Selasa, 25 Januari 2011

Catatan tetang statistik, diantara angka dan fakta....

Di bawah ini adalah tulisan saya yang berjudul "Perangkap Statistik" dan dimuat di harian ”Seputar Indonesia” edisi Selasa 25 januari 2011. Yang saya tulis barangkali memang bukan sesuatu yang baru, tetapi setidaknya bisa menjadi catatan bagi kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi negara kita, bisa menjadi mengingat bagi kita untuk melangkah maju...



Dalam beberapa hari terakhir, terjadi politik yang cukup tajam atas kinerja pemerintah. Banyak kalangan bahkan merasa perlu untuk menyatakan ketidak percayaannya kepada berbagai klaim keberhasilan pemerintah. Gugatan bahkan juga dikuatkan oleh para tokoh lintas agama beberapa waktu lalu karena mereka berhadapan langsung dengan umat. Para tokoh agama merasa sangat berkewajiban untuk menggugat klaim keberhasilan pemerintah yang mengatakan telah mampu menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan bahkan meningkatkan pendapatan masyarakat karena fakta yang mereka dihadapi di lapangan sangat berbeda.

Namun, di sisi lain, pemerintah juga bersikukuh dan bahkan menolak gugatan para tokoh lintas agama tersebut karena pemerintah merasa klaim keberhasilan yang dipaparkan telah didasarkan pada angka-angka statistik yang sahih dari BPS. Angka-angka yang diperoleh lewat sederet sensus dan survei yang dilakukan oleh tenaga-tenaga terdidik dan dengan dukungan dana APBN yang sangat besar. Angka-angka yang diperoleh dengan metodologi yang sangat dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa kedua kelompok merasa memiliki alasan yang kuat atas pernyataannya? Yang satu mendasarkan pada angka statistik yang dapat dipertanggung jawabkan, sementara yang lain juga dilandasi dengan data dan informasi yang sesuai fakta.


Cerita dibalik angka

Mari kita coba telaah angka-angka yang saat ini tengah menjadi polemik. Pertama, jumlah kemiskinan. Seberapa banyak jumlah orang miskin di Indonesia? Benarkah saat ini hanya 31 juta orang seperti klaim pemerintah? Tulisan saya yang mempertanyaankan jumlah orang miskin telah dimuat salah satu media cetak pada bulan Agustus tahun lalu. Sulit dipahami saat statistik orang miskin hanya mengakui orang yang tergolong miskin hanya sekitar tiga puluh juta tetapi dalam APBN 2010 orang yang dianggap layak menerima program beras miskin sebanyak 17,5 juta keluarga atau 70 juta orang dengan perhitungan rata-rata anggota keluaraga di Indonesia 4,5 orang.

Juga dalam APBN, pemerintah menganggarkan dana program bantuan kesehatan bagi orang miskin adalah untuk 76,4 juta orang. Bila statistik orang miskin yang menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan angkanya sebesar 31 juta, mengapa jumlah orang yang berada di atas garis kemiskinan dan layak menerima bantuan program pangan dan kesehatan untuk orang miskin jumlahnya justru lebih banyak, antara 40-45 juta? Artinya, banyak orang yang miskin dan layak menerima bantuan untuk orang miskin tetapi tidak dikategorikan miskin.

Kedua, statistik Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang diklaim pemerintah sebagai indikator meningkatnya pendapatan masyarakat. Tahun 2010 PDB per kapita Indonesia bahkan telah mencapai US$ 3000 atau sekitar Rp 27 juta per kapita per tahun. Tentu angka PDB per kapita tersebut sulit diterima sebagai indikator perbaikan pendapatan karena sebagian besar rakyat masih tergolong miskin. Namun, angka tersebut juga tidak salah karena PDB memang hanya menghitung produksi yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia. T anpa peduli siapa yang melakukan produksi dan siapa yang memperoleh manfaat besar dari PDB tersebut. Kenyataannya, porsi pemilik modal besar baik domestik maupun asing dalam PDB cukup besar sehingga PDB yang dinikmati oleh mereka juga sangat besar.

Ketiga, angka pengangguran. Dalam artikel lain saya pernah mempertanyakan statistik penganggur Indonesia yang diklaim tinggal 8,5 juta pada tahun lalu. Rasanya sulit menerima angka statistik ini karena faktanya banyak orang yang masih kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Ternyata statistik orang yang bekerja diperoleh BPS dengan memotret angkatan kerja yang telah berkerja minimal 1 jam dalam seminggu terakhir. Akibatnya, dalam perhitungan ini orang yang bekerja tetapi tidak dibayar tetap dikategorikan telah bekerja. Padahal jumlah kelompok ini sangat besar, mencapai 20 persen dari jumlah orang yang bekerja atau tidak menganggur.

Statistik lain justru semakin menjelaskan mengapa kita sulit menerima angka pengangguran yang dinilai telah berkurang dari 10,8 persen menjadi hanya 7,14 persen. Ternyata, meskipun dalam enam tahun terakhir pemerintah berhasil menciptakan lapangan kerja, data BPS menunjukkan bahwa lapangan kerja yang berhasil diciptakan sebagian besar adalah lapangan kerja di sektor jasa kemasyarakatan. Memang di dalamnya termasuk pengusaha, profesional, tetapi porsi terbanyaknya adalah jasa kebersihan, seperti tukang sapu. Juga jasa reparasi seperti servis AC, TV, bengkel, dll. Bahkan selama enam tahun, porsi lapangan usaha jasa kemasyarakatan mencapai 41 persen dari total lapangan kerja yang tercipta. Jauh lebih besar dibanding di sektor industri atau pertanian.


Bukan angka tapi makna

Statistik hanyalah sekadar angka. Naik turunnya angka memang akan dapat bermanfaat untuk menunjukkan tren. Tren sangat penting untuk menunjukkan perkembangan terhadap sesuatu. Untuk kebijakan publik, akan dapat mengukur efektifitas dari kebijakan tersebut. Sebagai contoh, angka kemiskinan dan pengangguran yang menurun tentu lebih baik dibanding bila trennya menunjukkan peningkatan. Demikian juga angka PDB per kapita yang terus meningkat tentu merupakan indikasi positif dari kebijakan ekonomi yang diambil.

Namun, sebelum kita menganalisis tren angka-angka tersebut, sangat penting untuk memahami definisi dan makna dari angka-angka tersebut yakni bagaimana angka-angka tersebut dibangun. Angka bisa sangat bermakna tetapi sangat mungkin tidak memberi makna apapun meskipun dibangun dengan metodologi yang canggih. Apalagi angka untuk angka yang akan menjadi dasar kebijakan publik.

Sangat mungkin sebuah angka statistik justru menjadi sumber kesalahan dari pengambilan kebijakan publik yang sangat fatal. Alasannya, karena salah dalam membangun angka tersebut. Misalnya, niat pemerintah melakukan koreksi perhitungan angka inflasi dengan mengeluarkan cabe karena harganya sering mengalami fluktuasi ekstrim.

Dengan perubahan metodologi ini sangat mungkin angka inflasi yang dihasilkan lebih rendah sehingga dapat menjadi indikator keberhasilan ekonomi. Namun, angka baru tersebut tidak memiliki makna dan tidak menggambarkan apa yang terjadi di lapangan. Bagi rakyat Indonesia cabe termasuk pangan pokok dan faktanya banyak harga komoditas yang sangat terpengaruh oleh harga cabe.

Tidak terlalu salah bila Darell Huff pada tahun 1954 merasa perlu untuk menulis buku ”How to Lie with Statistics”. Karena membuat pernyataan dan klaim dengan angka-angka statistik memang menyenangkan dan seolah menjadi sangat meyakinkan. Inilah yang tengah terjadi pada pemerintahan SBY. Pemerintah SBY telah terperangkap oleh berbagai angka statistik (statistical trap). Menjadi sangat berbahaya saat pemerintah SBY juga bersikap mengabaikan nasehat dan pesan moral dari para tokoh lintas agama untuk melakukan koreksi kebijakan karena angka-angka yang menjadi dasar klaim keberhasilan kebijakan tidak menemukan makna di tengah masyarakat. Statistik hanyanyalah angka. Landasan ideologi dalam melakukan interpretasi dan dalam memilih solusi jauh lebih penting dari angka itu sendiri.***


Oleh: Hendri Saparini – Pengamat ekonomi


Tidak ada komentar: