Senin, 10 Januari 2011

Si Miskin Harus Bekerja

Berita dampak kemiskinan yang dihadapi masyarakat memenuhi pemberitaan media massa pada awal tahun ini. Di mulai dari cerita keluarga yang keenam anaknya tewas setelah keracunan tiwul untuk mengganti nasi yang sudah tak terbeli. Sampai dengan pasutri yang nekad bunuh diri dan tega meninggalkan anak-anaknya karena tidak mampu menanggung biaya hidup. Tidak terlalu salah bila Kompas menyebutkan pilihan orang miskin di Indonesia hanya tiga yakni, berhutang, mengurangi makan, kemudian bunuh diri.

Tapi benarkah kondisi masyarakat sudah sedemikian parah? Atau pemberitaan tersebut hanya sekadar dampak dari kebebasan pers sehingga kasus kecil pun dapat blow up sehingga terkesan sangat serius? Masyarakat bingung karena cerita tersebut tidak sejalan dengan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa tahun 2010 pemerintah SBY-Boediono berhasil mengurangi penduduk miskin sebanyak 1,5 juta dan menurunkan pengangguran terbuka menjadi sebanyak 8,32 juta orang.

Di satu sisi sulit untuk tidak memercayai data BPS yang dilakukan dengan dukungan SDM terbaik dan dana APBN yang besar. Tetapi tidak mudah juga untuk menerima klaim pemerintah SBY-Boediono bahwa jumlah orang miskin berkurang.

Siapa si miskin

Siapa sebenarnya yang disebut sebagai si miskin? Selama ini untuk menghitung angka kemiskinan, BPS memotret dan menghitung jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Untuk tahun 2010, bila pengeluaran seseorang di bawah Rp 211.726 per bulan maka dia dikategorikan miskin. Dengan batasan tersebut jumlah orang miskin diklaim hanya 31 juta.

Banyak kalangan meragukan data tersebut karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ketidakpuasan tersebut wajar. Namun harus dipahami bahwa jumlah orang miskin sebanyak 31 juta tersebut memang hanya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan angka kemiskinan hanya dengan menghitung rasio orang yang berada di bawah garis kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk.

Artinya, angka kemiskinan memang tidak bercerita tentang banyaknya orang miskin yang pengeluarannya sedikit di atas garis kemiskinan. Sudah sering saya sampaikan bahwa jika digunakan pendekatan penduduk yang layak menerima beras untuk rakyat miskin (Raskin), tahun 2010 jumlahnya 70 juta orang. Bila digunakan data penduduk yang berhak menerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) jumlahnya 76,4 juta. Sedangkan dengan data Bank Dunia jumlahnya mendekati 100 juta orang (42 persen penduduk), sangat jauh dari angka 31 juta orang!

Dengan penjelasan tadi semestinya pemerintah merubah batasan orang miskin dengan memasukkan kelompok mendekati miskin ke dalam kelompok miskin. Bila orang miskin menerima banyak program bantuan, maka tidak demikian halnya dengan yang terkategori mendekati miskin.

Sebagai gambaran, salah satu kelompok masyarakat yang terkategori mendekati miskin adalah buruh. Dengan asumsi pengeluaran per bulan sebesar satu juta rupiah, maka pengeluaran rata-rata anggota keluarga per bulan sebesar Rp 250.000, atau sedikit di atas garis kemiskinan. Namun, dengan pengeluaran mendekati garis kemiskinan sebagian besar buruh tidak menikmati program pangan, rumah dan pendidikan murah, bahkan tidak ada jaminan kesehatan.

Sangat wajar bila jumlah orang miskin versi pemerintah tidak dapat dipercaya masyarakat karena jumlah orang yang bekerja (tidak menganggur) tetapi memiliki penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan dasar sangat banyak. Menurut data BPS sebesar 60 persen atau 50,15 juta buruh dan pekerja di Indonesia hanya memiliki penghasilan rata-rata US$ 2.284 per tahun. Dengan kata lain, dengan dua anak pengeluaran per anggota keluarga per hari hanya sekitar Rp 15.000.

Hanya dengan bekerja

Menjawab tuntutan percepatan pengentasan kemiskinan, pemerintah sering beralasan bahwa masyarakat harus bersabar karena upaya pengentasan kemiskinan perlu waktu dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memang benar diperlukan waktu untuk memangkas kemiskinan secara signifikan. Akan tetapi kecepatan dalam mengurangi jumlah orang miskin sangat tergantung pilihan strategi dan kebijakan.

China, yang memulai pembangunan ekonomi pada akhir tahun 1970an, telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dengan sangat drastis sehingga pada tahun 2004 menjadi hanya 10 persen dari sekitar 64 persen di tahun 1981. Bahkan pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari hanya tinggal 7 persen. Bandingkan dengan di Indonesia, yang pada tahun 2009 jumlahnya masih sebesar 59 persen.

Tidak hanya berhasil mengurangi jumlah orang miskin, dalam kurun waktu tiga puluh tahun, China dengan penduduk tidak kurang dari 1,3 milyar orang, juga telah berhasil membawa 66 persen penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan menengah atas. Sementara Indonesia yang memulai industrialisasi lebih dulu, hingga tahun 2009 hanya mampu memiliki 10,6 persen penduduk yang tergolong kelas menengah dan menengah atas.

Tentu banyak strategi dan kebijakan yang dilakukan China untuk mengurangi kemiskinan bahkan menghapus kemiskinan. Namun, salah satu strategi China yang perlu digaris bawahi adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. China mengawali pembangunan dengan membangun desa khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di pedesaan maka pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan SDM dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi.

Indonesia semestinya dapat menarik pelajaran dari pengalaman China. Apalagi lebih dari 65 persen orang miskinnya berada di desa dan hampir separuhnya hingga saat ini hanya memiliki tingkat pendidikan maksimal SD. Strategi pengurangan kemiskinan yang diintegrasikan dengan strategi penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan bahan pangan yang selama ini bergantung pada impor akan menjadi solusi pengentasan kemiskinan paling tepat bagi Indonesia.

Namun, belajar dari China, pemerintah SBY-Boediono juga harus berani melakukan kebijakan terobosan seperti reforma agraria yang sudah dijanjikan bahkan sejak pemerintahan KIB I, namun gagal diimplementasikan hingga saat ini. Demkian juga berani merancang kebijakan fiskal, perdagangan, moneter, dll yang pro terhadap pembangunan pertanian yang melibatkan kelompok masyarakat miskin secara aktif.

Penciptaan lapangan yang masif di berbagai sektor ini sekaligus juga akan menyelesaikan masalah pengangguran di Indonesia. Meskipun pemerintah SBY-Boediono mengklaim telah berhasil menurunkan angka pengangguran hingga saat ini mencapai 7,1 persen, akan tetapi data BPS menunjukkan bahwa selama enam tahun pemerintahan SBY, 41 persen lapangan pekerjaan yang tercipta adalah sektor jasa kemasyaratan, seperti jasa reparasi, kebersikan, dll., bukan pada sektor industri pengolahan dan pertanian yang akan mendorong penciptaan nilai tambah dan pendapatan masyarakat. Kegagalan pemerintah SBY-Boediono dalam menciptakan lapangan kerja produktif ini pula yang mengakibatkan jumlah pekerja tidak penuh terus meningkat dari 31,1 juta orang tahun 2008, menjadi 33,3 juta orang pada tahun 2010.

Tidak ada cara untuk menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan kecuali dengan menciptakan lapangan lapangan kerja. Jangan pernah mengklaim ekonomi berkinerja baik bila baru sekadar menurunkan angka kemiskinan dan angka pengangguran, bukan menyelesaikan pengangguran dan kemiskinan.

Oleh: Hendri Saparini, Ph.D; Pengamat Ekonomi, anggota Pendiri AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)

Telah dimuat pada Harian “Kompas” edisi 10 januari 2011

2 komentar:

Unknown mengatakan...

pakar dengan kualifikasi oom doo.....,pinternya cuma omong doang....

bisnisgampang mengatakan...

kalo bukan pengamat ekonom yang mengkritisi pemerintah seperti Bu Hendri ini atau pengamat ekonom lainnya, siapa lagi yang bisa mengkritisi pemerintah yang pernyataannya berbeda dengan yang dirasakan oleh rakyat.