Rabu, 29 September 2010

KADIN dan Percepatan Industrialisasi

Pesta demokrasi di lingkungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia telah usai dengan terpilihnya Suryo Bambang Sulistio sebagai sebagai ketua umum Kadin periode 2010-2015. Sebelum Musyawarah Nasional IV Kadin diselenggarakan, terdengar banyak isu, diantaranya politik uang yang mewarnai pemilihan ketua umum.

Semoga saja hal ini tidak terjadi mengingat organisasi para pengusaha harus bebas dari suap dan korupsi. Sebab, faktor itu justru menjadi penyebab high cost economy dalam dunia usaha.

Bahwa menjelang pemilihan tercipta juga suasana pertarungan, hal itu wajar karena memang posisi ketua umum Kadin di Indonesia layak diperebutkan. Selain akan menjadi wadah untuk mewujudkan mimpi bagi pengusaha yang memiliki idealisme, juga akan menjadi penyambung kepentingan antara pengusaha dan penguasa.

Apalagi, jabatan ketua umum Kadin ternyata juga penting bagi karir politik. Sejarah menunjukkan hampir semua mantan ketua umum organisasi ini selalu masuk dalam bursa dan seolah memiliki privileges untuk menduduki posisi menteri ekonomi di kabinet.

Tulisan ini tentu tidak akan membahas hal tersebut. Bagaimanapun, saat ini organisasi para pengusaha nasional tersebut telah memiliki ketua umum baru. Selamat kepada Pak Suryo yang akan menduduki posisi ketua umum periode 2010-2015.

Kerja Sama Strategis

Ketika menyampaikan visi dan misi, semua kandidat menjanjikan untuk menciptakan kerjasama yang baik dengan pemerintah. Tidak terkecuali ketua umum baru, Suryo Bambang Sulistio. Kerjasama pengusaha dan pemerintah memang sangat penting, apalagi Indonesia tengah menghadapi tren penurunan daya saing sektor manufaktur yang cukup mencemaskan.

Industri manufaktur mengalami perlambatan pertumbuhan yang konsisten sejak 2005 akibat melemahnya daya saing. Kesenjangan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan manufaktur yang semakin lebar menunjukkan bahwa strategi kebijakan pemerintah telah gagal dalam mencegah percepatan deindustrialisasi. Secara tidak langsung, fakta ini mengindikasikan bahwa selama ini kerjasama Kadin dan pemerintah juga telah gagal.

Lalu, kerjasama seperti apakah yang semestinya dibangun antara pengusaha dan pemerintah? Sebelum melanjutkan, saya teringat diskusi saya dengan salah satu direktur Bank Exim China dalam sebuah konferensi di Beijing tahun lalu. Saya kagum dengan strategi komprehensif yang dilakukan Tiongkok untuk menyelamatkan ekonomi dari krisis finansial global. Pada saat saya tanyakan, apa resep Tiongkok sehingga pengusaha dan pemerintah dapat bergandengan tangan dalam menangkal krisis, dia menjawab “Kami bekerja 100 jam seminggu”. Meskipun saya ulang pertanyaan hingga tiga kali, dengan senyum sang Direktur memberikan jawaban yang tetap sama yakni mereka bekerja 100 jam seminggu!

Jawaban tersebut tentu memiliki arti yang sangat luas dan dalam. Bahwa pemerintah harus mendukung kepentingan pengusaha nasional itu pasti. Tetapi di banyak negara termasuk Tiongkok, pemerintah tidak sekadar mendukung dari belakang, tetapi juga di samping atau bahkan terkadang berada di depan para pengusaha.

Berada di depan, tentu saja, untuk membuka pasar sebagaimana pemerintah Amerika Serikat lakukan dengan memberikan hibah dan bantuan kepada Indonesia agar membuka pasar bagi produk-produk pertanian AS di negeri ini. Juga saat Tiongkok membeli perusahaan komputer kelas dunia untuk membuka jalan di pasar global sekaligus membalikkan image produk elektronik Tiongkok yang dikenal berkualitas rendah. Sangat banyak contoh lain yang dilakukan negara-negara industri untuk mendukung daya saing produk-produk nasional mereka di pasar global.

Bila Kadin periode ini ingin berkontribusi besar dalam membangunan industri di Indonesia, ketua umum Kadin harus dapat memainkan perannya dalam kerjasama dengan pemerintah, dalam paradigma baru. Kadin tidak sekadar mendukung program pemerintah tetapi harus benar-benar menjadi bagian penting dalam perencanaan strategi industri sehingga berorientasi pada kepentingan nasional.

Bila peran dan positioning Kadin lebih baik, pasti tidak perlu terjadi demo para pengusaha dan pekerja untuk menentang kebijakan kenaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) dan tarif-tarif lain yang diatur oleh pemerintah. Juga, tidak perlu para ketua asosiasi berkali-kali mengajukan surat keberatan kepada pemerintah atas agresivitas kerjasama ekonomi internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia seperti dalam ASEAN-China FTA maupun FTA-FTA dan EPA-EPA lain karena pemerintah belum menyiapkan mitigation policy-nya. Padahal, strategi ini sangat penting agar potensi cost dapat ditekan seminimal mungkin dan potensi benefit dari FTA dapat dioptimalkan bagi kepentingan nasional.

Strategi dan kebijakan industri

Dengan jumlah anggota sekitar satu juta dan anggota potensial lebih dari lima puluh juta, maka Kadin adalah organisasi dengan kekuatan besar. Sangat wajar bila ketua umum harus dapat mewujudkan bargaining position yang kuat dimata pemerintah.

Tentu saja dengan daya tawar Kadin yang tinggi, pemerintah tidak seharusnya dengan serta merta mengadopsi roadmap yang telah disusun oleh Kadin. Karena roadmap Kadin tentu merupakan rencana bisnis yang akan mewakili kepentingan para anggotanya. Padahal banyak stakeholder di luar Kadin yang juga berkepentingan terhadap strategi dan kebijakan pembangunan industri nasional, sehingga pemerintah harus berada di tengah untuk mewakili kepentingan nasional baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya, dll.

Dengan pertimbangan tersebut menjadi wajib bagi pemerintah untuk menyusun industrial policy and strategy (strategi dan kebijakan industri). Perencanaan inilah yang akan menjadi payung bagi pembangunan industri dan penyiapan kebijakan-kebijakan pendukung baik kebijakan energi, kebijakan perdagangan internasional, kebijakan lahan dan agraria, kebijakan fiskal, dan lain-lain.

Perencanaan ini juga akan menjadi referensi bagi Kadin untuk menyusun roadmap-nya. Bila pemerintah menetapkan bahwa energi alam akan diprioritaskan untuk mendukung kepentingan industri dalam negeri, misalnya, maka orientasi pengusaha Kadin di bidang energi tidak akan berorientasi ekspor tetapi lebih diprioritaskan untuk memasok kebutuhan industri dalam negeri karena kebijakan pemerintah akan memberikan insentif bagi yang berorientasi dalam negeri.

Demikian juga bila dalam strategi industri nasional pemerintah menetapkan rotan mentah tidak untuk ekspor tetapi sebagai bahan baku dalam menciptakan produk unggulan ekspor, maka dengan berbagai kebijakan pendukung, pengusaha-pengusaha pengolah rotan akan lebih menguntungkan, bukan pengusaha-pengusaha eksportir rotan mentah.

Kita tidak dapat menyalahkan bila saat ini yang tumbuh subur justru pengusaha-pengusaha eksportir batubara, karet mentah, Crude Palm Oil (CPO), dan bahan baku serta bahan mentah lainnya yang saat ini tumbuh subur dan berjaya. Bila ini berlanjut, Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah tetap akan sulit membangun industri manufaktur yang kompetitif dan memiliki nilai tambah tinggi.

Harapan baru ada pada ketua umum Kadin terpilih. Semoga ketua umum baru memiliki jiwa aktivis, yang akan memanfaatkan daya tawarnya yang kuat untuk mendorong pemerintah menyiapkan industrial policy and strategy. Inilah satu-satunya jalan agar arah industrialisasi di Indonesia jelas dan Kadin dapat berkontribusi besar dalam mewujudkan percepatan industrialisasi di Indonesia sebagaimana terjadi di Tiongkok dan negara-negara industri baru dunia. Semoga!


Tulisan ini telah dimuat di Harian "Investor Daily", Senin 27/09/2010

Tidak ada komentar: