat pada kinerja belanja dimana total belanja modal hingga bulan November sebesar 38 persen. Realisasi yang lamban dari pengeluaran pemerintah inilah yang menyebabkan absennya stimulus ekonomi dan lambannya penciptaan lapangan kerja.<br /><br />Ternyata kinerja ekonomi 2010 sulit untuk dikatakan bagus. Bahkan tidak tepat untuk dinilai biasa-biasa saja karena ternyata sangat banyak sisi yang menunjukkan kinerja buruk.<br /><br /><br /><span style="font-style: italic;">Dimuat pada Harian 'Suara Karya' Edisi 21 Desember 2010</span><br /><br /><br /><br />Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-49957230561648056572010-12-20T21:13:00.000-08:002010-12-20T21:14:55.586-08:00Absennya Strategi dalam Kerjasama Ekonomi<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV">Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat agresif dalam melakukan kerjasama ekonomi. Bahkan, cenderung semakin fokus pada kerjasama ekonomi yang bersifat ‘kerjasama selimut’ baik lewat FTA maupun EPA. Kedua model kerjasama ekonomi ini mencakup isu ekonomi yang sangat luas. Tidak hanya masalah perdagangan bebas tetapi juga meliputi masalah penting seperti investasi dan kebijakan ekonomi lainnya. Padahal, isu investasi dan kebijakan ekonomi selama ini sulit untuk masuk dalam kerangka WTO. Sayangnya, semakin berani Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi, semakin banyak pujian yang diterima oleh Indonesia. Padahal kerjasama tersebut ternyata dibuat Indonesia tanpa pertimbangan dan persiapan matang. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV">Sebagaimana diketahui bahwa dalam FTA dan EPA, yang umumnya dilakukan antara negara maju dan berkembang, posisi tawar negara berkembang hampir selalu lebih lemah karena dalam EPA hampir tidak mempertimbangkan isu perbedaan masalah struktural dan tingkat kemajuan ekonomi. Karena itu, negara berkembang harus sangat cermat dan hati-hati sebelum membuat kesepakatan. Agresifitas Indonesia dalam kerjasama EPA yang tidak didahului dengan kesiapan strategi dan kebijakan industri yang jelas, sangat mengkhawatirkan. Tidak ada satu negara industri maju pun yang memulai liberalisasi ekonomi tanpa diawali dengan penyiapan strategi dan kebijakan industri<i style=""> </i>karena strategi industri inilah yang akan menjadi penentu keberhasilan suatu negara dalam menarik manfaat dari setiap kerjasama ekonomi yang dibuat. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV">Memang dalam setiap kerjasama ekonomi, seperti juga IJEPA, akan memberikan potensi manfaat dan biaya bagi Indonesia dan Jepang. Namun, manfaat riil hanya bisa diperoleh bila kerjasama ekonomi didasarkan pada rencana strategi yang matang dan jelas. Bila tidak, manfaat yang diterima Indonesia menjadi akan sangat minimal dibanding dengan keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh negara mitra. Bahkan sangat mungkin Indonesia hanya menanggung biayanya tanpa menikmati manfaatnya.</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV">Cetak biru pembangunan industrilah yang pada akhirnya akan menjadi kunci keberhasilan dalam melakukan kerjasama ekonomi. Strategi ekonomi yang mencakup </span><span style="" lang="SV">informasi rencana dan strategi bersama antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha akan menjadi strategi <i style="">preventif </i>dan mitigasi untuk mendukung sektor usaha yang berpotensi mendapatkan manfaat besar <i style="">(optimizing the benefit)</i> dan menyelamatkan sektor usaha yang berpotensi menghadapi dampak negatif besar <i style="">(minimizing the cost)</i>.</span><span style="" lang="SV"> Kesepakatan kerjasama ekonomi yang tidak didasarkan pada arah dan strategi pembangunan ekonomi pada akhirnya hanya akan menjadikan langkah liberalisasi ekonomi hanya untuk liberalisasi itu sendiri, bukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. </span></p> <p class="ListParagraphCxSpFirst" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV">Indonesia telah menjalani kerjasama ekonomi yang panjang selama lebih dari tiga puluh tahun. Meskipun penting, namun arti Indonesia bagi Jepang telah mengalami pergeseran. Di sisi perdagangan, selain tetap menjadi pasar yang sangat besar bagi Jepang, Indonesia juga masih menjadi negara mitra penting sebagai pemasok utama energi, bahan baku dan bahan mentah bagi industri di Jepang. Namun, dari sisi investasi arti penting Indonesia bagi Jepang telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Saat ini posisi </span><span style="" lang="SV">Indonesia telah berada pada urutan bawah setelah digantikan oleh Thailand, India, Korea, Singapura dan Hongkong.</span><span style="" lang="SV"> </span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV"> Kerjasama Indonesia Jepang dalam EPA, semestinya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kerjasama Indonesia. Namun, evalusi terhadap IJEPA yang telah berjalan hampir tiga tahun, ternyata kerjasama tersebut telah memberikan manfaat riil bagi Jepang tetapi tidak memberikan manfaat yang sepadan bagi Indonesia. Bahkan berbagai kesepakatan, seperti kesepakatan investasi dan perdagangan berbagai SDA energi, telah menempatkan Indonesia pada posisi sulit dan sangat berpotensi untuk dirugikan.<span style=""> </span><span style=""> </span></span></p> <p class="ListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV"> Bila tidak dilakukan koreksi pada kebijakan EPA, ekonomi Indonesia justru akan mengalami kemunduran<i style="">. </i>Dengan menurunnya daya saing produk manufaktur, maka produk ekspor Indonesia yang memiliki daya saing tinggi akhirnya hanya tinggal sumber daya alam mentah. Bila Indonesia tidak mau melakukan moratorium atau menghentikan sejenak penandatanganan kerjasama ekonomi baru dengan negara-negara maju, dan tidak mau segera membuat strategi dan kebijakan industri, maka Indonesia harus bersiap-siap untuk sekadar menjadi negara penyedia kebutuhan energi, bahan mentah dan bahan baku bagi Jepang dan juga negara-negara mitra lainnya dalam berbagai kerjasama EPA.</span></p> <p class="ListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 0in; text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="" lang="SV"> Pilihan untuk sekadar mengekspor bahan baku akan mengakibatkan Indonesia tidak memiliki peluang yang luas untuk menciptakan nilai tambah. Dengan mengekspor bahan baku dan bahan mentah, maka industri manufaktur Indonesia tidak akan dapat berkembang. Sebagai konsekuensinya, Indonesia bukan hanya tidak mampu menciptakan nilai tambah tinggi, tetapi juga tidak mampu untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat pendapatan yang semakin besar. Tambahan lagi, pada saat Indonesia mengekspor bahan bahan baku dan mentah, maka Indonesia juga sedang mengekspor peluang untuk menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah. </span><span style="" lang="SV">Hal ini sangat berbeda dengan China yang mampu menangkap aliran investasi dari Jepang, juga berhasil memanfaatkan investasi tersebut sebagai modal untuk membangun industri pengolahannya. Dengan strategi ini berbagai kekayaan bahan mentah yang dimiliki dapat diolah dan memberikan nilai tambah yang besar dan kesempatan kerja yang luas bagi China. Juga mampu mewujudkan diri sebagai <i style="">hub</i> bagi industri manufaktur dunia. Liberalisasi dan kerjasama ekonomi yang dipersiapkan dengan matang, telah memberi manfaat tidak hanya bagi negara maju tetapi juga negara berkembang yang menjadi mitranya.</span></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-8195086424016695802010-12-14T23:58:00.000-08:002010-12-15T00:06:29.135-08:00Belajar Privatisasi Ke Negeri China<p class="yiv891609404msonormal" align="center" style="text-align: left;">Beberapa edisi lalu, penulis telah mengulas karut-marut penawaran perdana saham PT Krakatau Steel. Dengan berbagai permasalahan pada IPO PT Krakatau Steel, seharusnya pemerintah meninjau ulang kebijakan privatisasi BUMN tersebut. Namun, sebaliknya justru tidak menyurutkan niat pemerintah untuk segera memprivatisasi BUMN strategis lainnya, seperti Garuda Indonesia dan melanjutkan penjualan saham Bank BRI, Bank Mandiri, dll.</p> <p class="yiv891609404msonormal">Telah sering penulis sampaikan bahwa semestinya Indonesia dapat belajar dari strategi privatisasi BUMN yang dilakukan China. Privatisasi BUMN sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana dan strategi pembangunan ekonomi. Faktor inilah yang menjadikan peran BUMN dalam pembangunan ekonomi China sangat besar. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Bersyukur, minggu lalu penulis menghadiri acara dialog untuk berbagi pengalaman tentang pengelolaan BUMN di Indonesia dan China. Meskipun singkat, paparan Profesor Xiao Geng dari Universitas Columbia Amerika Serikat, semakin meyakinan penulis bahwa privatisasi BUMN yang dilakukan di China merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi pembangunan ekonomi nasionalnya. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Memang ada kesamaan antara BUMN Indonesia dan China seperti disampaikan Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam pembukaan dialog. Seperti di China, BUMN di Indonesia sebelum dilakukan privatisasi jumlahnya realtif banyak. Namun, ada perbedaan strategi yang sangat mendasar antara privatisasi di China dan di Indonesia. Tulisan berikut ini akan megulas secara ringkas tentang dua perbedaan yang paling penting dari privatisasi di kedua negara tersebut. </p> <p class="yiv891609404msonormal"><b>Berdasarkan Strategi Industri</b></p> <p class="yiv891609404msonormal">Satu hal penting yang dapat dipelajari dari privatisasi BUMN di China adalah keberadaan strategi dan kebijakan industri (<i>industrial policy and strategy</i>) yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan privatisasi. Berdasaran strategi dan kebijakan industri tersebut China memetakan proses privatisasi BUMN dan peran BUMN dalam pengembangan industri. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Untuk membangun industri domestiknya, China memilih untuk mengolah bahan mentah dan tidak mengekspor komoditas primernya seperti batubara dan timah. Dengan adanya kebijakan tersebut, batubara China tidak diekspor, tetapi diutamakan untuk digunakan sebagai sumber pembangkit energi listrik di negara tersebut. Bahkan China secara agresif mengimpor batubara dari negara-negara, demikian pula dengan komoditas bahan mentah lainnya. Komoditas timah misalnya ditetapkan untuk diolah di dalam negeri untuk mendukung industri elektronika dan industri lainnya. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Jadi, meskipun BUMN yang mengelola batu bara telah diprivatisasi, kebutuhan batubara dalam negeri tetap terpenuhi karena pemerintah telah menentukan prioritas batubara untuk keperluan domestik. Kondisi ini jauh berbeda dengan Indonesia dimana batubara justru diprioritaskan menjadi salah satu primadona ekspor.<span style="mso-spacerun:yes"> </span></p> <p class="yiv891609404msonormal"><o:p> </o:p></p> <p class="yiv891609404msonormal">Untuk dapat melaksanakan cetak biru kebijakan dan strategi industrinya tersebut pemerintah China telah menentukan arah pengelolaan dan peran BUMN dalam pembangunan industrinya.<span style="mso-spacerun:yes"> </span>China memilih peran pemerintah yang tetap dominan di semua BUMN strategisnya. Pemerintah bahkan tetap memiliki hak istimewa sehingga berhak menentukan arah kebijakan BUMN yang belum maupun telah diprivatisasi, sekecil apapun jumlah saham yang dimiliki.</p> <p class="yiv891609404msonormal">Dengan adanya <i style="mso-bidi-font-style: normal">blue print</i> industri yang jelas, privatisasi BUMN di China hanya merupakan salah satu strategi pembiayaan BUMN, selain pembiayaan lewat kredit atau dengan menjual obligasi. Sementara arah dan strategi BUMN tetap patuh pada strategi industri nasionalnya. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia. Privatisasi BUMN tidak dikaitkan dengan strategi pembangunan industri ekonomi sehingga tidak heran meskipun pemerintah menetapkan pembangunan infrastruktur dan transportasi dijadikan prioritas untuk mendukung daya saing ekonomi, tetapi BUMN yang mengelola baja, mengelola pelabuhan, memproduksi moda transportasi seperti PT KAI dan PT Dok Kapal, justru diprivatisasi. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Dari pengalaman China, benarlah keyakinan penulis bahwa kebijakan privatisasi BUMN seharusnya menjadi bagian dari strategi pembangunan yang terintegrasi. Dalam kesempatan dialog, Prof Xiao mengatakan bahwa privatisasi BUMN merupakan bagian tidak terpisahkan dari NDP <i>(National Development Planning)</i> atau rencana pembangunan nasional China.<b><o:p></o:p></b></p> <p class="yiv891609404msonormal"><b>Bukan Sektor Strategis</b></p> <p class="yiv891609404msonormal">Dengan demikian, pertimbangan untuk memprivatisasi atau mempertahankan status suatu BUMN, didasarkan pada strategi pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Sebelum melakukan privatisasi, pemerintah China telah melakukan kategorisasi terhadap ribuan BUMN yang ada ke dalam kelompok BUMN strategis dan non strategis berdasarkan strategi pembangunan ekonomi yang akan dilakukan. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Belajar dari China, privatisasi dilakukan dengan memprioritaskan pada BUMN yang merugi dan tidak strategis. Namun, untuk BUMN yang memiliki tugas menyediakan pelayanan kepada masyarakat, tetapi mengalami kerugian, maka harus terus diberikan subsidi hingga mampu berdiri sendiri dan kompetitif. Prof Xiao mencontohkan BUMN transportasi di China yang meskipun saat itu masih merugi, tetap terus diberikan subsidi karena penyediaan transportasi publik yang murah dan baik telah menjadi strategi penting dalam pembangunan. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Strategi lainnya adalah dengan mempertahankan penguasaan negara terhadap BUMN strategis. Peranan BUMN di berbagai sektor strategis inilah yang berhasil mendorong pesatnya pembangunan ekonomi China . Monopoli pemerintah atas BUMN di sektor-sektor strategis seperti energi, telekomunikasi dan infrastruktur telah memungkinkan pemerintah China untuk melakukan sentralisasi serta koordinasi yang kuat dalam pembangunan sektor-sektor strategis tersebut. Dengan penguasaan terhadap BUMN strategis, pemerintah berhasil menyediakan jaringan infrastruktur yang kuat sebagai salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi. Seharusnya, upaya mendapatkan dana segar dengan privatisasi BUMN strategis dan menguntungkan adalah upaya terakhir setelah peluang lainnya tertutup.</p> <p class="yiv891609404msonormal">Dengan dikuasainya BUMN strategis oleh pemerintah dan dengan adanya strategi dan kebijakan industri yang jelas, dalam waktu dua puluh tahun terakhir China berhasil membangun infrastruktur nasionalnya dengan percepatan yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah sektor transportasi yang menjadi salah satu pendukung kuatnya daya saing industri China, mampu membangun jalur kereta api dengan tingkat pertumbuhan 28%, dari 59.700 km tahun 1995 menjadi 77.100 km tahun 2006. Berbanding terbalik dengan pengalaman Indonesia yang mengalami penyusutan panjang rel kereta api jika dibanding dengan jaman kolonial Belanda. Selain itu, jalan bebas hambatan juga mengalami pertumbuhan 200%, meningkat menjadi 3,46 juta km pada periode yang sama. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Penguasaan BUMN strategis oleh pemerintah juga memudahkan pemerintah untuk mengontrol harga produk dan jasa yang dihasilkan dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam kesempatan dialog sempat disinggung bahwa karena BUMN masih menguasai dan mengontrol sektor-sektor strategis, maka di China harga energi, air, sumber daya alam lain dapat dipertahankan pada tingkat yang rendah. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Kondisi ini tentu tidak hanya menguntungkan rakyat biasa, tetapi juga perusahaan-perusahaan swasta yang bisa berkontribusi besar dalam menciptakan lompatan pembangunan ekonomi di China karena adanya peta jalan strategi dan kebijakan industri. Hal ini berbeda dengan Indonesia dimana pengelolaan dan penyediaan infrastruktur dasar cenderung diserahkan kepada swasta seperti pengelolaan air bersih dan jalan tol, sehingga mengakibatkan harga cenderung tidak dapat dikontrol oleh pemerintah.</p> <p class="yiv891609404msonormal">Banyak hal yang bisa dipelajari dari lompatan pertumbuhan ekonomi China, tanpa lupa melihat sisi negatif agar dapat kita hindari. Mungkin kita bisa mengutip ungkapan “tuntutlah ilmu sampai ke negeri China” yang tidak asing bagi sebagian besar umat Islam, terlepas dari perdebatan apakah hadits tersebut shahih atau tidak. Namun faktanya banyak yang bisa kita pelajari dari China dalam mengelola ekonominya agar tidak menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan asing (subordinasi) dan tetap menomorsatukan kepentingan nasional. </p> <p class="yiv891609404msonormal">Bagi para pemimpin muslim, pengalaman China hanya salah satu pelajaran. Semestinya, pengelolaan ekonomi sesuai aturan Islam sebagaimana pernah dicontohkan pada masa pemerintahan Rasullah SWT dan para sahabat adalah <i style="mso-bidi-font-style:normal">ibrah</i> yang sesungguhnya, yakni pengelolaan ekonomi yang didasarkan pada ketaqwaan untuk mewujudkan keadilan di dunia maupun di akhirat.<span style="mso-spacerun:yes"> *** </span></p><p class="yiv891609404msonormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Trebuchet, 'Trebuchet MS', Arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 18px; "></span></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 18px; margin-top: 5px; margin-bottom: 1em; "><b><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial; color: black; ">Hendri Saparini</span></b></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 18px; margin-top: 5px; margin-bottom: 1em; "><b><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial; color: black; "></span></b><i><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial; color: black; ">Ekonom dan pendukung citizen lawsuit penjualan saham PT KS</span></i></p><p class="MsoNormal" style="line-height: 18px; margin-top: 5px; margin-bottom: 1em; "><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Dimuat di Tabloid "Suara Islam" edisi Desember 2010</span></p><p></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-24329663092228688432010-11-24T20:52:00.001-08:002010-12-14T23:57:58.620-08:00Kepentingan Siapa di Balik IPO Krakatau Steel<p class="MsoNormal"><span class="apple-style-span"><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black">Penawaran Perdana (<i>initial public offering/IPO</i>) saham PT Krakatau Steel telah dilakukan, masih banyak pertanyaan yang belum dijawab atau mungkin tidak akan pernah dijawab? Waktulah yang akan membuktikan. Yang lebih penting lagi adalah pelajaran yang bisa dipetik dari berbagai kasus privatisasi BUMN, bahwa kepentingan nasional harus diperhatikan dan menjadi prioritas utama, sehingga kasus-kasus seperti Indosat, KS, dll, yang merugikan kepentingan nasional tidak terulang kembali.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Di bawah ini tulisan saya setelah <st1:place st="on"><st1:city st="on">IPO</st1:city> <st1:state st="on">KS</st1:state></st1:place> dilakukan. Mudah-mudahan bermanfaat untuk menjadi bahan diskusi dan perenungan bagi kita semua.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 13px;"><br /></span></span></p> <h2 style="margin:0in;margin-bottom:.0001pt"><span style="font-family: Arial; color: rgb(28, 42, 71); "><span class="Apple-style-span" style="font-size: large;">Akhir Sejarah BUMN Strategis?</span><span class="Apple-style-span"><span class="Apple-style-span" style="font-size: 10pt;"><o:p></o:p></span></span></span></h2> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">PT Krakatau Steel (<st1:city st="on">PT</st1:city> <st1:state st="on">KS</st1:state>) akhirnya <i>listed</i> di Bursa Efek <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> (BEI) pada tanggal 10 November 2010. Pelaksanaan <i>Initial Public Offering</i> (IPO) tersebut menyisakan banyak tanda tanya. Kecurigaan terhadap adanya <i>insider trading</i>misalnya, belum diinvestigasi dengan maksimal. Demikian juga masalah penetapan harga saham <st1:place st="on"><st1:city st="on">PT</st1:city> <st1:state st="on">KS</st1:state></st1:place> pada batas bawah penawaran sebesar Rp 850, juga belum diselidiki secara bersungguh-sungguh. Terbukti, di hari pertama terjadi kenaikan harga saham PT KS mendekati 50 persen, bahkan pada hari kedua masih naik lagi hingga Rp 1.340 pada harga penutupan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Tidak hanya itu, IPO PT Krakatau Steel juga menciptakan kekecewaan publik yang sangat besar karena BUMN yang sangat strategis dengan mudahnya diprivatisasi tanpa didahului dengan langkah terobosan untuk menyelamatkan. Bahwa kinerja PT KS saat ini masih jauh dari potensinya memang benar, baik karena salah kelola yang bersifat internal, sehingga menimbulkan inefisiensi, KKN, dll., juga akibat absennya kebijakan pendukung yang memadai.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Keputusan pemerintah yang terlalu cepat melakukan privatisasi lewat IPO, telah menghilangkan peluang Indonesia untuk menjadikan PT KS sebagai BUMN yang dapat diandalkan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Padahal, dengan strategi yang <i>out of the box</i>, sebagaimana pernah dilakukan pada PT PLN atau Telkom, masalah keuangan dan manajemen yang jamak dihadapi BUMN dapat diselesaikan tanpa harus melakukan pengalihan kepemilikan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Tambahan lagi, sebelum melakukan IPO, PT KS telah melakukan kerjasama dengan pihak lain yang akan berpengaruh terhadap masa depan PT KS. Informasi yang hanya sepenggal ini mengakibatkan publik percaya bahwa IPO adalah pilihan terbaik karena hanya dengan melepas 20 persen saja, PT KS akan mendapatkan Rp 2,6 triliun. Oleh karenanya, pada saat proses dan persyaratan administrasi IPO telah dipenuhi, maka tidak ada hal yang perlu diperdebatkan dalam IPO PT KS. Padahal permasalahan tidak sesederhana itu.</span></p> <p class="MsoNormal"><b><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black">Potensi dilusi saham</span></b></p> <p class="MsoNormal"><span class="apple-style-span"><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black">Selama ini publik tidak mendapatkan informasi bahwa sebelum merencanakan IPO, sebenarnya PT KS telah melakukan kerjasama <i>(joint venture)</i> dengan <i>Pohang Iron & Steel Company (Posco)</i>, sebuah perusahaan besi dan baja asal Korea. Kerjasama dibuat lewat Memorandum of Agreement (MOA) pada bulan Desember 2009. Setelah pada tahun 2007 publik menolak rencana pemerintah untuk melakukan <i>strategic sale</i> dengan Mittal Steel Company NV, PT KS akhirnya melakukan kerjasama dengan Posco. Tetapi, publik pun bertanya-tanya tentang pemilihan Posco sebagai partner strategis tanpa proses <i>beauty contest</i>.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Joint Venture Posco-KS (JV Posco-KS) sangat penting untuk dibeberkan kepada publik karena sangat terkait dengan IPO PT KS dan menjadi bagian penting dari privatisasi yang dilakukan pemerintah terhadap PT KS. Publik harus mendapatkan informasi bahwa dalam kerjasama JV Posco-KS, kepemilikan PT KS akan menjadi minoritas sedangkan Posco pemegang saham mayoritas. Mengapa hal kepemilikan saham penting? Bukankah JV Posco-KS hanya anak perusahaan? <i>Toh</i> kepemilikan pemerintah di perusahaan induk tetap mayoritas?</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Kepemilikan saham sangat terkait dengan kemampuan menyediakan modal dalam pembiayaan proyek bersama. Dalam kerjasama JV Posco-KS, Posco akan memberikan manajemen, teknologi, machinery, dan modal kerja. Sedangkan PT KS menyetorkan asset berupa tanah dan <i>fresh money</i>. Dana IPO sebesar Rp 2,6 triliun tentu sebagian besar akan digunakan sebagai setoran modal PT KS pada JV Posco-KS.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Dengan meningkatnya kebutuhan dana ekspansi, PT KS tentu harus terus menambah jumlah asset/tanah yang disetorkan dan/atau menjual saham yang dimiliki untuk mempertahankan kepemiikan sahamnya. Saat ini jumlah tanah yang disetorkan sudah lebih dari 380 ha, meningkat tiga kali lipat dalam waktu kurang dari setahun sejak MOA. Saat <i>listing</i> PT KS, Menteri BUMN juga menyatakan BUMN tersebut akan segera menjual kembali sahamnya sebesar sepuluh persen dalam waktu dekat. </span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Dengan perkembangan ini, tidak ada yang dapat menjamin bahwa anak tidak akan lebih besar dari induknya dan secara perlahan akan terjadi dilusi saham PT KS pada JV Posco-KS. Kekhawatiran ini rasanya bukan omong kosong. Pada Desember 2009, kepemilikan saham PT KS pada JV Posco-KS dimungkinkan hingga 45 persen. Namun, pada bulan September 2010 dilaporkan kepemilikan PT KS hanya sebesar 30 persen dan Posco 70 persen!</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Pihak yang memiliki kepemilikan yang lebih besar tentu saja akan memiliki peluang untuk mengambil kebijakan dan menentukan jalannya perusahaan. Pengalaman menunjukkan bahwa di Blok Cepu, pihak Pertamina tidak mendapatkan posisi kunci dalam menentukan arah bisnis. Jadi jangan heran bila sejak awal Posco akan memilih posisi manajemen yang strategis dalam JV Posco-KS seperti direktur umum, keuangan dan <i>business development</i> termasuk posisi manajer-manajer strategis yang menentukan besarnya investasi, perusahaan kontraktor, pemasok, dll.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Mengapa hal ini semestinya penting sebagai pertimbangan? Posco adalah perusahaan milik pemerintah Korea Selatan. Meskipun porsi kepemilikannya minoritas tetapi memiliki <i>golden share</i> sehingga berhak menentukan kebijakan penting di Posco. Sehingga pemerintah Korea Selatan pasti akan melakukan berbagai kebijakan untuk kepentingan nasionalnya.</span></p> <p class="MsoNormal"><b><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black">Kesalahan fatal</span></b></p> <p class="MsoNormal"><span class="apple-style-span"><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black">Tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa langkah privatisasi PT KS lewat IPO adalah kesalahan fatal. Salah besar bila gugatan publik <i>(citizen lawsuit)</i> yang kami lakukan dinilai mengada-ada. Terlalu banyak alasan strategis yang dapat kami ajukan untuk menolak privatisasi PT KS. Apalagi Indonesia sangat memerlukan dukungan industri baja yang dapat diarahkan untuk mendukung pembangunan ekonomi.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Kuantitas dan kualitas infrastruktur yang terbatas sangat memerlukan pasokan baja. Belum berkembangnya industri permesinan nasional juga akan menjadi pasar besar yang membutuhkan dukungan BUMN baja. Industri baja juga akan menjadi bagian penting pembangunan industri strategis pertahanan keamanan. Penguasaan kepemilikan pemerintah terhadap PT KS sebagai satu-satunya BUMN baja tentu tentu sangat penting.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Mari kita semua merenung sejenak. Siapun yang dengan rekayasa keuangan yang canggih telah mengeruk keuntungan dari IPO PT KS, ataupun yang telah mendorong JV Posco-KS dengan kesepakatan yang tidak berpihak kepada kepentingan nasional, semoga segera bertobat. Bila mereka adalah anggota Dewan maka tobat dapat dilakukan dengan meminta BPK untuk melakukan investigasi secara <i>in-depth</i> terhadap BUMN PT KS sejak rencana <i>strategic sale</i>tahun 2007. Bila mereka adalah pejabat eksekutif, maka tobat mereka dapat ditunjukkan dengan meminta KPK dan Polri untuk melakukan penyelidikan, juga dengan melakukan koreksi kebijakan.</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Tapi bila ternyata pihak yang diuntungkan dari kebijakan IPO PT KS atau rencana privatisasi BUMN-BUMN strategis lain seperti Pertamina adalah mereka yang mendapatkan amanah rakyat untuk mengambil kebijakan publik, maka rakyat hanya bisa menangis karena mereka tahu bahwa praktek perampokan BUMN akan terus terjadi, tetapi tidak tahu cara membuktikan dan menghentikannya. *** </span></p> <p class="MsoNormal"><b><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black">Hendri Saparini</span></b></p><p class="MsoNormal"><b><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black"></span></b><i><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black">Ekonom dan pendukung citizen lawsuit penjualan saham PT KS</span></i></p> <p class="MsoNormal"><span class="Apple-style-span" style="font-family: Arial; font-size: 13px; ">Dimuat di Harian "Kompas" edisi 15 November 2010</span></p> <p class="MsoNormal"><span class="apple-style-span"><span style="font-size:10.0pt; font-family:Arial;color:black"><o:p> </o:p></span></span></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-5782026827881608232010-11-24T20:35:00.000-08:002010-11-24T20:49:34.779-08:00Beban Berat bagi SI Miskin<span class="Apple-style-span" >Tulisan ini sudah di terbitkan di harian Suara Karya beberapa waktu yang lalu, tetapi saya pikir masih relevan karena sampai saat ini beban saudara-saudara kita yang hidup di sekitar garis kemiskinan - apalagi yang di bawah - terasa semakin berat. Harga kebuthan pokok tidak juga beranjak turun, sementara kebutuhan niscaya semakin meningkat seiring pertumbuhan anak-anak yang makin besar, pendidikan yang semakin tinggi, dsb. Selamat membaca.</span><div><br /></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; color: rgb(51, 51, 51); "><h2 class="uiHeaderTitle" style="font-size: 16px; color: rgb(28, 42, 71); margin-top: 0px; margin-right: 0px; margin-bottom: 0px; margin-left: 0px; padding-top: 0px; padding-right: 0px; padding-bottom: 0px; padding-left: 0px; ">Beban si Miskin Terlalu Berat</h2><div style="font-size: 11px; "><br /></div><div><span class="Apple-style-span" style="line-height: 16px; "><span class="Apple-style-span" style="font-size: small;">Suara Karya (Kamis, 29 Juli 2010)<br />Kenaikan harga sembako makin membebani masyarakat. Apalagi, tahun ini kenaikan harga terjadi dalam rentang waktu yang lebih panjang. Selama beberapa bulan terakhir, kenaikan harga terjadi akibat terganggunya pasokan, baik produksi maupun transportasi. Sementara dua bulan ke depan akan lebih didorong oleh peningkatan permintaan musiman memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran.<br /><br />Bagi kelompok berpenghasilan rendah, beban kenaikan harga sembako bukan basi-basi. Karena itu, berita bahwa sebagian masyarakat miskin sudah mulai mengonsumsi nasi aking tidak mengagetkan. Mengapa?<br /><br />Dampak kenaikan harga memang akan berbeda bagi setiap keluarga, bergantung pada porsi barang-barang dalam daftar belanjanya yang mengalami kenaikan harga. Dampak besar kenaikan harga sembako akan sangat dirasakan oleh kelompok masyarakat bawah karena lebih dari separuh belanjanya untuk makanan.<br /><br />Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Dari jumlah ini, 73 persen pengeluaran orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut digunakan untuk membeli makanan. Jadi, tidak mengherankan apabila kenaikan harga sembako akan lebih dirasakan oleh orang yang lebih miskin. Masalahnya, makin miskin seseorang, makin besar pula porsi sembako dalam keranjang belanjanya.<br /><br />Kegagalan dalam mengendalikan harga makanan akan makin memberatkan karena jumlah orang yang rawan terhadap kenaikan harga sembako bukan hanya 31 juta orang, yakni penduduk kelompok miskin yang, menurut BPS, berada di bawah garis kemiskinan. Kenaikan harga pangan juga sangat riskan bagi orang yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan yang jumlahnya ternyata sangat besar.<br /><br />Menurut APBN 2010, yang tergolong mendekati miskin dan layak menerima raskin (beras bagi si miskin) sebanyak 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Sedangkan data lain menyebutkan, orang-orang yang mendekati miskin dan berhak menerima layanan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) jauh lebih banyak, yakni 76,4 juta. Apabila menggunakan data Bank Dunia, kelompok near poor Indonesia sekitar 42 persen, berarti lebih dari 97 juta orang.<br /><br />Dengan data tersebut, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga sembako merupakan masalah yang sangat serius karena menyangkut kesejahteraan orang yang jumlahnya sangat banyak. Inflasi tinggi yang didorong oleh inflasi bahan makanan dan makanan jadi benar-benar akan menjadi ancaman bagi masyarakat kelompok bawah.<br /><br />Oleh karena itu, diperlukan instrumen baru yang mampu menjaga kesejahteraan masyarakat dari ketidakstabilan harga pangan. Pilihan tergantung pada paradigma ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apakah akan keukeuh melepas harga pangan pada mekanisme pasar dan mencukupkan peran pemerintah dengan jurus pemadam kebakaran lewat subsidi pajak dan operasi pasar untuk komoditas yang sangat terbatas seperti saat ini, ataukah akan menjadikan kegagalan saat ini sebagai momentum untuk mengoreksi kebijakan dengan mengembalikan tanggung jawab atas stabilitas harga pangan bagi rakyat pada pemerintah?<br /><br />Konsekuensinya, harus merevisi kesalahan kebijakan liberalisasi pasar pangan tanpa ancang-ancang dan pemangkasan paksa peran lembaga penyangga harga pangan yang dilakukan tim ekonomi atas saran IMF (Dana Moneter Internasional) saat krisis 1998. Rakyat menunggu keputusan Presiden SBY.***</span></span></div></span></div>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-21078027005174949682010-10-01T07:24:00.000-07:002010-10-01T07:26:53.116-07:00Liberalisasi untuk Liberalisasi<p class="MsoNormal"><span lang="ES" style="mso-ansi-language:ES">Memasuki era pasar bebas ASEAN-China, pengusaha dan masyarakat Indonesia cemas. </span>Sangat aneh karena semestinya, bagi <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>, liberalisasi ekonomi bukan hal baru. <st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region> telah memulainya sejak dua puluh <st1:city st="on">lima</st1:City> tahun yang lalu, saat menjadi tuan rumah Bogor Declaration yang menjadi cikal bakal Kerja Sama Ekonomi <st1:place st="on">Asia</st1:place>-Pasifik (APEC). </p> <p class="MsoNormal">Pertanyaannya, mengapa hingga hari ini <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> tidak siap menghadapi perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi? Secara umum, ada beberapa hal yang menjadi penyebab. </p> <p class="MsoNormal">Pertama, pemerintah tidak mengomunikasikan berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang telah ditanda tangani. <span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Padahal, masyarakat berhak dan penting untuk mendapatkan penjelasan tentang <em>cost/benefit</em> dari setiap kerja sama ekonomi yang dilakukan pemerintah. </span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Seharusnya pemerintah bersama para pengusaha menyusun <em>adjustment policy</em>, agar dapat meraih manfaat dan mengurangi dampak negatifnya. Tetapi, kalangan industri dan masyarakat tidak mendapatkan informasi rencana strategi, kebijakan preventif, dan program mitigasi yang akan dilakukan (restrukturisasi industri, rencana relokasi pekerja, dan lain-lain). </span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Kedua, dalam setiap kesepakatan kerja sama ekonomi, Indonesia tidak mempunyai posisi negosiasi yang jelas. Ini berbeda dengan negara-negara lain yang pada saat membuat kesepakatan sudah memiliki strategi yang jelas tentang apa yang harus dipercepat dan yang harus ditunda dalam liberalisasi. China, misalnya, meski selalu didesak, akan tetap mempertahankan strategi nilai tukar lemah karena ini merupakan strategi harga mati untuk menjaga daya saing industrinya. </span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Ketiga, tidak ada aturan perundangan yang mewajibkan pemerintah meminta persetujuan DPR saat akan melakukan <em>major trade agreement</em> atau saat meratifikasi kesepakatan dagang internasional yang penting. Padahal, di Amerika Serikat, pada saat akan membuat kesepakatan <em>North American Free Trade Agreement</em> (NAFTA) saja, pemerintahan Clinton harus meminta persetujuan Kongres. </span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Keempat, kebijakan industri dan perdagangan yang terpisah mengakibatkan arah kebijakan ekonomi tidak jelas. Misalnya, kebijakan industri dan perdagangan untuk sumber daya batu bara. Di China, untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur, pemerintah memutuskan untuk menjadikan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik murah dan tidak menjadikannya sebagai komoditas ekspor. </span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Di Indonesia, strategi pemanfaatan batu bara tidak jelas. Departemen Perdagangan cenderung membuka pasar bebas untuk berbagai energi alam, sedangkan Departemen Perindustrian lebih memprioritaskan bagi kepentingan dalam negeri. </span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Berbagai kelemahan tersebut terjadi karena Indonesia tidak memiliki <em>industrial policy</em> <em>and</em> <em>strategy</em>. Padahal, semua negara mensyaratkan strategi industri sebelum memulai liberalisasi. Indonesia tidak siap dalam perdagangan bebas karena paradigma liberalisasi di Indonesia adalah "liberalisasi untuk liberalisasi". Liberalisasi dilakukan bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kekuatan ekonomi nasional. </span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Bahkan, liberalisasi seolah hanya domain pemerintah yang tidak terkait dengan para pelaku usaha dan masyarakat. Pemerintah SBY-Boediono harus melakukan koreksi mendasar karena bukan model liberalisasi ini yang boleh dilanjutkan.***</span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><i style="mso-bidi-font-style:normal"><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV">Dimuat di Harian “Suara Karya”, Selasa 26 Januari 2010</span></i><span lang="SV" style="mso-ansi-language:SV"><o:p></o:p></span></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-44298203535691626832010-09-30T02:15:00.000-07:002010-09-30T02:17:11.870-07:00Koreksi Kebijakan Harga Pangan!<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:usefelayout/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id="ieooui"></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat selalu khawatir dengan lonjakan harga bahan-bahan pokok. </span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Tahun ini keresahan masyarakat akibat kenaikan harga pangan lebih besar dibandingkan biasanya karena bahan makanan telah mengalami kenaikan harga lebih cepat. Perubahan iklim telah mengakibatkan terganggunya produksi dan distribusi.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Jika beberapa bulan terakhir kenaikan harga lebih karena tekanan dari sisi pasok, mulai bulan ini tekanan kenaikan harga juga akan didorong dari sisi permintaan. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan untuk Ramadhan dan Lebaran tak hanya harga bahan makanan, tetapi harga makanan jadi juga cenderung meningkat. </span><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="FI">Selain karena permintaan musiman, kenaikan harga juga karena kenaikan tarif listrik yang berlaku Juli 2010.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><b><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Berat bagi si miskin</span></b><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Dampak kenaikan harga makanan tidak sama bagi setiap rumah tangga. Semakin rendah pendapatan, semakin berat beban akibat kenaikan harga makanan. Sebagai gambaran, garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Rumah tangga yang pengeluarannya di bawah batas tersebut sebagian besar (73 persen) pengeluarannya untuk pangan.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"> Artinya, jika pemerintah gagal mengendalikan harga makanan, akan ada persoalan serius karena jumlah penduduk yang rawan terhadap kenaikan harga bahan- bahan pokok bukan hanya 31 juta orang yang berada di bawah angka tersebut. Ada puluhan juta lain yang terkategori mendekati miskin, pengeluaran sedikit di atas garis kemiskinan, yang juga rentan mengalami penurunan kesejahteraan jika harga pangan naik.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (raskin), jumlah mereka 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Adapun berdasarkan data penduduk, yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Angka ini akan semakin besar apabila digunakan data Bank Dunia, yang menyebutkan 42 persen, berarti mendekati 100 juta penduduk, memiliki pengeluaran kurang dari 2 dollar AS per hari.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Beban berat kenaikan harga bahan pokok bagi kelompok bawah juga tak cukup sekadar mendasarkan pada angka inflasi umum karena dapat memberikan gambaran yang salah. Salah satu studi ADB dan BPS bahkan menyebutkan inflasi yang ditanggung kelompok miskin rata-rata 2-3 kali lebih tinggi dibanding inflasi nasional. Kajian lain menunjukkan kemungkinan adanya kelemahan dalam perhitungan inflasi. Contohnya, menurut Susenas 2005, porsi belanja beras 24 persen, tetapi dalam Survei Biaya Hidup, yang jadi dasar perhitungan inflasi, hanya 6 persen. Belum lagi survei yang disinyalir bias terhadap kelompok atas.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Penting bagi pemerintah mengkaji ulang beban inflasi riil yang dihadapi setiap kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatannya. Informasi ini sangat diperlukan agar pilihan kebijakan lebih tepat.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><b><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Butuh strategi baru</span></b><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi strategi stabilisasi pangan saat ini. Fakta menunjukkan, sejak peran pemerintah dikebiri, masyarakat terus menghadapi beban gejolak harga pangan yang tidak sebanding dengan daya belinya. Dengan dilepaskannya harga pangan pada mekanisme pasar, instrumen operasi pasar dan PPN Ditanggung Pemerintah dalam mengendalikan harga pangan tidak akan efektif, bahkan hanya menjadi sekadar pemadam kebakaran.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Diperlukan strategi baru untuk mengembalikan peran pemerintah dalam menstabilkan harga pangan. Tentu usulan ini tidak pernah jadi alternatif bagi pengusung paradigma pasar yang memilih strategi lepas tangan (hands-off). Namun, jika konstitusi mewajibkan pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, tidak ada yang tabu untuk mengoreksi liberalisasi dan pengebirian Bulog tahun 1998 lewat <span style="font-style: italic;">letter of intent </span>IMF.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";">Bulog memang pernah jadi sumber korupsi, tetapi alasan korupsi yang menghilangkan berbagai peran penting pemerintah, termasuk dalam menstabilkan harga pangan, harus dikoreksi. Indonesia perlu badan stabilisasi harga pangan yang tidak hanya dikelola dengan bersih dan profesional, tetapi juga memiliki peran besar sebagaimana Bernas di Malaysia. </span><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Meski kini lembaga ini jadi milik publik, perannya menstabilkan harga pangan dalam negeri masih sangat besar. Belasan komoditas pangan, seperti susu, terigu, gula, dan minyak goreng, masih dikontrol. Padahal, kesejahteraan masyarakat di Malaysia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.</span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";">Tentu dukungan lembaga saja tidak cukup karena dibutuhkan kesepakatan baru tentang politik pangan nasional. Untuk mewujudkan peran negara dalam stabilisasi pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan, dituntut perubahan dan dukungan kebijakan komprehensif. Gas alam yang diprioritaskan untuk pupuk, institusi dan pembiayaan yang sesuai karakter pertanian, kebijakan yang memberikan peluang pasar bagi produksi pangan dalam negeri, anggaran untuk membangun infrastruktur pertanian, dan sebagainya. Tak mudah, tetapi perubahan harus dilakukan.</span></p> <p class="yiv785750086msonormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"><strong><i><span style="font-weight: normal;" lang="IT">Penulis:</span></i></strong><strong><i><span style="" lang="IT"> Hendri Saparini</span></i></strong><em><span style="" lang="IT"> </span></em></p> <p class="yiv785750086msonormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"><em><span style="" lang="IT">Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia</span></em> </p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; line-height: normal;"><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";">Dimuat di Harian ”Kompas”, Selasa, 10 Agustus 2010</span></p><i><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"></span></i><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="FI"></span><span style="" lang="FI"> </span>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-36162143586944542382010-09-30T01:41:00.000-07:002010-09-30T01:48:47.058-07:00Pembangunan Tanpa Roh<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:usefelayout/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;">Membaca laporan utama Kompas (6/7/2010), saya yakin banyak kalangan masyarakat yang berharap bahwa pemerintah dan para ekonom yang dekat dengan pemerintah segera menyadari kekeliruan dalam pengelolaan ekonomi nasional sehingga akan mendorong terjadinya perbaikan.</p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Kesimpulan dari Forum Sarasehan Ekonomi tentang permasalahan ekonomi Indonesia sudah sangat tepat. Saat ini, Indonesia memang menghadapi berbagai masalah kronis, seperti koordinasi antar- kementerian dan lembaga tinggi yang lemah, keputusan yang lambat, jurang antara si kaya dan si miskin yang makin lebar, buruknya infrastruktur, dan perekonomian nasional yang bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam (SDA). Berbagai masalah ini telah berlangsung lama, tetapi menjadi semakin parah karena tidak ada pembenahan secara tuntas.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><strong><span style="" lang="SV">Pilihan kebijakan</span></strong><span style="" lang="SV"></span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Dilaporkan bahwa forum tersebut menyimpulkan situasi perekonomian sudah berubah jauh dari masa Orde Baru (ketika para ekonom senior menjabat). Saya kurang sepakat dengan kesimpulan tersebut karena menurut hemat saya arah ekonomi saat ini sebenarnya telah dimulai pada era sebelumnya. Mari kita telaah, benarkah kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini karena pilihan arah ekonomi sejak era Reformasi?</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV"><span style="font-weight: bold;">Pertama,</span> SDA yang tidak diprioritaskan untuk kepentingan nasional dan semakin dikuasai asing. Menurut UU Penanaman Modal tahun 2007, asing bahkan diperbolehkan untuk mengusai hingga 95 persen. Kita harus melihat permasalahan ini dengan lebih jernih karena pada dasarnya penyerahan penguasaan SDA kepada asing telah dicontohkan sejak awal Orde Baru (Orba) saat tahun 1967 pemerintah menyerahkan pengelolaan Freeport kepada asing. Apabila para pengambil kebijakan Orba menganggap langkah itu adalah kesalahan, semestinya tahun 1992 tidak dilakukan percepatan perpanjangan kontrak karya Freeport tanpa koreksi yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. Tak heran bila penyerahan penguasaan SDA kepada asing berlanjut hingga kini.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV"><span style="font-weight: bold;">Kedua,</span> saat ini Indonesia menghadapi beban utang publik yang semakin berat. Meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, tetapi total utang semakin besar. Pada bulan April 2010 telah mencapai Rp 1,015 triliun untuk utang dalam negeri dan Rp 573 triliun (63,54 miliar dollar AS) untuk utang luar negeri. Padahal, sebelum krisis 1997 utang pemerintah hanya 74 miliar dollar AS. Namun, apabila mau jujur, praktik pembiayaan pembangunan dengan mengandalkan utang sebenarnya telah dipraktikkan selama Orba. Hanya kemudian, para menteri ekonomi penerus melanjutkannya dengan percepatan penarikan utang yang luar biasa.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV"><span style="font-weight: bold;">Ketiga,</span> liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan juga telah dilakukan jauh sebelum krisis tahun 1997. Bahkan, berbeda dengan negara-negara Asia lain, seperti China, Jepang, dan Korea, yang menempatkan liberalisasi keuangan pada urutan paling akhir, Indonesia justru memprioritaskan liberalisasi keuangan sebelum membangun industri domestik yang tangguh. Dengan Pakto 88 (Paket Kebijakan tahun 1988), berbagai liberalisasi dimulai, seperti diperbolehkannya untuk membuka bank baru hanya dengan modal Rp 10 miliar, bank-bank asing lama ataupun baru diberi kemudahan membuka cabang, bentuk patungan antarbank asing dengan bank swasta nasional diizinkan, rasio kecukupan modal bank lokal diturunkan dari 15 persen menjadi 2 persen, dan sebagainya.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Apabila saat ini sektor keuangan Indonesia menjadi sangat liberal, maka sangat wajar. Tidak adanya kontrol terhadap modal jangka pendek, misalnya, telah mengakibatkan sektor keuangan rapuh karena tingginya kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN) ataupun SBI. Percepatan liberalisasi di sektor perbankan juga terus dilakukan, misalnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99 persen saham perbankan nasional.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Apabila dikaji lebih jauh masih banyak kebijakan ekonomi yang mengakibatkan keterpurukan ekonomi saat ini, yang sebenarnya telah diawali pada masa Orba karena sejatinya kebijakan ekonomi era reformasi hingga era saat ini masih merupakan lanjutan dari arah kebijakan ekonomi Orba. Mungkin peribahasa ”bagaimana biduk, bagaimana pengayuh” tepat untuk menggambarkannya, yang berarti bagaimana pilihan kebijakan orangtua, begitulah pilihan anaknya.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Hanya memang harus diakui juga bahwa ada faktor lain yang mengakibatkan kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibanding era Orba, terutama akibat peran negara yang semakin dibatasi dan liberalisasi yang semakin cepat dan tanpa arah. Sebagai contoh, program kredit Bimas dan Inmas atau kewajiban alokasi kredit kepada UKM lewat kredit usaha kecil (KUK) pada masa Orba, saat ini tidak mungkin dilakukan karena tangan pemerintah telah dipatahkan satu per satu lewat liberalisasi. Kredit usaha rakyat (KUR) ala kabinet SBY sangat berbeda karena tidak dilakukan dengan menggunakan dana pemerintah, tetapi dana komersial bank yang ikut dalam program sehingga wajar bila realisasinya rendah.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><strong><span style="" lang="SV">Paradigma ekonomi</span></strong><span style="" lang="SV"></span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Diagnosis terhadap arah ekonomi yang telah menciptakan kerisauan nasional ini seharusnya bermuara pada akar masalah. Pilihan Indonesia untuk menggantungkan pembiayaan pembangunan pada utang, mempercepat liberalisasi di berbagai sektor tanpa mendasarkan pada strategi dan kepentingan nasional, menempatkan SDA hanya sekadar komoditas ekspor bukan modal untuk membangun bangsa, adalah kebijakan akibat kesalahan dalam pilihan paradigma, bukan kesalahan kebijakan, apalagi sekadar kesalahan pelaksanaan.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Oleh karena itu, keresahan terhadap arah ekonomi nasional seperti ditunjukkan dalam Forum Sarasehan Ekonomi tidak akan bermakna apabila tidak berakhir pada pengakuan jujur bahwa Indonesia telah mendayung ekonomi pada jalur paradigma yang salah selama puluhan tahun. Keresahan juga tidak akan memberikan manfaat apabila tidak diikuti koreksi yang mendasarkan pada referensi yang benar. Indonesia telah memiliki paradigma yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. UUD 1945 telah menyiapkan enam pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33), dan (34), yang mengatur kewajiban sosial dan ekonomi negara kepada rakyat.</span></p> <p style="text-align: justify; line-height: 13.5pt;"><span style="" lang="SV">Untuk mengoreksi arah pengelolaan ekonomi agar dapat menyejahterakan rakyat Indonesia, diperlukan kemauan politik nasional untuk mengubah paradigma ekonomi. Para ekonom senior dan mantan pejabat publik yang turun gunung karena kerisauannya terhadap keterpurukan ekonomi saat ini patut kita apresiasi. Namun, langkah tersebut akan memberikan makna apabila diikuti pengakuan bahwa kesalahan arah kebijakan ekonomi selama puluhan tahun terjadi karena mengabaikan amanah konstitusi. Pengakuan jujur ini sangat penting karena diharapkan akan jadi pendorong perubahan dan upaya pelurusan arah paradigma ekonomi bagi eksekutif ataupun legislatif. Semoga keresahan terhadap arah ekonomi tak berhenti menjadi sekadar keresahan nasional.</span></p> <p class="yiv785750086msonormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"><strong><i><span style="font-weight: normal;" lang="IT">Penulis:</span></i></strong><strong><i><span style="" lang="IT"> Hendri Saparini</span></i></strong><em><span style="" lang="IT"> </span></em></p> <p class="yiv785750086msonormal" style="margin: 0in 0in 0.0001pt;"><em><span style="" lang="IT">Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia</span></em><span style="" lang="IT"> </span><span style="" lang="FI"></span></p> <p class="yiv785750086msonormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="FI">Dimuat di Harian ”Kompas”, Rabu, 7 Juli 2010 </span><a href="http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/07/07/04465448/pembangunan.tanpa.roh" target="_blank"><span style="" lang="IT"></span></a><span style=""> </span><span style="" lang="FI"></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"> </span></p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1961954638873183141.post-58541648823129794382010-09-29T04:00:00.000-07:002010-09-29T04:02:16.105-07:00KADIN dan Percepatan Industrialisasi<!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:usefelayout/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal">Pesta demokrasi di lingkungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah usai dengan terpilihnya Suryo Bambang Sulistio sebagai sebagai ketua umum Kadin periode 2010-2015. Sebelum Musyawarah Nasional IV Kadin diselenggarakan, terdengar banyak isu, diantaranya politik uang yang mewarnai pemilihan ketua umum. </p> <p class="MsoNormal">Semoga saja hal ini tidak terjadi mengingat organisasi para pengusaha harus bebas dari suap dan korupsi. Sebab, faktor itu justru menjadi penyebab <i style="">high cost economy</i> dalam dunia usaha. </p> <p class="MsoNormal">Bahwa menjelang pemilihan tercipta juga suasana pertarungan, hal itu wajar karena memang posisi ketua umum Kadin di Indonesia layak diperebutkan. Selain akan menjadi wadah untuk mewujudkan mimpi bagi pengusaha yang memiliki idealisme, juga akan menjadi penyambung kepentingan antara pengusaha dan penguasa. </p> <p class="MsoNormal">Apalagi, jabatan ketua umum Kadin ternyata juga penting bagi karir politik. Sejarah menunjukkan hampir semua mantan ketua umum organisasi ini selalu masuk dalam bursa dan seolah memiliki <i style="">privileges</i> untuk menduduki posisi menteri ekonomi di kabinet. </p> <p class="MsoNormal">Tulisan ini tentu tidak akan membahas hal tersebut. Bagaimanapun, saat ini organisasi para pengusaha nasional tersebut telah memiliki ketua umum baru. Selamat kepada Pak Suryo yang akan menduduki posisi ketua umum periode 2010-2015. </p> <p class="MsoNormal"><b style="">Kerja Sama Strategis</b></p> <p class="MsoNormal">Ketika menyampaikan visi dan misi, semua kandidat menjanjikan untuk menciptakan kerjasama yang baik dengan pemerintah. Tidak terkecuali ketua umum baru, Suryo Bambang Sulistio. Kerjasama pengusaha dan pemerintah memang sangat penting, apalagi Indonesia tengah menghadapi tren penurunan daya saing sektor manufaktur yang cukup mencemaskan. </p> <p class="MsoNormal">Industri manufaktur mengalami perlambatan pertumbuhan yang konsisten sejak 2005 akibat melemahnya daya saing. Kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan manufaktur yang semakin lebar menunjukkan bahwa strategi kebijakan pemerintah telah gagal dalam mencegah percepatan deindustrialisasi. Secara tidak langsung, fakta ini mengindikasikan bahwa selama ini kerjasama Kadin dan pemerintah juga telah gagal. </p> <p class="MsoNormal">Lalu, kerjasama seperti apakah yang semestinya dibangun antara pengusaha dan pemerintah? Sebelum melanjutkan, saya teringat diskusi saya dengan salah satu direktur Bank Exim China dalam sebuah konferensi di Beijing tahun lalu. Saya kagum dengan strategi komprehensif yang dilakukan Tiongkok untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis finansial global. Pada saat saya tanyakan, apa resep Tiongkok sehingga pengusaha dan pemerintah dapat bergandengan tangan dalam menangkal krisis, dia menjawab “Kami bekerja 100 jam seminggu”. Meskipun saya ulang pertanyaan hingga tiga kali, dengan senyum sang Direktur memberikan jawaban yang tetap sama yakni mereka bekerja 100 jam seminggu!</p> <p class="MsoNormal">Jawaban tersebut tentu memiliki arti yang sangat luas dan dalam. Bahwa pemerintah harus mendukung kepentingan pengusaha nasional itu pasti. Tetapi di banyak negara termasuk Tiongkok, pemerintah tidak sekadar mendukung dari belakang, tetapi juga di samping atau bahkan terkadang berada di depan para pengusaha. </p> <p class="MsoNormal">Berada di depan, tentu saja, untuk membuka pasar sebagaimana pemerintah Amerika Serikat lakukan dengan memberikan hibah dan bantuan kepada Indonesia agar membuka pasar bagi produk-produk pertanian AS di negeri ini. Juga saat Tiongkok membeli perusahaan komputer kelas dunia untuk membuka jalan di pasar global sekaligus membalikkan <i style="">image</i> produk elektronik Tiongkok yang dikenal berkualitas rendah. Sangat banyak contoh lain yang dilakukan negara-negara industri untuk mendukung daya saing produk-produk nasional mereka di pasar global.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal">Bila Kadin periode ini ingin berkontribusi besar dalam membangunan industri di Indonesia, ketua umum Kadin harus dapat memainkan perannya dalam kerjasama dengan pemerintah, dalam paradigma baru. Kadin tidak sekadar mendukung program pemerintah tetapi harus benar-benar menjadi bagian penting dalam perencanaan strategi industri sehingga berorientasi pada kepentingan nasional. </p> <p class="MsoNormal">Bila peran dan <i style="">positioning</i> Kadin lebih baik, pasti tidak perlu terjadi demo para pengusaha dan pekerja untuk menentang kebijakan kenaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) dan tarif-tarif lain yang diatur oleh pemerintah. Juga, tidak perlu para ketua asosiasi berkali-kali mengajukan surat keberatan kepada pemerintah atas agresivitas kerjasama ekonomi internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia seperti dalam ASEAN-China FTA maupun FTA-FTA dan EPA-EPA lain karena pemerintah belum menyiapkan <i style="">mitigation policy</i>-nya. Padahal, strategi ini sangat penting agar potensi <i style="">cost</i> dapat ditekan seminimal mungkin dan potensi <i style="">benefit</i> dari FTA dapat dioptimalkan bagi kepentingan nasional. </p> <p class="MsoNormal"><b style="">Strategi dan kebijakan industri </b></p> <p class="MsoNormal">Dengan jumlah anggota sekitar satu juta dan anggota potensial lebih dari lima puluh juta, maka Kadin adalah organisasi dengan kekuatan besar. Sangat wajar bila ketua umum harus dapat mewujudkan <i style="">bargaining position</i> yang kuat dimata pemerintah.</p> <p class="MsoNormal">Tentu saja dengan daya tawar Kadin yang tinggi, pemerintah tidak seharusnya dengan serta merta mengadopsi <i style="">roadmap</i> yang telah disusun oleh Kadin. Karena <i style="">roadmap</i> Kadin tentu merupakan rencana bisnis yang akan mewakili kepentingan para anggotanya. Padahal banyak <i style="">stakeholder</i> di luar Kadin yang juga berkepentingan terhadap strategi dan kebijakan pembangunan industri nasional, sehingga pemerintah harus berada di tengah untuk mewakili kepentingan nasional baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, dll. </p> <p class="MsoNormal">Dengan pertimbangan tersebut menjadi wajib bagi pemerintah untuk menyusun <i style="">industrial policy and strategy </i>(strategi dan kebijakan industri). Perencanaan inilah yang akan menjadi payung bagi pembangunan industri dan penyiapan kebijakan-kebijakan pendukung baik kebijakan energi, kebijakan perdagangan internasional, kebijakan lahan dan agraria, kebijakan fiskal, dan lain-lain. </p> <p class="MsoNormal">Perencanaan ini juga akan menjadi referensi bagi Kadin untuk menyusun <i style="">roadmap-</i>nya. Bila pemerintah menetapkan bahwa energi alam akan diprioritaskan untuk mendukung kepentingan industri dalam negeri, misalnya, maka orientasi pengusaha Kadin di bidang energi tidak akan berorientasi ekspor tetapi lebih diprioritaskan untuk memasok kebutuhan industri dalam negeri karena kebijakan pemerintah akan memberikan insentif bagi yang berorientasi dalam negeri. </p> <p class="MsoNormal">Demikian juga bila dalam strategi industri nasional pemerintah menetapkan rotan mentah tidak untuk ekspor tetapi sebagai bahan baku dalam menciptakan produk unggulan ekspor, maka dengan berbagai kebijakan pendukung, pengusaha-pengusaha pengolah rotan akan lebih menguntungkan, bukan pengusaha-pengusaha eksportir rotan mentah. </p> <p class="MsoNormal">Kita tidak dapat menyalahkan bila saat ini yang tumbuh subur justru pengusaha-pengusaha eksportir batubara, karet mentah, <i style="">Crude Palm Oil</i> (CPO), dan bahan baku serta bahan mentah lainnya yang saat ini tumbuh subur dan berjaya. Bila ini berlanjut, Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah tetap akan sulit membangun industri manufaktur yang kompetitif dan memiliki nilai tambah tinggi.<span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal">Harapan baru ada pada ketua umum Kadin terpilih. Semoga ketua umum baru memiliki jiwa aktivis, yang akan memanfaatkan daya tawarnya yang kuat untuk mendorong pemerintah menyiapkan <i style="">industrial policy and strategy</i>. Inilah satu-satunya jalan agar arah industrialisasi di Indonesia jelas dan Kadin dapat berkontribusi besar dalam mewujudkan percepatan industrialisasi di Indonesia sebagaimana terjadi di Tiongkok dan negara-negara industri baru dunia. Semoga!</p><p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal">Tulisan ini telah dimuat di Harian "Investor Daily", Senin 27/09/2010<br /></p> <p class="MsoNormal"> </p>Hendri Saparinihttp://www.blogger.com/profile/04480135207217337106noreply@blogger.com0