Senin, 16 Januari 2012

Akar Masalah Subsidi BBM


Setelah batal diputuskan tahun lalu, pemerintah kembali menggulirkan rencana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Alasannya, anggaran untuk subsidi BBM terus bertambah akibat meningkatnya konsumsi. Tahun 2011 realisasi konsumsi BBM bersubsidi memang mencapai 41,69 juta kiloliter (kl), 3,3 persen diatas kuota APBN-P 2011 yang sebesar 40,36 juta kl. Akibatnya, subsidi BBM tahun lalu mencapai Rp 165,2 triliun.

Itulah sebabnya pada APBN 2012 pemerintah, dengan kesepakatan DPR, menetapkan untuk memangkas anggaran subsidi BBM. Caranya, dengan membatasi jumlah BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah tahun ini menjadi hanya 40 juta kl. Bila mendasarkan pada konsumsi tahun lalu dan tambahan permintaan BBM yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, maka jumlah yang dipangkas cukup signifikan.

Pemerintah menjamin kebijakan ini tidak akan mengganggu ekonomi. Alasannya, antara lain karena saatnya tepat karena tahun 2011 inflasi dapat ditekan sebesar 3,79 persen (target APBN 2011 sebesar 5,65 persen). Jaminan lainnya karena pemerintah tidak akan mengurangi konsumsi BBM masyarakat tetapi hanya mengalihkan penggunaan BBM bersubsidi ke Pertamax dan BBM non sunsidi non Pertamax lainnya atau ke Bahan Bakar Gas (BBG).

Tulisan ini tidak akan membahas benarkah ekonomi tidak akan terganggu atau benarkah inflasi tidak akan melejit, mengingat tahun 2012 ekonomi Indonesia tengah menghadapi kenaikan harga pangan dan pemerintah berencana menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Apalagi pembatasan pemakaian BBM subsidi juga berarti kenaikan harga bagi sebagian masyarakat karena harga BBM naik hampir 100 persen. Artinya, kebenaran dampak yang minimal perlu dikaji kembali mengingat ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian pemulihan global dan penyelesaian utang negara-negara Eropa.

Saya juga tidak akan membahas besarnya resiko akibat persiapan kebijakan pembatasan BBM yang hingga hari ini masih jauh dari matang, baik kesiapan infrastruktur maupun pemahaman masyarakat. Bahkan dalam regulasi pun Keputusan Presiden yang akan menjadi landasan penyusunan detil strategi belum diterbitkan.

Bahwa subsidi BBM sangat besar tidak ada yang menyangkal. Tetapi harus dipahami bahwa subsidi BBM yang sangat besar pada dasarnya hanya merupakan akibat dari pilihan kebijakan pemerintah di berbagai bidang. Ada akar masalah yang menyebabkan subsidi BBM meningkat. Misal, faktor pertumbuhan konsumsi BBM yang tinggi sehingga laju pertumbuhannya harus ditekan. Bila data pemerintah dan Bank Dunia menunjukkan 65 persen BBM subsidi dikonsumsi sepeda motor, maka seharus ada prioritas strategi harus dilakukan dengan menekan pertumbuhan sepeda motor.

Bila pertumbuhan sepeda motor yang tinggi antara lain diakibatkan oleh buruknya transportasi massal, maka yang harus dilakukan adalah membenahi tranportasi massal. Dengan demikian harus ada kemauan politik untuk merubah paradigma kebijakan selama ini yang menyerahkan penyelenggaraan transportasi massal pada swasta. Menurunnya peran transportasi massal di berbagai daerah saat ini karena bagi swasta bisnis adalah untung rugi bukan masalah startegis atau tidak strategis. Pada saat bisnis mereka tidak dapat berkompetisi dengan sepeda motor, maka pilihannya adalah tutup.

Itulah sebabnya, hampir di semua negara transportasi massal ditangani oleh perusahaan pemerintah dan mensubsidinya bila belum menguntungkan. Sayangnya, paradigma pemerintah seperti penyataan Menteri BUMN justru menilai sepeda motor sebagai langkah revolusioner dalam pembangunan ekonomi, sehingga perlu didukung, bahkan dibuatkan jalur khusus termasuk di jalan tol.

Bila paradigma ini yang dianut, maka dipastikan akar masalah subsidi BBM tidak akan terselesaikan. Lebih lanjut pembangunan transportasi publik di Indonesia pun akan salah arah karena semakin maju sebuah negara semestinya transportasi yang berkembang adalah transportasi massal yang aman, terintegrasi, hemat energi dan jawabannya jelas bukan sepeda motor.

Masih banyak faktor lain penyebab meningkatnya subsidi BBM yang membutuhkan koreksi paradigma dan ketegasan untuk menyelesaikannya. Pembangunan kilang di dalam negeri yang sangat lamban dan tidak menjadi prioritas misalnya, mengakibatkan pemenuhan BBM nasional harus bergantung pada impor. Padahal selain menimbulkan ketidakpastian, kebijakan ini akan menciptakan loop holes bagi munculnya para pemburu rente baik saat mengekspor maupun saat mengimpor minyak mentah dan subsdi BBM.

Pilihan ada pada pemerintah. Akankah pemerintah berani menyelesaikan masalah subsidi BBM pada akarnya atau bertahan hanya pada kulitnya seperti saat ini. Memang pengobatan pada gejala akan menghindarkan pemerintah untuk berhadapan dengan berbagai pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan besar diatas kerugian masyarakat akibat tingginya subsidi BBM. Tapi rasanya mencari selamat kembali akan menjadi pilihan dari rezim ini.***

Dimuat di Harian "Suara Karya" edisi 16 Januari 2012