Kamis, 30 September 2010

Pembangunan Tanpa Roh

Membaca laporan utama Kompas (6/7/2010), saya yakin banyak kalangan masyarakat yang berharap bahwa pemerintah dan para ekonom yang dekat dengan pemerintah segera menyadari kekeliruan dalam pengelolaan ekonomi nasional sehingga akan mendorong terjadinya perbaikan.

Kesimpulan dari Forum Sarasehan Ekonomi tentang permasalahan ekonomi Indonesia sudah sangat tepat. Saat ini, Indonesia memang menghadapi berbagai masalah kronis, seperti koordinasi antar- kementerian dan lembaga tinggi yang lemah, keputusan yang lambat, jurang antara si kaya dan si miskin yang makin lebar, buruknya infrastruktur, dan perekonomian nasional yang bergantung pada ekspor berbasis sumber daya alam (SDA). Berbagai masalah ini telah berlangsung lama, tetapi menjadi semakin parah karena tidak ada pembenahan secara tuntas.

Pilihan kebijakan

Dilaporkan bahwa forum tersebut menyimpulkan situasi perekonomian sudah berubah jauh dari masa Orde Baru (ketika para ekonom senior menjabat). Saya kurang sepakat dengan kesimpulan tersebut karena menurut hemat saya arah ekonomi saat ini sebenarnya telah dimulai pada era sebelumnya. Mari kita telaah, benarkah kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini karena pilihan arah ekonomi sejak era Reformasi?

Pertama, SDA yang tidak diprioritaskan untuk kepentingan nasional dan semakin dikuasai asing. Menurut UU Penanaman Modal tahun 2007, asing bahkan diperbolehkan untuk mengusai hingga 95 persen. Kita harus melihat permasalahan ini dengan lebih jernih karena pada dasarnya penyerahan penguasaan SDA kepada asing telah dicontohkan sejak awal Orde Baru (Orba) saat tahun 1967 pemerintah menyerahkan pengelolaan Freeport kepada asing. Apabila para pengambil kebijakan Orba menganggap langkah itu adalah kesalahan, semestinya tahun 1992 tidak dilakukan percepatan perpanjangan kontrak karya Freeport tanpa koreksi yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. Tak heran bila penyerahan penguasaan SDA kepada asing berlanjut hingga kini.

Kedua, saat ini Indonesia menghadapi beban utang publik yang semakin berat. Meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, tetapi total utang semakin besar. Pada bulan April 2010 telah mencapai Rp 1,015 triliun untuk utang dalam negeri dan Rp 573 triliun (63,54 miliar dollar AS) untuk utang luar negeri. Padahal, sebelum krisis 1997 utang pemerintah hanya 74 miliar dollar AS. Namun, apabila mau jujur, praktik pembiayaan pembangunan dengan mengandalkan utang sebenarnya telah dipraktikkan selama Orba. Hanya kemudian, para menteri ekonomi penerus melanjutkannya dengan percepatan penarikan utang yang luar biasa.

Ketiga, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan juga telah dilakukan jauh sebelum krisis tahun 1997. Bahkan, berbeda dengan negara-negara Asia lain, seperti China, Jepang, dan Korea, yang menempatkan liberalisasi keuangan pada urutan paling akhir, Indonesia justru memprioritaskan liberalisasi keuangan sebelum membangun industri domestik yang tangguh. Dengan Pakto 88 (Paket Kebijakan tahun 1988), berbagai liberalisasi dimulai, seperti diperbolehkannya untuk membuka bank baru hanya dengan modal Rp 10 miliar, bank-bank asing lama ataupun baru diberi kemudahan membuka cabang, bentuk patungan antarbank asing dengan bank swasta nasional diizinkan, rasio kecukupan modal bank lokal diturunkan dari 15 persen menjadi 2 persen, dan sebagainya.

Apabila saat ini sektor keuangan Indonesia menjadi sangat liberal, maka sangat wajar. Tidak adanya kontrol terhadap modal jangka pendek, misalnya, telah mengakibatkan sektor keuangan rapuh karena tingginya kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN) ataupun SBI. Percepatan liberalisasi di sektor perbankan juga terus dilakukan, misalnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99 persen saham perbankan nasional.

Apabila dikaji lebih jauh masih banyak kebijakan ekonomi yang mengakibatkan keterpurukan ekonomi saat ini, yang sebenarnya telah diawali pada masa Orba karena sejatinya kebijakan ekonomi era reformasi hingga era saat ini masih merupakan lanjutan dari arah kebijakan ekonomi Orba. Mungkin peribahasa ”bagaimana biduk, bagaimana pengayuh” tepat untuk menggambarkannya, yang berarti bagaimana pilihan kebijakan orangtua, begitulah pilihan anaknya.

Hanya memang harus diakui juga bahwa ada faktor lain yang mengakibatkan kondisi ekonomi saat ini lebih buruk dibanding era Orba, terutama akibat peran negara yang semakin dibatasi dan liberalisasi yang semakin cepat dan tanpa arah. Sebagai contoh, program kredit Bimas dan Inmas atau kewajiban alokasi kredit kepada UKM lewat kredit usaha kecil (KUK) pada masa Orba, saat ini tidak mungkin dilakukan karena tangan pemerintah telah dipatahkan satu per satu lewat liberalisasi. Kredit usaha rakyat (KUR) ala kabinet SBY sangat berbeda karena tidak dilakukan dengan menggunakan dana pemerintah, tetapi dana komersial bank yang ikut dalam program sehingga wajar bila realisasinya rendah.

Paradigma ekonomi

Diagnosis terhadap arah ekonomi yang telah menciptakan kerisauan nasional ini seharusnya bermuara pada akar masalah. Pilihan Indonesia untuk menggantungkan pembiayaan pembangunan pada utang, mempercepat liberalisasi di berbagai sektor tanpa mendasarkan pada strategi dan kepentingan nasional, menempatkan SDA hanya sekadar komoditas ekspor bukan modal untuk membangun bangsa, adalah kebijakan akibat kesalahan dalam pilihan paradigma, bukan kesalahan kebijakan, apalagi sekadar kesalahan pelaksanaan.

Oleh karena itu, keresahan terhadap arah ekonomi nasional seperti ditunjukkan dalam Forum Sarasehan Ekonomi tidak akan bermakna apabila tidak berakhir pada pengakuan jujur bahwa Indonesia telah mendayung ekonomi pada jalur paradigma yang salah selama puluhan tahun. Keresahan juga tidak akan memberikan manfaat apabila tidak diikuti koreksi yang mendasarkan pada referensi yang benar. Indonesia telah memiliki paradigma yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. UUD 1945 telah menyiapkan enam pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33), dan (34), yang mengatur kewajiban sosial dan ekonomi negara kepada rakyat.

Untuk mengoreksi arah pengelolaan ekonomi agar dapat menyejahterakan rakyat Indonesia, diperlukan kemauan politik nasional untuk mengubah paradigma ekonomi. Para ekonom senior dan mantan pejabat publik yang turun gunung karena kerisauannya terhadap keterpurukan ekonomi saat ini patut kita apresiasi. Namun, langkah tersebut akan memberikan makna apabila diikuti pengakuan bahwa kesalahan arah kebijakan ekonomi selama puluhan tahun terjadi karena mengabaikan amanah konstitusi. Pengakuan jujur ini sangat penting karena diharapkan akan jadi pendorong perubahan dan upaya pelurusan arah paradigma ekonomi bagi eksekutif ataupun legislatif. Semoga keresahan terhadap arah ekonomi tak berhenti menjadi sekadar keresahan nasional.

Penulis: Hendri Saparini

Pengamat Ekonomi; Anggota Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

Dimuat di Harian ”Kompas”, Rabu, 7 Juli 2010

Tidak ada komentar: