Rabu, 23 November 2011

Makna Dibalik Penolakan TPP



Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC yang berlangsung di Honolulu telah berakhir. Pertemuan para pemimpin anggota APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik) yang berlangsung pada 12-13 November 2011 lalu, mengambil tema yang sangat catchy yakni 21 economies for the 21st century. Sebanyak 21 pemimpin negara-negara se Asia Pasifik meyakini bahwa abad 21 adalah abad milik negara-negara di kawasan ini.

Tema tersebut tentu tidak berlebihan karena peran negara-negara anggota APEC memang tidak bisa dianggap remeh. Kapasitas ekonomi dari dua puluh satu negara, yang terdiri dari Australia, ASEAN-5, Vietnam, Kanada, Cile, China, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Taiwan dan AS, menguasai 43 persen nilai perdagangan dunia dan memiliki porsi PDB sebesar 55 persen dari total PDB dunia.

Sebagaimana pertemuan G-20 beberapa waktu lalu, pertemuan APEC juga didominasi oleh isu krisis Eropa. Masing-masing negara berharap forum ini akan memberikan manfaat dan dapat dimanfaatkan untuk mencari solusi sendiri-sendiri maupun bersama agar dapat menghindar dari dampak negatif krisis utang Eropa.

Meskipun tidak memiliki kesepakatan konkrit, secara umum KTT APEC menyodorkan dua isu penting menghadapi krisis utang Eropa. Pertama, negara-negara anggota harus menggenjot pertumbuhan ekonominya untuk menyelamatkan kawasan ini. Anggota APEC yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi seperti China dan Indonesia diharapkan melakukan ekspansi ekonomi dan belanja pemerintah sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara lain di kawasan ini.

Penolakan TPP dan arah kebijakan

Isu menarik kedua adalah usulan pembentukan Trans-Pacific Partnership (TPP) oleh AS. Proposal TPP pada intinya adalah rintisan awal menuju terciptanya perdagangan bebas di Asia Pasifik. Delapan negara sudah menyepakati proposal TPP yang diusung oleh AS, yakni Australia, Selandia Baru, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Cile, Peru. Hampir semua negara pendukung adalah negara-negara yang selama ini memang telah memiliki kerjasama ekonomi (Economic Partnership) dengan AS.

Amerika Serikat tentu memiliki kepentingan besar atas TPP tersebut. Dengan beban keuangan negara yang sangat berat, juga tekanan pengangguran yang sangat tinggi serta tebatasnya pilihan kebijakan yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi, maka kerjasama TPP memiliki arti sangat penting bagi AS. TPP yang tidak hanya perdagangan bebas tetapi menjadi model kerjasama ekonomi yang lebih luas. Tentu hal ini menjadi harapan besar bagi AS untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan krisis ekonomi yang dihadapi AS. Tidak heran bila Obama berambisi untuk mewujudkan TPP pada pertengahan tahun 2012.

Namun, banyak negara masih belum memberikan dukungan. Salah satunya adalah Korea Selatan. Dapat dimaklumi karena rakyat Korea Selatan sangat keras melakukan penolakan Economic Partnership Agreement (EPA) yang akan disepakati antara Korea Selatan dengan AS. Bahkan pada saat berlangsung KTT APEC pun, di Seoul terjadi demo besar puluhan ribu orang turun ke jalan menolak EPA. Partai oposisi di parlemen juga dikabarkan akan menekan Presiden Lee Myung-bak untuk membatalkannya.

China dipastikan tidak akan mudah menyepakati proposal AS tersebut. China yang terus ditekan oleh AS dan Eropa baik di forum APEC maupun pertemuan G-20 beberapa waktu lalu, tentu akan sangat hati-hati dalam menentukan langkah menghadapi krisis AS dan Eropa. Dengan 1,3 milyar penduduk tentu setiap kerjasama perdagangan bebas yang akan dibuat harus dipikirkan dengan cermat agar tidak menciptakan masalah sosial ekonomi di dalam negeri. Apalagi TPP adalah liberalisasi ekonomi dengan negara-negara yang menguasai separuh lebih PDB dunia.

Indonesia telah menentukan sikapnya atas TPP. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan Indonesia menolak karena diperlukan persiapan. Tentu berita ini cukup menggembirakan. Namun demikian sikap ini menimbulkan pertanyaan yang perlu dijawab yakni apakah penolakan atas TPP merupakan langkah awal kabinet SBY untuk melakukan koreksi atas berbagai FTA yang sangat liberal sehingga berakhir pada minimnya manfaat bahkan besarnya kerugian bagi Indonesia?

Untuk membuktikannya mari kita tunggu apakah Menteri Perdagangan juga akan segera menyusun industrial policy and strategy untuk Indonesia. Selanjutnya, apakah pak Menteri juga akan melakukan pembatalan atau paling tidak koreksi atas rencana Comprehensive Partnership antara Indonesia dan AS?

Bila alasan penolakan TPP karena Indonesia saat ini masih memerlukan banyak persiapan sebelum melakukan kerjasama perdagangan dan ekonomi bebas, maka Compehensive Partnership dengan AS seharusnya juga dikoreksi karena telah disepakati tanpa persiapan dan strategi matang.

Bila tidak, jangan-jangan penolakan TPP hanya dijadikan strategi “pembeda” antara Menteri Perdagangan lama dan baru. Sementara pada dasarnya kabinet SBY tetap menyuguhkan menu liberalisasi ekonomi hanya mungkin akan sedikit lebih berselera western ketimbang oriental.***

Telah dimuat di Harian "Suara Karya"

Tidak ada komentar: