Selasa, 14 Desember 2010

Belajar Privatisasi Ke Negeri China

Beberapa edisi lalu, penulis telah mengulas karut-marut penawaran perdana saham PT Krakatau Steel. Dengan berbagai permasalahan pada IPO PT Krakatau Steel, seharusnya pemerintah meninjau ulang kebijakan privatisasi BUMN tersebut. Namun, sebaliknya justru tidak menyurutkan niat pemerintah untuk segera memprivatisasi BUMN strategis lainnya, seperti Garuda Indonesia dan melanjutkan penjualan saham Bank BRI, Bank Mandiri, dll.

Telah sering penulis sampaikan bahwa semestinya Indonesia dapat belajar dari strategi privatisasi BUMN yang dilakukan China. Privatisasi BUMN sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana dan strategi pembangunan ekonomi. Faktor inilah yang menjadikan peran BUMN dalam pembangunan ekonomi China sangat besar.

Bersyukur, minggu lalu penulis menghadiri acara dialog untuk berbagi pengalaman tentang pengelolaan BUMN di Indonesia dan China. Meskipun singkat, paparan Profesor Xiao Geng dari Universitas Columbia Amerika Serikat, semakin meyakinan penulis bahwa privatisasi BUMN yang dilakukan di China merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi pembangunan ekonomi nasionalnya.

Memang ada kesamaan antara BUMN Indonesia dan China seperti disampaikan Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam pembukaan dialog. Seperti di China, BUMN di Indonesia sebelum dilakukan privatisasi jumlahnya realtif banyak. Namun, ada perbedaan strategi yang sangat mendasar antara privatisasi di China dan di Indonesia. Tulisan berikut ini akan megulas secara ringkas tentang dua perbedaan yang paling penting dari privatisasi di kedua negara tersebut.

Berdasarkan Strategi Industri

Satu hal penting yang dapat dipelajari dari privatisasi BUMN di China adalah keberadaan strategi dan kebijakan industri (industrial policy and strategy) yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan privatisasi. Berdasaran strategi dan kebijakan industri tersebut China memetakan proses privatisasi BUMN dan peran BUMN dalam pengembangan industri.

Untuk membangun industri domestiknya, China memilih untuk mengolah bahan mentah dan tidak mengekspor komoditas primernya seperti batubara dan timah. Dengan adanya kebijakan tersebut, batubara China tidak diekspor, tetapi diutamakan untuk digunakan sebagai sumber pembangkit energi listrik di negara tersebut. Bahkan China secara agresif mengimpor batubara dari negara-negara, demikian pula dengan komoditas bahan mentah lainnya. Komoditas timah misalnya ditetapkan untuk diolah di dalam negeri untuk mendukung industri elektronika dan industri lainnya.

Jadi, meskipun BUMN yang mengelola batu bara telah diprivatisasi, kebutuhan batubara dalam negeri tetap terpenuhi karena pemerintah telah menentukan prioritas batubara untuk keperluan domestik. Kondisi ini jauh berbeda dengan Indonesia dimana batubara justru diprioritaskan menjadi salah satu primadona ekspor.

Untuk dapat melaksanakan cetak biru kebijakan dan strategi industrinya tersebut pemerintah China telah menentukan arah pengelolaan dan peran BUMN dalam pembangunan industrinya. China memilih peran pemerintah yang tetap dominan di semua BUMN strategisnya. Pemerintah bahkan tetap memiliki hak istimewa sehingga berhak menentukan arah kebijakan BUMN yang belum maupun telah diprivatisasi, sekecil apapun jumlah saham yang dimiliki.

Dengan adanya blue print industri yang jelas, privatisasi BUMN di China hanya merupakan salah satu strategi pembiayaan BUMN, selain pembiayaan lewat kredit atau dengan menjual obligasi. Sementara arah dan strategi BUMN tetap patuh pada strategi industri nasionalnya.

Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia. Privatisasi BUMN tidak dikaitkan dengan strategi pembangunan industri ekonomi sehingga tidak heran meskipun pemerintah menetapkan pembangunan infrastruktur dan transportasi dijadikan prioritas untuk mendukung daya saing ekonomi, tetapi BUMN yang mengelola baja, mengelola pelabuhan, memproduksi moda transportasi seperti PT KAI dan PT Dok Kapal, justru diprivatisasi.

Dari pengalaman China, benarlah keyakinan penulis bahwa kebijakan privatisasi BUMN seharusnya menjadi bagian dari strategi pembangunan yang terintegrasi. Dalam kesempatan dialog, Prof Xiao mengatakan bahwa privatisasi BUMN merupakan bagian tidak terpisahkan dari NDP (National Development Planning) atau rencana pembangunan nasional China.

Bukan Sektor Strategis

Dengan demikian, pertimbangan untuk memprivatisasi atau mempertahankan status suatu BUMN, didasarkan pada strategi pembangunan nasional baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Sebelum melakukan privatisasi, pemerintah China telah melakukan kategorisasi terhadap ribuan BUMN yang ada ke dalam kelompok BUMN strategis dan non strategis berdasarkan strategi pembangunan ekonomi yang akan dilakukan.

Belajar dari China, privatisasi dilakukan dengan memprioritaskan pada BUMN yang merugi dan tidak strategis. Namun, untuk BUMN yang memiliki tugas menyediakan pelayanan kepada masyarakat, tetapi mengalami kerugian, maka harus terus diberikan subsidi hingga mampu berdiri sendiri dan kompetitif. Prof Xiao mencontohkan BUMN transportasi di China yang meskipun saat itu masih merugi, tetap terus diberikan subsidi karena penyediaan transportasi publik yang murah dan baik telah menjadi strategi penting dalam pembangunan.

Strategi lainnya adalah dengan mempertahankan penguasaan negara terhadap BUMN strategis. Peranan BUMN di berbagai sektor strategis inilah yang berhasil mendorong pesatnya pembangunan ekonomi China . Monopoli pemerintah atas BUMN di sektor-sektor strategis seperti energi, telekomunikasi dan infrastruktur telah memungkinkan pemerintah China untuk melakukan sentralisasi serta koordinasi yang kuat dalam pembangunan sektor-sektor strategis tersebut. Dengan penguasaan terhadap BUMN strategis, pemerintah berhasil menyediakan jaringan infrastruktur yang kuat sebagai salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi. Seharusnya, upaya mendapatkan dana segar dengan privatisasi BUMN strategis dan menguntungkan adalah upaya terakhir setelah peluang lainnya tertutup.

Dengan dikuasainya BUMN strategis oleh pemerintah dan dengan adanya strategi dan kebijakan industri yang jelas, dalam waktu dua puluh tahun terakhir China berhasil membangun infrastruktur nasionalnya dengan percepatan yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah sektor transportasi yang menjadi salah satu pendukung kuatnya daya saing industri China, mampu membangun jalur kereta api dengan tingkat pertumbuhan 28%, dari 59.700 km tahun 1995 menjadi 77.100 km tahun 2006. Berbanding terbalik dengan pengalaman Indonesia yang mengalami penyusutan panjang rel kereta api jika dibanding dengan jaman kolonial Belanda. Selain itu, jalan bebas hambatan juga mengalami pertumbuhan 200%, meningkat menjadi 3,46 juta km pada periode yang sama.

Penguasaan BUMN strategis oleh pemerintah juga memudahkan pemerintah untuk mengontrol harga produk dan jasa yang dihasilkan dan dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam kesempatan dialog sempat disinggung bahwa karena BUMN masih menguasai dan mengontrol sektor-sektor strategis, maka di China harga energi, air, sumber daya alam lain dapat dipertahankan pada tingkat yang rendah.

Kondisi ini tentu tidak hanya menguntungkan rakyat biasa, tetapi juga perusahaan-perusahaan swasta yang bisa berkontribusi besar dalam menciptakan lompatan pembangunan ekonomi di China karena adanya peta jalan strategi dan kebijakan industri. Hal ini berbeda dengan Indonesia dimana pengelolaan dan penyediaan infrastruktur dasar cenderung diserahkan kepada swasta seperti pengelolaan air bersih dan jalan tol, sehingga mengakibatkan harga cenderung tidak dapat dikontrol oleh pemerintah.

Banyak hal yang bisa dipelajari dari lompatan pertumbuhan ekonomi China, tanpa lupa melihat sisi negatif agar dapat kita hindari. Mungkin kita bisa mengutip ungkapan “tuntutlah ilmu sampai ke negeri China” yang tidak asing bagi sebagian besar umat Islam, terlepas dari perdebatan apakah hadits tersebut shahih atau tidak. Namun faktanya banyak yang bisa kita pelajari dari China dalam mengelola ekonominya agar tidak menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan asing (subordinasi) dan tetap menomorsatukan kepentingan nasional.

Bagi para pemimpin muslim, pengalaman China hanya salah satu pelajaran. Semestinya, pengelolaan ekonomi sesuai aturan Islam sebagaimana pernah dicontohkan pada masa pemerintahan Rasullah SWT dan para sahabat adalah ibrah yang sesungguhnya, yakni pengelolaan ekonomi yang didasarkan pada ketaqwaan untuk mewujudkan keadilan di dunia maupun di akhirat. ***

Hendri Saparini

Ekonom dan pendukung citizen lawsuit penjualan saham PT KS

Dimuat di Tabloid "Suara Islam" edisi Desember 2010

Tidak ada komentar: