Rabu, 24 November 2010

Beban Berat bagi SI Miskin

Tulisan ini sudah di terbitkan di harian Suara Karya beberapa waktu yang lalu, tetapi saya pikir masih relevan karena sampai saat ini beban saudara-saudara kita yang hidup di sekitar garis kemiskinan - apalagi yang di bawah - terasa semakin berat. Harga kebuthan pokok tidak juga beranjak turun, sementara kebutuhan niscaya semakin meningkat seiring pertumbuhan anak-anak yang makin besar, pendidikan yang semakin tinggi, dsb. Selamat membaca.

Beban si Miskin Terlalu Berat


Suara Karya (Kamis, 29 Juli 2010)
Kenaikan harga sembako makin membebani masyarakat. Apalagi, tahun ini kenaikan harga terjadi dalam rentang waktu yang lebih panjang. Selama beberapa bulan terakhir, kenaikan harga terjadi akibat terganggunya pasokan, baik produksi maupun transportasi. Sementara dua bulan ke depan akan lebih didorong oleh peningkatan permintaan musiman memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran.

Bagi kelompok berpenghasilan rendah, beban kenaikan harga sembako bukan basi-basi. Karena itu, berita bahwa sebagian masyarakat miskin sudah mulai mengonsumsi nasi aking tidak mengagetkan. Mengapa?

Dampak kenaikan harga memang akan berbeda bagi setiap keluarga, bergantung pada porsi barang-barang dalam daftar belanjanya yang mengalami kenaikan harga. Dampak besar kenaikan harga sembako akan sangat dirasakan oleh kelompok masyarakat bawah karena lebih dari separuh belanjanya untuk makanan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan tahun 2010 sebesar Rp 212.210 per orang per bulan. Dari jumlah ini, 73 persen pengeluaran orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut digunakan untuk membeli makanan. Jadi, tidak mengherankan apabila kenaikan harga sembako akan lebih dirasakan oleh orang yang lebih miskin. Masalahnya, makin miskin seseorang, makin besar pula porsi sembako dalam keranjang belanjanya.

Kegagalan dalam mengendalikan harga makanan akan makin memberatkan karena jumlah orang yang rawan terhadap kenaikan harga sembako bukan hanya 31 juta orang, yakni penduduk kelompok miskin yang, menurut BPS, berada di bawah garis kemiskinan. Kenaikan harga pangan juga sangat riskan bagi orang yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan yang jumlahnya ternyata sangat besar.

Menurut APBN 2010, yang tergolong mendekati miskin dan layak menerima raskin (beras bagi si miskin) sebanyak 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang. Sedangkan data lain menyebutkan, orang-orang yang mendekati miskin dan berhak menerima layanan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) jauh lebih banyak, yakni 76,4 juta. Apabila menggunakan data Bank Dunia, kelompok near poor Indonesia sekitar 42 persen, berarti lebih dari 97 juta orang.

Dengan data tersebut, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan harga sembako merupakan masalah yang sangat serius karena menyangkut kesejahteraan orang yang jumlahnya sangat banyak. Inflasi tinggi yang didorong oleh inflasi bahan makanan dan makanan jadi benar-benar akan menjadi ancaman bagi masyarakat kelompok bawah.

Oleh karena itu, diperlukan instrumen baru yang mampu menjaga kesejahteraan masyarakat dari ketidakstabilan harga pangan. Pilihan tergantung pada paradigma ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apakah akan keukeuh melepas harga pangan pada mekanisme pasar dan mencukupkan peran pemerintah dengan jurus pemadam kebakaran lewat subsidi pajak dan operasi pasar untuk komoditas yang sangat terbatas seperti saat ini, ataukah akan menjadikan kegagalan saat ini sebagai momentum untuk mengoreksi kebijakan dengan mengembalikan tanggung jawab atas stabilitas harga pangan bagi rakyat pada pemerintah?

Konsekuensinya, harus merevisi kesalahan kebijakan liberalisasi pasar pangan tanpa ancang-ancang dan pemangkasan paksa peran lembaga penyangga harga pangan yang dilakukan tim ekonomi atas saran IMF (Dana Moneter Internasional) saat krisis 1998. Rakyat menunggu keputusan Presiden SBY.***

Tidak ada komentar: