Senin, 20 Desember 2010

Absennya Strategi dalam Kerjasama Ekonomi

Indonesia termasuk salah satu negara yang sangat agresif dalam melakukan kerjasama ekonomi. Bahkan, cenderung semakin fokus pada kerjasama ekonomi yang bersifat ‘kerjasama selimut’ baik lewat FTA maupun EPA. Kedua model kerjasama ekonomi ini mencakup isu ekonomi yang sangat luas. Tidak hanya masalah perdagangan bebas tetapi juga meliputi masalah penting seperti investasi dan kebijakan ekonomi lainnya. Padahal, isu investasi dan kebijakan ekonomi selama ini sulit untuk masuk dalam kerangka WTO. Sayangnya, semakin berani Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi, semakin banyak pujian yang diterima oleh Indonesia. Padahal kerjasama tersebut ternyata dibuat Indonesia tanpa pertimbangan dan persiapan matang.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam FTA dan EPA, yang umumnya dilakukan antara negara maju dan berkembang, posisi tawar negara berkembang hampir selalu lebih lemah karena dalam EPA hampir tidak mempertimbangkan isu perbedaan masalah struktural dan tingkat kemajuan ekonomi. Karena itu, negara berkembang harus sangat cermat dan hati-hati sebelum membuat kesepakatan. Agresifitas Indonesia dalam kerjasama EPA yang tidak didahului dengan kesiapan strategi dan kebijakan industri yang jelas, sangat mengkhawatirkan. Tidak ada satu negara industri maju pun yang memulai liberalisasi ekonomi tanpa diawali dengan penyiapan strategi dan kebijakan industri karena strategi industri inilah yang akan menjadi penentu keberhasilan suatu negara dalam menarik manfaat dari setiap kerjasama ekonomi yang dibuat.

Memang dalam setiap kerjasama ekonomi, seperti juga IJEPA, akan memberikan potensi manfaat dan biaya bagi Indonesia dan Jepang. Namun, manfaat riil hanya bisa diperoleh bila kerjasama ekonomi didasarkan pada rencana strategi yang matang dan jelas. Bila tidak, manfaat yang diterima Indonesia menjadi akan sangat minimal dibanding dengan keuntungan yang dapat dimanfaatkan oleh negara mitra. Bahkan sangat mungkin Indonesia hanya menanggung biayanya tanpa menikmati manfaatnya.

Cetak biru pembangunan industrilah yang pada akhirnya akan menjadi kunci keberhasilan dalam melakukan kerjasama ekonomi. Strategi ekonomi yang mencakup informasi rencana dan strategi bersama antara pemerintah, masyarakat dan pengusaha akan menjadi strategi preventif dan mitigasi untuk mendukung sektor usaha yang berpotensi mendapatkan manfaat besar (optimizing the benefit) dan menyelamatkan sektor usaha yang berpotensi menghadapi dampak negatif besar (minimizing the cost). Kesepakatan kerjasama ekonomi yang tidak didasarkan pada arah dan strategi pembangunan ekonomi pada akhirnya hanya akan menjadikan langkah liberalisasi ekonomi hanya untuk liberalisasi itu sendiri, bukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia telah menjalani kerjasama ekonomi yang panjang selama lebih dari tiga puluh tahun. Meskipun penting, namun arti Indonesia bagi Jepang telah mengalami pergeseran. Di sisi perdagangan, selain tetap menjadi pasar yang sangat besar bagi Jepang, Indonesia juga masih menjadi negara mitra penting sebagai pemasok utama energi, bahan baku dan bahan mentah bagi industri di Jepang. Namun, dari sisi investasi arti penting Indonesia bagi Jepang telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Saat ini posisi Indonesia telah berada pada urutan bawah setelah digantikan oleh Thailand, India, Korea, Singapura dan Hongkong.

Kerjasama Indonesia Jepang dalam EPA, semestinya akan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kerjasama Indonesia. Namun, evalusi terhadap IJEPA yang telah berjalan hampir tiga tahun, ternyata kerjasama tersebut telah memberikan manfaat riil bagi Jepang tetapi tidak memberikan manfaat yang sepadan bagi Indonesia. Bahkan berbagai kesepakatan, seperti kesepakatan investasi dan perdagangan berbagai SDA energi, telah menempatkan Indonesia pada posisi sulit dan sangat berpotensi untuk dirugikan.

Bila tidak dilakukan koreksi pada kebijakan EPA, ekonomi Indonesia justru akan mengalami kemunduran. Dengan menurunnya daya saing produk manufaktur, maka produk ekspor Indonesia yang memiliki daya saing tinggi akhirnya hanya tinggal sumber daya alam mentah. Bila Indonesia tidak mau melakukan moratorium atau menghentikan sejenak penandatanganan kerjasama ekonomi baru dengan negara-negara maju, dan tidak mau segera membuat strategi dan kebijakan industri, maka Indonesia harus bersiap-siap untuk sekadar menjadi negara penyedia kebutuhan energi, bahan mentah dan bahan baku bagi Jepang dan juga negara-negara mitra lainnya dalam berbagai kerjasama EPA.

Pilihan untuk sekadar mengekspor bahan baku akan mengakibatkan Indonesia tidak memiliki peluang yang luas untuk menciptakan nilai tambah. Dengan mengekspor bahan baku dan bahan mentah, maka industri manufaktur Indonesia tidak akan dapat berkembang. Sebagai konsekuensinya, Indonesia bukan hanya tidak mampu menciptakan nilai tambah tinggi, tetapi juga tidak mampu untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat pendapatan yang semakin besar. Tambahan lagi, pada saat Indonesia mengekspor bahan bahan baku dan mentah, maka Indonesia juga sedang mengekspor peluang untuk menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah. Hal ini sangat berbeda dengan China yang mampu menangkap aliran investasi dari Jepang, juga berhasil memanfaatkan investasi tersebut sebagai modal untuk membangun industri pengolahannya. Dengan strategi ini berbagai kekayaan bahan mentah yang dimiliki dapat diolah dan memberikan nilai tambah yang besar dan kesempatan kerja yang luas bagi China. Juga mampu mewujudkan diri sebagai hub bagi industri manufaktur dunia. Liberalisasi dan kerjasama ekonomi yang dipersiapkan dengan matang, telah memberi manfaat tidak hanya bagi negara maju tetapi juga negara berkembang yang menjadi mitranya.

Tidak ada komentar: